Opini

Pesta Demokrasi, Rawan Gangguan Mental

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ilma Mahali Asuyuti

wacana-edukasi. Com, OPINI– Rumah Sakit (RS) atau Rumah Sakit Jiwa (RSJ) bersiap menangani caleg depresi akibat gagal terpilih. Persiapan ini sebagai antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya. Fenomena ini membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan mengakibatkan gangguan mental.

Mengutip detik.com, anggota komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan Konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, dua hal itu sangat diperlukan.

“Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pascapemilu,” kata Aziz dalam keterangannya, Jumat (26/1/2024).

Sebab, disinyalir banyak peserta pemilu yang berpotensi stres pasca-penghitungan juara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Secara khusus, Aziz juga mengingatkan kesiapan rumah sakit jiwa (RSJ) untuk menerima pasien yang membutuhkan penanganan lanjutan.

“Kami mengimbau agar Dinkes melakukan langkah-langkah antisipatif menyiapkan fasilitas kesehatan menjelang pemilu, khususnya untuk kesehatan kejiwaan,” ujarnya.

Diketahui, Pemerintah Kota Jakarta Pusat (Pemkot Jakpus) telah menyampaikan pihaknya menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan jiwa di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit (RS) bagi peserta Pemilu 2024 yang gagal terpilih. Langkah ini sebagai antisipasi jika ada caleg mengalami gangguan kejiwaan.

“Untuk antisipasi, kami sudah menyiapkan layanan di puskesmas dan rumah sakit,” kata Kepala Suku Dinas Kesehatan (Kasudinkes) Jakarta Pusat, Risma Sari, dilansir Antara.

Risma menyebut, jika ada kasus tersebut, layanan gawat darurat kesehatan jiwa sudah disiapkan di puskesmas wilayah Jakpus. Lalu, jika ada kasus khusus karena perlu dilakukan rawat inap, akan dirujuk ke RS.
(Detik.com, Jumat, 26 Januari 2024).

Pemilu hari ini berbiaya tinggi, sehingga pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan. Di sisi lain, hari ini jabatan menjadi impian, karena dianggap dapat menaikkan harga diri atau prestise, juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas lainnya.

Dalam sistem sekuler kapitalisme hari ini, segala sesuatu tidak pernah terlewat untuk menjadi materialistis, apa-apa pasti materi. Pastinya selain serba mengeluarkan materi, pasti juga ingin timbal balik materi yang lebih banyak.

Begitu pun untuk menjadi caleg, demi mendapatkan suara rakyat, para caleg pasti menggelontorkan banyak dana untuk kampanye, menarik perhatian rakyat.

Dari sekian banyak dana yang mereka keluarkan, akankah mereka baik-baik saja ketika ternyata gagal terpilih? Akankah mereka baik-baik saja ketika harta benda mereka melayang begitu saja, tetapi hasil pemilihan nihil untuk meraih kemenangannya?

Tentu saja tidak, karena pada kenyataannya, ketika mereka gagal atau kalah, yang terjadi adalah perasaan kecewa yang berat, hingga depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Bahkan, yang depresi bukan hanya calegnya, melainkan juga keluarga dan tim suksesnya. Kata psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ.
(Antara News, 11-12-2023).

Ini membuktikan bahwa pemilu dalam sistem Kapitalisme hari ini, rawan menyebabkan gangguan mental. Bagaimana tidak, jika biaya untuk mencalonkan diri saja bisa mencapai Miliaran Rupiah. Tentu akan stres ketika semua harta benda mereka habis, tapi ujung-ujungnya gagal dalam pemilihan.

Misalnya, disampaikan oleh LPM FE UI, modal yang harus dikeluarkan untuk caleg DPR RI berkisar Rp1,15 miliar-Rp4,6 miliar. Ketua PKB Cak Imin juga mengatakan, butuh Rp4,0 miliar untuk menjadi caleg RI dari DKI Jakarta. Fahri Hamzah mengatakan butuh dana setidaknya Rp 5 miliar untuk menjadi capres.

Mendengar biaya yang fantastis ini, menjadi hal yang wajar jika pada akhirnya banyak yang mengalami stres dan gangguan mental.

Selain itu, gangguan mental ini terjadi karena para caleg telah salah memaknai tujuan hidupnya, dari awal mereka mencalonkan diri adalah untuk mendapat kekuasaan dan materi, sehingga jabatan pun mereka jadikan jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan fasilitas hidup.

Terbukti bahwa slogan “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanya ilusi, karena pada kenyataannya, setelah pemilu selesai, para penguasa kembali pada aktivitas mereka, menjabat untuk mendapat keuntungan dan melalaikan bahkan mengabaikan hak-hak rakyat.

Terlihat semenjak sistem sekuler kapitalis menguasai, banyak rakyat justru hidupnya tidak sejahtera, karena para penguasa sibuk bercengkrama dengan para pengusaha untuk mendapat keuntungan, meskipun harus mengorbankan rakyatnya.

Karena pada dasarnya, sistem yang mereka (para penguasa) terapkan hari ini adalah sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Maka menjadi hal yang wajar ketika gangguan mental rawan terjadi, karena agama tidak dijadikan pijakan dalam kehidupan sehingga tidak ada tempat untuk bersandar kepada solusi yang tepat, yaitu Islam.

Dalam Islam, jabatan dan kekuasaan merupakan amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Allah SWT. dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Sehingga pada saat seseorang ingin memegang kekuasaan, ia harus yakin dan mampu menjaga amanah di pundaknya, yakni memimpin rakyat. Juga adil dan amanah menjalankan apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Seseorang yang tertanam dalam dirinya Islam, akan berpikir dua kali ketika menginginkan jabatan atau kekuasaan, karena jika saja ia melalaikan bahkan mengabaikan amanahnya, maka balasannya adalah neraka.

Selain karena mampu secara fisik, menjalankan jabatan juga harus mumpuni dalam hal agama, karena jika ia tidak ta’at pada Allah dan Rasul-Nya, maka kerusakanlah yang akan timbul jika bukan hukum Allah yang diterapkan ketika berkuasa.

Seseorang yang berkuasa pun, harus berkuasa dengan menjalankan syari’at Allah dan meraih rida Allah SWT. Jika sudah Allah tujuannya, maka tidak akan rawan terkena depresi, karena ia yakin bahwa apa yang ia dapatkan sudah menjadi ketentuan dari Allah.

Sistem politik Islam juga tidak berbiaya tinggi, bahkan tidak mengeluarkan biaya sepeser pun, karena kekuasaan dalam Islam bukan untuk menarik perhatian manusia, tetapi meraih rida Allah dengan menjalankan syari’at-Nya.

Jadi, tidak ada kata depresi dalam kamus Islam, selama Allah yang dijadikan satu-satunya sandaran dalam urusan kehidupannya. Kata depresi hanya ada dalam sistem sekuler yang menjauhkan aturan Allah (Islam) dalam kehidupan.

Sudah saatnya menjalankan politik yang sesuai dengan perintah Allah, yang mewujudkan kesejahteraan bagi umat, yakni sistem politik Islam. Untuk menerapkan sistem politik Islam, maka diperlukan pengkajian Islam secara kaffah.

Wallahu’alam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 16

Comment here