Opini

Menyoal Vonis Pinangki 

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Annisa Al Maghfirah

(Relawan Media)

Hukum sekuler memang tidak akan mampu mewujudkan keadilan hukum. Sebagaimana kita ketahui, pembuat hukum dalam demokrasi adalah manusia.

Wacana-edukasi.com –“Di Tiongkok, koruptor dihukum mati. Di kita (Indonesia) diberi keringanan. Alangkah ‘manusiawi’nya hakim-hakim kita.”

Begitulah pernyataan eks anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Abdillah Toha. Dia menyentil hakim yang menyunat vonis hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun kepada eks jaksa Pinangki Sirna Malasari, terdakwa korupsi dan pidana pencucian uang penyuapan uang 500.000 dolar AS (sekitar Rp7,3 miliar) dari buronan Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

Ketidakadilan Hukum

Vonis yang disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 10 tahun penjara menjadi hanya 4 tahun mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Muncul pula petisi daring yang mendesak jaksa untuk mengajukan kasasi. Saat ini, lebih dari 16 ribu orang telah meneken petisi itu (Detik.com, 20/06/2021).

Potongan masa tahanan Pinangki disampaikan oleh ketua majelis Muhammad Yusuf dengan anggota Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar, dan Reny Halida Ilham Malik dalam pengadilan. Dalihnya, lantaran Pinangki dinilai menyesali perbuatannya dan ikhlas melepas jabatan. Selain itu, hakim menilai Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita yang berusia empat tahun. Jadi, diberi kesempatan untuk bisa mengasuh serta memberi kasih sayang kepada anaknya. Terdakwa juga adalah wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan dan diperlakukan secara adil.

Hal ini sangat bertolak belakang jika terdakwa adalah wanita sekaligus ibu biasa yang tak bertakhta, tak menyandang gelar penegak hukum seperti Pinangki. Contohnya, kasus Prita Mulyasari,lalu kisah empat ibu-ibu terdakwa pelemparan atap pabrik tembakau yang berakhir di penjara. Mereka semua tidak mendapatkan diskon hukuman.

Hukum dalam Demokrasi

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Agaknya sila kelima Pancasila tersebut semakin hilang dan sekadar barisan kata. Hanya suara sumbang yang masih digaungkan sebagai perisai yang kalimatnya pun sering keluar dari para tikus berdasi. Apatah lagi hukum yang disanksikan tak pernah memberi efek jera.

Hukum pun bisa dibeli. Kita orang yang lemah, pasrah akan keadaan.’

Lirik lagu sindiran bagi Gayus Tambunan dahulu semakin merealita. Tatkala rakyat lemah nan papa maka hukum semakin tajam. Sedangkan kepada para pejabat atau yang bertakhta hukum pun tumpul. Perlakuan para aparat penegak hukum pun berbeda antara koruptur kelas kakap pencuri milyaran uang dan pencuri ayam yang hanya ratusan ribu. Miris.

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai penyunatan terhadap masa tahanan Pinangki sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. MAKI juga mendesak Mahkamah Agung untuk mengajukan kasasi atas vonis 4 tahun penjara terhadap Jaksa Pinangki di tingkat banding.

Para hakim yang menyunat vonis jaksa Pinangki dikenal memang telah terbiasa menyunat hukuman untuk para koruptor. Dalam catatan detikcom, Minggu (20/6/2021), nama-nama hakim tinggi itu tercatat kerap menyunat hukuman para terdakwa korupsi. Dari pembobol Jiwasraya hingga bantuan sosial.

Sadarlah, fakta di atas hingga kejadian serupa yang telah menjamur di negeri ini membuktikan bahwa demokrasi sebagai salah satu produk hukum sekuler hanya akan menjadikan pelaku kejahatan terlena, tak jera dan justru makin menggila. Tuntutan materi menjadikan para koruptor juga penegak hukum tak takut dosa hingga menghilang nalar dan hati nuraninya.

Hukum sekuler memang tidak akan mampu mewujudkan keadilan hukum. Sebagaimana kita ketahui, pembuat hukum dalam demokrasi adalah manusia. Mahluk yang bersifat lemah, terbatas dalam berpikir serta goyah akan kepentingan tertentu (harta, takhta, dan wanita). Lalu standar yang digunakan dalam membuat UU ialah akal manusia dengan berdasar suara terbanyak dari anggota parlemen yang mewakili partai politik bukan mewakili rakyat. Kebijakan yang diputuskan pun banyak yang tidak sejalan dengan harapan rakyat.

Tentu kita masih ingat bagaimana UU Ciptaker, Minerba dan Undang-Undang lainnya yang banyak ditolak oleh rakyat karena cenderung memuaskan para kapitalis. Maka tak heran dalam membuat peraturan dan kebijakan yang dihasilkan adalah peraturan yang rusak bahkan tak manusiawi. Apalagi berharap ada keadilan hukum yang merata tanpa membedakan kasta dan strata selamanya di negeri Indonesia, kecuali meninggalkan sistem sekuler dan mengambil sistem Islam itulah sebaik-baik harapan dan tujuan.

Berhukumlah dengan Islam

Menjadi hakim merupakan salah satu profesi yang sangat dituntut keadilannya. Urusan dan pertanggungjawabannya tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maka siapa yang menjadi hakim, ia haruslah hati-hati dalam memutuskan perkara. Sebab selain pengadilan dunia juga ada pengadilan akhirat.

Terkait dengan profesi hakim, Nabi Shallallahu ‘laihi wasallam di dalam salah satu sabdanya telah menjelaskan:
“Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Hakim ada tiga macam. Satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran itu maka ia masuk surga, hakim yang mengetahui kebanaran dan menetapkan hukum bertentangan dengan kebenaran ia masuk neraka, dan hakim yang menetapkan hukum dengan kebodohannya ia masuk neraka.” (HR. Abu Dawud).

Apa yang dilakukan oleh Pinangki seharusnya tidak boleh ditoleransi apalagi sampai “menyunat” vonis hukumannya. Dalam Islam, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Hal ini disampaikan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no 6788 dan Muslim no. 1688).

Namun, apabila sistem yang digunakan bukan sistem pemerintahan Islam, hal tersebut tidak bisa direalisasikan. Jadi harus kembali kepada sistem pemerintahan Islam. Di mana hakim tak memandang seorang pemimpin dalam pengadilan seperti peristiwa khalifah Ali dan seorang Yahudi. Berhukum dengan aturan pencipta akan melindungi umat manusia baik yang Islam maupun non Islam.

Sudah saatnya untuk mengakhiri sistem dan kepemimpinan sekuler dengan memperjuangkan Islam. Satu-satunya sistem yang memuliakan, menjamin kebaikan, dan mewujudkan keadilan bagi seluruh umat manusia. Sistem yang berhukum dengan Kitabullah dan Sunah. Sistem aturan Ilahi untuk kebaikan hakiki. Pun sebagai konsekuensi keimanan di mana manusia hanya menghamba pada penciptanya hamba.

Wallahu a’lam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 2

Comment here