Surat Pembaca

Paylater, Jerat yang Menyesakkan

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Gaya hidup hedonisme dan konsumtif menyerang berbagai kalangan, terlebih para pemuda bahkan yang belum memiliki penghasilan. Hal ini didukung dengan fitur ‘beli sekarang, bayar nanti’ atau yang biasa disebut dengan pay later. Banyak yang termakan rayuan manis fitur ini. Bagaimana menyikapi hal tersebut?

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center dan Kredivo dengan responden berjumlah 3.650 pada Maret 2021 menunjukkan bahwasannya pengguna pay letter meningkat sebesar 55% sejak pandemi. Sebanyak 16,5% pengguna millenial dan sekitar 9,7% pengguna Gen Z. Dan menurut Nailul Huda, peneliti Institute For Development of Economic Studies menyebutkan banyak pengguna fitur ini yang seringkali berujung gagal bayar. Salah satu kelompok yang terjerat bahkan masih berusia dibawah 19 tahun dan belum memiliki penghasilan. Kemudahan persyaratan dan iming-iming yang menarik membuat kalangan pemuda gampang terjerat oleh fitur ini.

Salah satu pemuda berusia 23 tahun menyebutkan bahwasannya dia menggunakan fitur payletter sejak masih berstatus mahasiswa dan belum memiliki penghasilan. Dia menyebutkan kemudahan pendaftaran menjadi alasannya menggunakan. Sehingga mudah untuk membeli berbagai barang yang bahkan bukan kebutuhan pokok. Mencoba sekali tetapi akhirnya sampai terlena tanpa memikirkan cara bayar kedepannya dan bunga yang ditanggung.

Bahkan ada salah satu orang lainnya sampai menjual berbagai aset, menggadaikan barang yang dimiliki untuk membayar tagihan payletter. Tetapi tagihan tetap belum lunas. (bbc.com, 29/12/2022)

Terbukti, adanya fitur payletter ini menimbulkan banyak masalah, awalnya mungkin menyenangkan namun lama-lama menyesakkan. Miris sekali bukan apabila melihat fakta-fakta yang ada?

Dilihat dari pengguna yang kebanyakan millenial dan Gen Z, menunjukkan bahwasannya pemuda sangat sulit untuk mengontrol diri, mereka gampang termakan rayuan manis tanpa memikirkan akibat yang akan diperoleh. Terlebih gaya hidup hedonisme dan kosumtif yang ditayangkan oleh barat. Dalam hal ini barat merupakan patokan gaya hidup. Sehingga banyak pemuda mengikutinya. Dan pemuda dijadikan sebagai ladang penghasil keuntungan para kapitalisme.

Kapitalisme selalu mencari cara untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Salah satu cara yang digunakan dalam era perkembangan teknologi digital saat ini, kapitalis membuat fitur payletter untuk menarik sebanyak-banyaknya nasabah dengan menawarkan kemudahan persyaratan.

Hal ini didukung oleh negara. Pemerintah memperbolehkan berbagai fintech, asalkan terdaftar di OJK. Selain itu penawaran bunga rendah, syarat mudah dijadikan dalih untuk mengatasi kesulitan masyarakat. Sehingga dengan adanya pinjaman/payletter masyarakat lebih mudah mendapatkan barang yang dibutuhkan/diinginkan. Pinjaman seperti ini sudah dianggap biasa oleh banyak masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa yang penting kebutuhan atau keinginannya terpenuhi, tanpa perduli hal yang dilakukan dilarang oleh agama, tidak apa-apa ada bunga asalkan sedikit.

Padahal, apabila berpikir lebih mendalam banyak kemudharatan yang didapatkan, seperti ketagihan berhutang, telat bayar yang akhirnya kelimpungan sendiri. Masyarakat merana, namun para kapitalisme mendapatkan banyak keuntungan. Miris bukan?

Hal ini tidak akan terjadi apabila sistem Islam diterapkan disuatu negara. Tambahan/keuntungan dari pinjaman atau biasa yang dikenal dengan bunga (riba) merupakan sesuatu yang haram.
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al Baqarah 2:275)

Yang mendapatkan dosa tidak hanya nasabah namun pemilik, saksi dan pencatatnya pun mendapatkan dosa.
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa. ” (HR. Muslim, no. 1598)

Ngerinya lagi dosa paling ringan dari riba yaitu seperti menzinai ibu kandungnya sendiri. Naudzubillah “Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim 2:37)

Terkait dengan fintech islam membolehkan asal sesuai dengan aturan seperti tidak ada riba, akad pinjam meminjam harus jelas, tujuannya tidak boleh melanggar syariat, serta islam menegaskan bahwa pinjam meminjam hanya untuk saling tolong menolong, bukan untuk mencari keuntungan.

Serta, dalam negara islam, seseorang sejak kecil akan ditanamkam akidah yang kuat sehingga muncullah kepribadian islam dalam diri seseorang tersebut hingga dewasa. Sehingga segala sesuatu yang dilakukan akan disandarkan pada syariat Islam. Sehingga seseorang akan membeli sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan hanya lapar mata sehingga melakukan pinjaman.

Hal ini akan bisa terwujud apabila islam diterapkan dalam segala bidang. Baik oleh individu, masyarakat dan negara.

Unix Yulia

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 5

Comment here