Opini

Larangan Mudik Lebaran, Solusikah untuk Menuntaskan Pandemi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sri Retno Ningrum

Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan mudik Lebaran 2021. Hal itu disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK). Muhidjir Effendy, “Ditetapkan tahun 2021 mudik ditiadakan, berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, BUMN, Swasta maupun pekerja mandiri juga seluruh masyarakat.” Beliau menambahkan, larangan mudik Lebaran 2021 berlaku mulai 6 hingga 17 Mei 2021. Adapun latar belakang kebijakan tersebut adalah untuk mendukung program vaksinasi Covid-19 agar berjalan dengan maksimal, (Liputan6.com, 28/3/2021).

Selain itu, pemerintah juga akan mengeluarkan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat sebagai kompensasi larangan mudik, sehingga mereka tetap bisa berbelanja ketika lebaran tiba. Hal tersebut mendapat tanggapan positif dari Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani. Beliau mengatakan bahwa dengan pencairan Bansos yang dijanjikan pemerintah pada masa Lebaran 2021 / Idul Fitri 1442 H akan mampu mendongkrak konsumsi dan permintaan pasar, sehingga bisa tetap mendorong pemulihan ekonomi,(DeskJabar, 27/3/2021).

Mudik merupakan kegiatan perantau atau pekerja migran untuk pulang ke kampung halamannya (Wikipedia). Mudik biasanya terjadi pada waktu Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Momentum mudik dijadikan sanak saudara saling berkumpul satu sama lain. Akan tetapi, melihat kondisi sekarang ini, yakni pandemi, maka mudik menjadi kegiatan berpeluang menyebarnya virus Covid-19. Maka, pemerintah pun memutuskan melarang mudik. Namun, apakah larangan mudik lebaran bisa dijadikan solusi untuk menuntaskan pandemi?

Apabila kita cermati masyarakat Indonesia memiliki habits (kebiasaan) untuk berkumpul. Tidak hanya waktu lebaran saja namun, hari-hari biasa mereka sering berkumpul. Terlebih di kalangan masyarakat pedesaan. Mereka berkumpul dan membuat organisasi-organisasi. Sehingga semenjak adanya pandemi ini, bukan sesuatu yang mudah bagi masyarakat kalangan pedesaan mematuhi salah satu protokol kesehatan, yakni menghindari kerumunan.

Hal ini tentu tidak akan terjadi, jika semenjak virus Covid-19 ditemukan di Wuhan (China) pemerintah mau menutup batas-batas wilayah negara. Akan tetapi, hal tersebut tidak dilakukan negara ini. Sebaliknya, WNA (Warga Negara Asing) diperbolehkan masuk ke Indonesia, sehingga masuklah virus Covid-19 di negara ini. Setelah virus tersebut mulai menyebar di negara ini, negara pun gagap untuk menghadapinya. Berbagai kebijakan digonta-ganti, namun dari berbagai kebijakan yang ada semuanya tetap berorientasi pada kepentingan ekonomi. Artinya, meski pandemi, ekonomi tidak boleh terpuruk. Hasilnya, nyawa rakyat harus dikorbankan. Rakyat tetap bisa beraktivitas atau bekerja di luar rumah dengan mematuhi protokol kesehatan seperti: menggunakan masker, rajin cuci tangan dan menghindari kerumunan.

Namun realita yang ada sangat sedikit rakyat yang mematuhi protokol kesehatan. Akibatnya terjadilah lonjakan virus Covid-19 setiap harinya.
Tak bisa dimungkiri bahwa kebijakan yang ada merupakan hasil dari diterapkannya sistem kapitalis-sekuler. Sistem tersebut menjadikan materi di atas segalanya, meski harus mengorbankan rakyatnya. Nyawa rakyat menjadi sesuatu yang tidak berharga dalam sistem ini. Padahal Rasulullah SAW pernah bersabda: “Hilangnya dunia lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim tanpa hak.” (HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455 dan dishahihkan al-Albani)

Hal itu tentu berbeda dalam sistem Islam atau khilafah. Khilafah yang dipimpin oleh khalifah akan senantiasa meriayah rakyatnya dengan baik tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan agama. Karena sejatinya khalifah adalah pelayan rakyat. Adapun ketika terjadi wabah, maka khalifah akan menerapkan kebijakan karantina wilayah total (lockdown). Daerah yang terkena wabah diisolasi dan mereka dicukupi kebutuhannya oleh negara hingga wabah berakhir. Kemudian, tempat yang tidak terkena wabah tetap bisa menjalankan aktivitas biasanya termasuk mudik dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Pada masa Rasulullah SAW juga pernah terjadi wabah, yakni penyakit Thaun. Rasulullah bersabda: “Apakah kalian mendengar ada penyakit menular di suatu daerah. Janganlah kalian memasukinya, dan apabila penyakit itu ada di suatu daerah dan kalian berada di tempat itu, janganlah kalian keluar dari daerah itu karena melarikan diri dari penyakit itu.” (HR. Al-Bukhari). Dengan kebijakan karantina wilayah itu, wabah penyakit Thaun cepat berakhir.

Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita mencontoh apa yang disampaikan oleh Rasulullah SAW berdasarkan Kalamullah. Dengan menjadikan Al-Qur’an dan hadits, niscaya setiap permasalahan kehidupan kita akan terselesaikan dengan baik termasuk dalam penanganan pandemi. Sehingga tidak sampai berdampak buruk bagi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat. Walhasil, kehidupan masyarakat berjalan dengan normal. Adapun bantuan sosial yang diberikan negara ketika wabah dan lebaran itu hanyalah obat pereda sakit, namun tidak mampu menghilangkan penyakit.

Sungguh, larangan mudik lebaran tidak tepat untuk dijadikan solusi menuntaskan pandemi, karena sejak awal kebijakan yang diambil ini sudah salah. Maka perlu bagi kita bersegera mengganti sistem yang ada dengan sistem Islam (khilafah). Karena khilafahlah yang mampu menyelesaikan problematika kehidupan manusia secara sempurna.

Wallahu’alam Bisshowab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 0

Comment here