Opini

Konflik Agraria Terus Berulang, Islam Beri Solusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Imroatus Sholeha (Relawan Opini)

wacana-edukasi.com– Kapolres Mukomuko AKBP Witdiardi, S.H., M.Si. resmi menetapkan 40 petani sebagai tersangka pelaku pencurian buah kelapa sawit di lahan konflik masyarakat dengan PT Daria Dharma Pratama (DDP) Desa Talang Arah, Kecamatan Air Rami, Kabupaten Mukomuko. (Konferensi pers, Jumat (13/05/2022)).

Terkait hal ini Tim kuasa hukum dan koalisi LSM menilai penangkapan 40 petani Mukomuko, Bengkulu oleh aparat kepolisian beberapa waktu lalu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). “Apa yang hari ini terjadi pada 40 petani di Mukomuko adalah bentuk praktik pelanggaran HAM,” kata salah satu perwakilan koalisi dari Elsam, Fuad dalam keterangan pers, Selasa (17/5). CNN Indonesia.

Fuad menilai peristiwa tersebut juga membuktikan bahwa ada inkonsistensi negara dalam memberi jaminan HAM terhadap rakyat. Ia menyebut pemerintah sangat getol menggaungkan pencapaian agenda reforma agraria. Misalnya, bagi-bagi sertifikat tanah gratis. Namun di sisi lain, pemerintah melakukan pembiaran perampasan tanah dari warga setempat untuk kepentingan pembangunan.

“Tidak hanya di konteks Bengkulu saja tapi di kasus dan tempat lain,” ucap dia. Padahal, kata dia, Komnas HAM juga telah mengeluarkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang dibuat untuk memudahkan dalam menafsirkan hak-hak dan cakupan pada hak-hak tertentu. Salah satunya terkait tanah dan sumber daya alam.

Sebelumnya pada tanggal 12 Mei, 40 petani dikepung oleh aparat kepolisian usai memanen buah sawit milik mereka sendiri. Usai mengepung, para petani itu ditelanjangi setengah badan. Lalu, tangannya diikat oleh tali plastik.

Sebagai komponen penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Kepolisian memiliki tanggung jawab untuk memastikan terpeliharanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan terhadap masyarakat. Namun, dalam kasus ini terjadi disparitas pada aparat kepolisian dalam melihat dan menindaklanjuti konflik yang terjadi di Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko.

Kedatangan pihak kepolisian ke dalam area konflik secara besar-besaran telah berdampak pada kecemasan dan ketakutan yang berlebih di dalam masyarakat. Stigma polisi yang akrab dengan kekerasan menimbulkan hilangnya rasa aman bagi masyarakat dan tentu saja bertentangan dengan komitmen negara dalam hal melindungi, menghormati dan juga memenuhi hak setiap masyarakat.

Dalam hal ini, kepolisian abai untuk memberikan perlindungan hak atas rasa aman bagi masyarakat yang secara jelas terdapat di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) Pasal 30 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”. Info negeri. Id

Dari infonegeri.id (15/5/2022) dijelaskan duduk perkara konflik agraria di Kabupaten Mukomuko Bengkulu ini. Awalnya, lahan tersebut adalah lahan garapan masyarakat Malin Deman setempat yang ditanami padi, kopi, jengkol, dan tanaman komoditas pangan lainnya.

Pada 1995, wilayah tersebut dialihkan menjadi lahan perkebunan dengan komoditas kakao dan kelapa hibrida melalui konsesi HGU kepada PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) seluas 1889 Ha. Namun, pihak perusahaan hanya melakukan aktivitas penanaman komoditas kakao seluas 350 Ha dan kelapa hibrida seluas 14 Ha di atas lahan konsesi selama 2 tahun.

Setelah dua tahun (1997), pihak perusahaan tidak mengelola lahannya. Sebagian besar warga sekitar beserta dengan warga yang belum mendapatkan ganti rugi dari PT BBS mulai menggarap lahan HGU telantar PT BBS tersebut. Pada 2005, lahan HGU telantar PT BBS yang telah dikelola masyarakat tersebut diklaim oleh PT Daria Dharma Pratama (DDP) melalui keterangan akta pinjam pakai antara PT DDP dan PT BBS.

Bermodalkan klaim tersebut, PT DDP mulai melakukan pengusiran secara paksa terhadap masyarakat yang telah menggarap lahan HGU telantar PT BBS dengan melakukan penanaman komoditas sawit, pemaksaan ganti rugi, dan melakukan tindakan represif.

Pada 2020, masyarakat penggarap membentuk kelompok perjuangan yang dinamakan PPPBS. Agustus 2021, PPPBS melalui kebijakan Reforma Agraria sebagaimana diatur dalam Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria mengajukan usulan Redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dengan subjek 187 orang masyarakat dan objek lahan usulan seluas 603,87 Ha kepada Bupati Mukomuko, Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Mukomuko, Gubernur Bengkulu, Kantor Wilayah BPN Provinsi Bengkulu, dan Kementerian ATR/BPN. Hingga saat ini usulan dari anggota PPPBS tersebut masih menunggu untuk ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berwenang.

Kisruh masalah lahan bukanlah pertama kali terjadi baik antara rakyat dan pengusaha maupun dengan pemerintah. Ini menunjukkan konflik agraria terus berulang dan menambah kompleks masalah lahan. Menurut Komnas HAM setiap tahunnya konflik agraria pengaduan pelanggaran HAM terbanyak yang dilaporkan. Fakta di lapangan menunjukan masyarakat miskin dan lemah adalah kelompok yang di salahkan dan dirugikan atas kasus sengketa lahan tak jarang kadang sampai merenggut korban jiwa.

Setali tiga uang dengan petani di Kabupaten Mukomuko beberapa bulan lalu di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dikepung satuan gabungan TNI dan Polri dengan senjata lengkap, Selasa, 8 Februari 2022. Puluhan warga Desa Wadas ditangkap dan digelandang ke Polres Purworejo. Penangkapan itu dilakukan karena mereka dianggap melakukan provokasi dan penolakan terhadap pengukuran lahan yang akan digunakan untuk penambangan batu andesit. Tempo.co

Dalam kondisi seperti ini negara harus mengambil langkah tegas dan adil agar konflik seperti ini tidak berulang kembali. Penguasa mempunyai kewajiban menyelesaikan permasalahan agrari secara tuntas tanpa mengambil keuntungan apalagi berpihak kepada korporasi yang menjadi lawan rakyat dalam kasus sengketa.

Namun, di sistem kapitalis hari ini tampaknya hal itu sulit terwujud sebab dasar sistem ini adalah mengambil manfaat atau keuntungan sebesar-besarnya jadi segala cara dilakukan agar keuntungan dapat diraih termasuk mengabaikan hak rakyat. Sistem ini juga membuka peluang terjadinya konflik agraria yang sangat kompleks dan meluas. Karena tidak ada kejelasan status kepemilikan lahan yang ada ditambah mafia-mafia tanah yang tidak tersentuh hukum makin membuat ketimpangan penguasaan lahan. Keberpihakan kepada korporasi seringkali memenangkan pihak yang kuat dan memaksa rakyat mengalah. Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalis-neoliberal

Ditambah lagi di sistem ini tidak diatur hukum kepemilikan lahan mana yang boleh dimiliki individu, lahan negara, dan lahan mana yang termasuk kepemilikan umum sehingga haram dikuasai individu, negara, apalagi asing. Saat ini siapa yang bermodal, dan memiliki akses pada kekuasaan, maka mudah menguasai lahan dengan leluasa, sedangkan rakyat kembali gigit jari.

Hal ini tentu berbeda jika mengambil islam sebagai solusi sengketa lahan, di dalam islam telah diatur secara rinci dan adil sehingga tidak mendzolimi pihak manapun dan tidak memihak pada salah satu pihak. Jadi, untuk mengakhiri secara tuntas kasus sengketa lahan maka harus ada perubahan menyeluruh dalam paradigma hukum saat ini.

Dan langkah yang tepat untuk ditempuh adalah menerapkan kembali syariat islam, hukum yang bersumber dari sang pencipta (Allah SWT) yang telah terbukti kebenarannya dan keberhasilan nya telah ditunjukan Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnyasesudahnya selama 13 abad lamanya. Dengan mengambil langkah ini dan mengembalikan hukum status kepemilikan lahan seperti yang diatur oleh Allah SWT akan menyelesaikan persoalan sengketa lahan yang terus berulang.

Di dalam islam ada 3 status lahan kepemilikan. Pertama, lahan yang boleh dimiliki oleh individu, seperti : lahan pertanian, kebun, ladang, dan sebagainya. Kedua, lahan milik umum yakni lahan yang di dalamnya terdapat harta kepemilikan umum, seperti: lahan pertanian, tambang, dan lainya. Pada lahan kepemilikan umum islam melarang kepemilikannya atas individu maupun swasta dan asing sebab ini termasuk harta milik umum yang wajib di kelola negara dan didistribusikan untuk kepentingan rakyat. Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan diatasnya ada harta milik negara seperti, bangunan milik negara. Berdasarkan ini individu/swasta dilarang menguasai lahan milik umum sekalipun di izinkan oleh negara.

Kepemilikan lahan dalam Islam harus dibarengi dengan pengelolaan atau pemanfaatannya. Jika ditemukan lahan yang tidak tampak kepemilikan seaeorang di atasnya maka boleh dimiliki siapapun asalkan mampu mengelolanya. Sebaliknya pada lahan yang sah dimiliki oleh seseorang tetapi ditelantarkan selama lebih dari 3 tahun maka hak kepemilikan telah hilang darinya. Negara bisa menyerahkannya kepada orang lain untuk ia garap sebagai pemberian cuma-cuma dari negara tanpa kompensasi apa pun karena termasuk tanah mati. Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun.

Abu Yusuf dalam Al-Kharaj menuturkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkata, “Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”

Juga terdapat riwayat bahwa Khalifah Umar ra telah menjadikan masa penguasaan tanah oleh seseorang adalah selama tiga tahun. Jika tanah itu dibiarkan hingga habis masa tiga tahun lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain, orang yang terakhir inilah yang berhak atas tanah tersebut. Tindakan Khalifah Umar ra ini disaksikan oleh para sahabat dan mereka tidak mengingkarinya. Dengan demikian, ketetapan ini menjadi Ijmak Sahabat.

Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Allah Swt berfirman, “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42)

Dengan demikian solusi atas konflik agraria hanyalah kembali pada syariat Islam bukan berharap pada sistem kapitalis hari ini yang menjadi sumber berbagai macam persoalan bagi manusia. tak hanya persoalan sengketa lahan Islam adalah jalan terang bagi seluruh problem yang hadir di tengah umat saat ini. Hanya kembali pada Islam kesejahteraan dan keadilan dapat kembali terwujud seperti 13 abad yang lalu saat islam diterapkan. Wallahualam bi shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 20

Comment here