Opini

Pengesahan UU TPKS, Selesaikah Masalah Perempuan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Mahrita Julia Hapsari
(Komunitas Muslimah untuk Peradaban)

wacana-edukasi.com– Setelah mangkrak selama sepuluh tahun, akhirnya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan (sindonews.com, 18/04/2022). Di bawah pimpinan Puan Maharani, pengesahan UU TPKS disetujui oleh delapan fraksi dari sembilan fraksi di DPR. Hanya fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tidak setuju.

Pengesahan UU TPKS dianggap sebagai langkah maju dan serius dalam upaya menyelesaikan kasus kekerasan seksual. UU TPKS bisa menjadi payung hukum yang akan memberikan keadilan bagi korban dan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual.

Adapun jenis kekerasan seksual dalam UU TPKS, tertuang dalam Pasal 4 Ayat 1. Ada sembilan jenis kekerasan seksual dalam UU TPKS yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan sterilisasi. Selanjutnya ada pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan terakhir yaitu kekerasan seksual berbasis elektronik (tempo.co, 15/04/2022).

Selain jenis kekerasan seksual, UU TPKS juga menyebutkan bentuk kekerasan seksual, tertuang dalam pasal 4 ayat 2. Ada sepuluh bentuk kekerasan seksual yaitu pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, dan atau eksploitasi seksual terhadap anak, dan perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban.

Bentuk kekerasan seksual yang lain yaitu pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, pemaksaan pelacuran, tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual, serta kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Akar Masalah Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, di ruang publik maupun domestik. Juga bisa menimpa siapa saja, baik laki-laki, perempuan, dewasa maupun anak-anak. Perhatian khusus diberikan pada perempuan dan anak, tersebab banyaknya kasus kekerasan seksual yang menimpa mereka.

Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sebanyak 338.496 terjadi di tahun 2021. Sedangkan Komisi Perempuan dan Anak Indonesia (KPAI) juga mencatat terdapat 859 kasus anak korban kekerasan seksual pada 2021.

Seperti fenomena gunung es, kasus sebenarnya lebih banyak dari kasus yang tercatat. Kasus kekerasan seksual ini takkan pernah tuntas jika hanya ditangani secara parsial. Sekalipun disahkannya UU TPKS yang membahas masalah sanksi, diduga kuat takkan mampu menihilkan kekerasan seksual.

UU TPKS ini lahir dari rahim sekularisme liberal. Definisi korban kekerasan seksual pun masih sarat akan ide liberalisme. Frasa tanpa persetujuan korban masih membuka peluang bolehnya perilaku seks bebas dan seks menyimpang asalkan sama-sama setuju. Padahal berdasarkan hasil survei, pelaku kekerasan terbanyak adalah pacar.

Adapun di ranah domestik, ekonomi masih menjadi alasan dominan pelaku kekerasan. Sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Atau upah kerja yang tak sesuai dengan kebutuhan hidup. Besar pasak daripada tiang. Sebab semua basic need harus ditanggung oleh individu, utamanya kepala rumah tangga. Jadilah tingkat stres yang tinggi mendera para kepala rumah tangga. Berujung pada tindak kekerasan pada istri juga anak.

Memang tak bisa dimungkiri, ada faktor internal yang belum beres di diri pelaku kekerasan. Secara individu, keimanannya bermasalah, terlupa akan hari pertanggungjawaban kelak atas segala perbuatan di dunia. Lagi-lagi, sistem pendidikan sekuler memang mencetak manusia berorientasi dunia dan melupakan akhirat. Akibatnya, berbuat sesuka hati tanpa standar halal haram. Termasuk melakukan tindak kekerasan.

Negara yang berasas sekuler tak mampu menjaga keimanan dan keamanan rakyatnya. Nafas liberalisme menyuburkan konten yang tak mendidik, diantaranya pornografi dan pornoaksi. Konten-konten tersebut menjadi katalisator sekaligus inspirator bagi pelaku kekerasan seksual.

Negara pun tak menjalankan fungsinya sebagai pemelihara urusan rakyat. Rakyat pontang-panting memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk kebutuhan dasarnya yang semestinya ditanggung negara. Sistem ekonomi kapitalisme yang diadopsi menjadikan negara hanya melayani kepentingan para kapital dan mengabaikan rakyatnya.

Di sisi lain hukum yang diterapkan adalah buatan manusia yang jauh dari rasa keadilan dan tak memberi efek jera. Walhasil, kekerasan seksual tetap menghantui kehidupan manusia.

Solusi Tuntas Kekerasan Seksual

Jika sistem kapitalisme sekuler liberal tak mampu menihilkan kekerasan seksual, perlu sistem alternatif sebagai solusinya. Satu-satunya sistem yang memiliki solusi paripurna atas semua permasalahan manusia hanyalah sistem Islam kaffah. Sistem ini berstandar akidah Islam dan peraturannya bersumber dari Allah SWT, Sang Maha Pencipta dan Pengatur manusia beserta alam semesta.

Sistem pendidikan Islam dibangun di atas asas akidah Islam dengan tujuan membentuk individu berkepribadian Islam. Dengan memiliki kepribadian Islam, pola pikir dan pola sikapnya disesuaikan dengan syariat Islam. Orientasi akhirat menjadikan hidupnya terarah, takkan berani melakukan sesuatu yang melanggar syariat Allah, termasuk kekerasan seksual.

Masyarakat juga dijaga dengan sistem sosial Islam. Terjaganya pergaulan akan meminimalisir bahkan mencegah terjadinya dorongan naluri seksual tersalurkan pada tempat yang salah. Larangan mendekati zina akan menutup semua akses yang mengarah pada maksiatnya perzinahan.

Negara berperan penting menjaga keimanan, kehormatan dan keamanan masyarakat melalui penerapan syariat Islam secara kaffah. Negara menyediakan lapangan pekerjaan yang layak dan menetapkan upah yang manusiawi. Kebutuhan dasar masyarakat pun dipenuhi dengan pelayanan prima dan harga murah bahkan gratis. Jadi, kepala rumah tangga terhindar dari stres yang memicu perilaku kasar.

Sistem sanksi yang tegas dijatuhkan kepada pelaku zina. Ada cambuk sebanyak seratus kali dera bagi yang belum menikah. Dan ada rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah. Kedua hukuman tersebut dilaksanakan di depan umum, siapapun bisa melihatnya. Siapapun yang melihat kerasnya hukuman, ditambah keimanan dalam dirinya, pasti akan berpikir ribuan kali untuk melakukan tindak kekerasan seksual.

Secara komprehensif, sistem Islam kaffah mampu mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual. Wallahu a’lam []

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 11

Comment here