Tabligul Islam

Kekerasan Seksual Anak, Tanggung Jawab Siapa?

Bagikan di media sosialmu

Oleh : Yulisma

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA— Anak sejatinya dididik dan dijaga oleh orang-orang yang ada disekitarnya, karena mereka adalah aset berharga bagi keluarga, masyarakat, bangsa terutama agama. Jika perkembangan anak baik di tengah-tengah masyarakatnya, maka tercerminlah bagaimana generasi penerus di kemudian hari. Alih-alih menjaga, bahkan sebaliknya anak sering sekali menjadi korban kebejatan orang yang tidak bertanggungjawab.

Seperti halnya yang terjadi pada 6 anak laki-laki di Kepulauan Meranti yang menjadi korban pencabulan sesama jenis oleh pria berusia 30 tahun (tribunpekanbaru.com, 01/05/2024). Aksi pelaku terungkap setelah ditemukan isi pesan percakapan tak biasa antara pelaku dan salah satu korban. Dalam percakapan tersebut, pelaku memaksa korban melakukan perbuatan terlarang dan tak senonoh. Korban pun mengaku bahwa ini bukanlah yang pertama kalinya dan bukan hanya dirinya. Lima teman lainnya juga menjadi korban pencabulan dengan pelaku yang sama.

Kasus pencabulan anak sesama jenis bukanlah hal yang pertama kali terjadi. Pencabulan sesama jenis juga terjadi terhadap 4 bocah di Solo (kompas.com, 22/11/2022). Tiga pelajar di Tegal mencabuli 5 bocah sesama jenis (kompas.com, 09/06/2021). Seorang guru mencabuli siswa sesama jenis (detik.com, 01/09/2023).

Kasus sama yang berulang-ulang seharusnya menjadi tanda tanya besar. Negara seharusnya mencari solusi yang tepat demi keberlangsungan kehidupan yang layak bagi warga negaranya. Selain ketidakharmonisan hidup bermasyarakat, masa depan anak bahkan negara akan terkorbankan jika kejahatan ini masih terus berlanjut.

Pemerintahan Indonesia memang telah mengambil langkah penanganan kasus pencabulan dengan menerbitkan RUU KUHP pasal 420 dan pencabulan pada anak pasal 421. “Yang dimaksud perbuatan ‘cabul’ adalah segala perbuatan yang melanggar norma kesusilaan, kesopanan atau perbuatan lain yang tidak senonoh, dan selalu berkaitan dengan nafsu birahi, atau seksualitas”. (detik.com, 06/6,/2021).

Pasal 421 mengancam orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dengan ancaman pidana penjara selama 9 tahun. Diperberat menjadi 12 tahun penjara apabila korban luka berat dan 15 tahun penjara jika korban mati. Baik dilakukan oleh beda jenis ataupun sesama jenis. Hal ini berlaku terhadap setiap orang yang : a) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya, b) Melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak atau; c) dengan bujuk rayu atau tipu daya menyebabkan seorang anak melakukan atau membiarkan dilakukan terhadap dirinya perbuatan cabul dengan orang lain.

Sebagaimana RUU KUHP pasal 421, memiliki makna bahwa negara sudah memberikan sanksi untuk pelaku biadab tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan mengapa masalah pencabulan terhadap anak masih saja berlanjut? Hal ini menunjukkan bahwa sanksi yang diberikan negara belumlah berdampak apa-apa serta tidak menyelesaikan masalah pencabulan di kalangan anak bangsa. Negara perlu mengevaluasi setiap permasalahan yang ada, mulai dari akar permasalahan hingga menemukan solusi yang tepat.

Kasus ini bukan yang pertama, bisa jadi juga bukan yang terakhir. Penerapan sistem sekulerisme dalam kehidupan menjadi pangkal kejahatan seksual di tengah-tengah masyarakat, tidak terkecuali pada anak. Sekulerisme menjadi sebab utama ketakwaan individu masyarakat menjadi rapuh. Menjadikan hawa nafsu sebagai tolak ukur aturan hidup, membuang aturan Allah SWT sebagai solusi kehidupan yang mengakibatkan pemenuhan birahi tidak pada tempatnya. Anak yang harusnya dijaga, dilindungi dan dikasihi malah menjadi korban pelampiasan nafsu kejahatan.

Padahal Allah SWT. telah memerintahkan agar setiap muslim berIslam secara kaaffah (menyeluruh). Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Baqarah ayat 208 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara kaaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.”

Dalam Islam ada tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan melindungi generasi. Pertama, Keluarga sebagai madrasah pertama dan utama. Orangtua yang bersinergi mendidik, mengasuh, dan mencukupi asupan gizi serta menjaga mereka dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Keluarga merupakan langkah awal jembatan menuju ketakwaan individu. Kedua, Adanya masyarakat sebagai pengontrol anak dalam hidup bermasyarakat. Masyarakat terbiasa ber amar ma’ruf nahi mungkar terhadap semua perilaku generasi yang bermaksiat. Ketiga, negara yang meri’ayah dan pelindung bagi anak. Negara memberlakukan sistem sosial dan pergaulan islam, pendidikan gratis dan berbasis aqidah islam, menghilangkan kemaksiatan-kemaksiatan yang merusak generasi melalui media sosial. hal ini merupakan upaya preventif (pencegahan) yang dilakukan oleh negara. Jikalau upaya preventif dilakukan namun masih terjadi pelanggaran, maka negara dengan tegas menegakkan sanksi berdasarkan syariat Islam.

Penegakkan syari’at Islam secara kaaffah merupakan solusi yang solutif dari semua permasalahan karena Allahlah yang Maha Mengetahui. Namun penerapan syari’at Islam secara kaaffah tidak akan pernah terlaksana jika tidak dilakukan dengan menerapkan sistem Islam yakni Khilafah Rasyidah ‘Ala Min Haajin Nubuwwah. Wallahu A’lam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here