Oleh: Riena Enjang (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Dilansir dari klikpendidikan.id (5-1-2025), Plt Sekjen Kemendiktisaintek, Togar Mangihut Simatupang menjelaskan bahwa perubahan nomenklatur kementerian yang berulang kali menyebabkan terganggunya struktur anggaran, sehingga tunjangan kinerja dosen untuk tahun 2025 tidak dianggarkan. Meskipun regulasi terkait sudah ada dalam Permendikbudristek No. 49 Tahun 2020, tetapi ketiadaan anggaran memaksa pemerintah mencari solusi dengan mengajukan proposal Rp2,8 triliun ke DPR RI, dan menyiapkan penerbitan Perpres sebagai dasar hukum pencairan tunjangan di masa mendatang.
Krisis Tunjangan Pendidik
Beban berat pendidik di tengah krisis tunjangan mencerminkan kondisi sulit yang dihadapi dosen setelah penghentian tunjangan kinerja (tukin) pada tahun 2025 akibat perubahan nomenklatur dan ketiadaan anggaran. Tukin, yang sebelumnya menjadi bagian penting dari pendapatan dosen, digunakan untuk menutup kebutuhan dasar seperti pendidikan anak, biaya hidup, dan pengembangan profesional. Tanpa tunjangan tersebut, mereka harus bertahan hanya dengan gaji pokok dan tunjangan profesi atau fungsional lainnya, yang sering kali tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat.
Situasi ini menciptakan tekanan ekonomi yang signifikan. Banyak dosen yang masih dalam masa awal karier atau bekerja di daerah dengan biaya hidup tinggi, mereka menghadapi tantangan berat dalam mempertahankan kesejahteraan keluarga. Beberapa terpaksa mencari pekerjaan tambahan di luar kampus. Hal ini tentu dapat mengurangi waktu dan energi mereka untuk fokus pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat (tiga pilar utama dalam dunia akademik).
Minimnya perhatian dan dukungan dari pemerintah terhadap kesejahteraan dosen juga berdampak pada moral dan motivasi kerja. Beban administratif yang tinggi, tuntutan publikasi ilmiah, serta tanggung jawab mengembangkan kualitas pendidikan. Yang demikian itu menjadi semakin berat jika tanpa dukungan finansial yang memadai. Akibatnya, kualitas pendidikan tinggi berisiko menurun, karena pendidik yang seharusnya menjadi pilar utama kemajuan bangsa harus bergulat dengan ketidakpastian ekonomi. Krisis ini mempertegas perlunya kebijakan yang lebih berpihak pada kesejahteraan pendidik sebagai bagian dari komitmen membangun masa depan yang lebih baik.
Di tengah krisis tunjangan kinerja akibat perubahan nomenklatur kementerian dan ketiadaan anggaran, pendidik menghadapi beban berat dengan hanya mengandalkan gaji pokok dan tunjangan lain yang sering tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup yang terus meningkat. Kondisi ini memaksa sebagian dosen mencari pekerjaan tambahan, yang dapat mengurangi fokus mereka pada tanggung jawab akademik. Minimnya dukungan pemerintah memperburuk motivasi kerja, meningkatkan risiko penurunan kualitas pendidikan.
Abai Pendidikan
Tidak sejahteranya para pendidik bahkan pelajarnya, merupakan konsekuensi dari penerapan ideologi kapitalisme di negeri Pancasila ini. Dalam sistem kapitalisme yang berwatak materialistis, pendidikan hanya dianggap sebagai pabrik tenaga kerja yang hasil produknya akan di suplai ke dunia industri. Pendidikan yang sejatinya untuk mencerdaskan anak bangsa guna menyiapkan estafet kepemimpinan di masa depan, tidak lagi terwujud. Akibatnya, pemerintah tidak memperjuangkan anggarannya.
Terlebih, dosen atau guru yang harusnya memiliki peran penting yang harus dipenuhi finansialnya, malah hanya dianggap sebagai budak saja. Dengan tanpa merasa bersalah, kesejahteraan mereka diabaikan. Jika pengajarnya saja tidak disejahterakan, bagaimana mungkin akan lahir generasi-generasi yang hebat penerus bangsa? Inilah bobroknya sistem pendidikan dalam naungan ideologi kapitalisme. Pendidikan tidak menjadi prioritas kecuali hanya dijadikan ladang kapitalisasi.
Islam Memandang Sistem Pendidikan
Dalam sistem Islam, pendidikan dianggap sebagai kebutuhan dasar rakyat yang harus dipenuhi oleh negara Islam (Khilafah). Negara memiliki tanggung jawab penuh dalam menyediakan pendidikan untuk warganya, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Negara menyediakan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk pendidikan, termasuk gedung sekolah, tenaga pengajar, buku, alat tulis, alat peraga, perpustakaan, laboratorium, seragam, asrama, serta kebutuhan makan dan minum. Hal ini sesuai dengan praktik Rasulullah saw. yang membiayai pendidikan rakyatnya dengan dana dari tebusan perang yang masuk ke baitulmal.
Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah saw. menggunakan tawanan yang tidak memiliki tebusan pada Perang Badar untuk mengajarkan anak-anak kaum Ansar menulis sebagai gantinya.
Peran negara dalam menjamin pendidikan dijelaskan oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam buku Muqaddimah ad-Dustur yang menyatakan bahwa mengajarkan hal-hal yang diperlukan dalam kehidupan adalah kewajiban setiap individu, baik pria maupun wanita. Negara harus menjamin pendidikan untuk seluruh rakyat secara gratis, termasuk kesempatan melanjutkan pendidikan tinggi dengan fasilitas yang baik.
Untuk membiayai pendidikan, anggaran berasal dari baitulmal, yang diperoleh dari pos-pos seperti fai, kharaj, dan kepemilikan umum (seperti tambang, laut, dan hutan). Dana pendidikan juga dapat berasal dari wakaf yang dikelola oleh negara dari para pejabat dan orang kaya, baik berupa bangunan fisik seperti gedung atau laboratorium, maupun sarana produktif seperti kebun dan industri yang digunakan untuk operasional pendidikan.
Jika kas baitulmal kosong namun pendidikan tetap harus berjalan, negara akan tetap menggaji pendidik menggunakan dana pajak yang dipungut dari rakyat kaya secara insidental. Gaji pendidik tetap dibayarkan, meskipun kas negara kosong, karena negara memiliki mekanisme untuk mencapainya.
Namun, kondisi kas baitulmal kosong sangat jarang terjadi dalam sistem Khilafah, karena penerapan sistem ekonomi Islam yang menciptakan kesejahteraan yang merata di masyarakat. Para pendidik akan menikmati kesejahteraan yang luar biasa. Sebagai contoh, pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan pendidik mencapai 2.000 dinar (sekitar Rp12,75 miliar), sementara ahli fikih dan periwayat hadis mendapat gaji 4.000 dinar.
Selain gaji, pendidik juga merasakan manfaat layanan publik yang disediakan oleh negara, seperti pendidikan dan kesehatan gratis. Dengan demikian, mereka tidak perlu menghabiskan gaji untuk biaya pendidikan atau kesehatan, melainkan untuk kebutuhan dasar lainnya.
Khilafah juga menyediakan kemudahan dalam hal transportasi, air, listrik, BBM, dan harga barang yang terjangkau. Negara bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Bahkan, para pendidik dapat melakukan perjalanan ilmiah ke wilayah lain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan mereka, melakukan penelitian, atau mengajarkan Islam di wilayah baru yang memerlukan dakwah. Semua ini difasilitasi oleh negara.
Sebaliknya, dalam sistem Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang sudah pasti dijamin negara. Negara menyediakan fasilitas pendidikan lengkap, membiayainya melalui baitulmal dan wakaf, serta memastikan kesejahteraan pendidik dengan gaji yang tinggi, layanan publik gratis, dan stabilitas ekonomi, menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih ideal. Dengan demikian kesejahteraan pendidik pun tak akan terlantar sebagaimana dalam sistem kapitalisme. [WE/IK].
Views: 4
Comment here