Opini

Keadilan, Ilusi dalam Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Novianti

wacana-edukasi.com– Nama Eko Kuntadhi jadi perbincangan karena menghina ustazah Imaz Fatimatuz Zahra atau yang akrab disapa Ning Imaz, seorang tokoh dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur. Ning Imaz putri dari pasangan KH Abdul Khaliq Ridwan dengan Nyai Hj Eeng Sukaenah seorang pengasuh di Ponpes Putri Al Ihsan Lirboyo. Cucu dari Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampasy, pengarang kitab Siraj ath-Thalibin. (detik.com, 14/09/2022)

Polemik berawal ketika Eko mengunggah potongan video ceramah Ning Imaz yang ditambahi keterangan berupa ungkapan bernada kasar, “Tolol tingkat kadal. Hidup kok cuma mimpi selangkangan.” Kicauan yang dipandang keterlaluan ini langsung diprotes terutama oleh tokoh-tokoh NU. Padahal dalam video tersebut, Ning Imaz sedang menjelaskan tafsir surah Ali Imran ayat 14.

Setelah menyadari reaksi keras dari umat Islam, Eko yang juga Ketua Umum Relawan Ganjarist ini menghapus postingan videonya. Tapi sudah terlanjur viral. Ning Imaz mengatakan Eko harus meminta maaf pada seluruh umat Islam yang telah tersakiti karena menghina Islam.

Masyarakat berharap Eko diproses secara hukum tapi nampaknya harapan ini harus terkubur. Eko mendatangi Ponpes Lirboyo dan menyampaikan permohonan maaf kepada Ning Imaz. Dalam pertemuan yang juga dihadiri politikus PSI, Mohamad Guntur Romli, perwakilan keluarga besar Pesantren Lirboyo KH Oing Abdul Muid Shohib serta Ketua PCNU Kota Kediri KH Abu Bakar Abdul Jalil, kasus dianggap selesai.

*Fenomena Buzzer di Dunia Maya*

Ketua PWNU DKI, Samsul Maarif, sebagaimana dilansir republika.co.id (14/09/2022) mengatakan Eko sudah terbiasa menghina dan merupakan sosok yang kotor. Wakil Khatib Syuriah PWNU DKI Jakarta Kiai Jamaluddin F Hasyim berharap Eko segera ditertibkan pemerintah karena dapat memecah belah persatuan, bila perlu diproses secara hukum.

Meski desakan sudah datang dari berbagai kalangan, nampaknya pemerintah tidak akan bertindak tegas seperti pada pelaporan masyarakat sebelumnya terkait sepak terjang Denny Siregar dan Abu Janda. Mereka kerap melontarkan berbagai ungkapan yang menimbulkan kontroversi terutama kepada pihak umat Islam.

Tahun 2020, Denny pernah menyebut santri sebagai calon teroris saat mengunggah foto sejumlah santri Tahfidz Alquran Daarul Ilmi Tasikmalaya. Forum Mujahid Tasikmalaya dan beberapa tokoh pesantren mendesak agar Denny diadili. Abu Janda pernah menyebut Islam sebagai agama teroris dan menyebut bendera tauhid sebagai bendera lambang teroris. Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf juga mengecam tindakan Abu Janda karena menyebut Islam sebagai agama yang arogan. Namun, keduanya masih bebas hingga sekarang.

Tak heran, masyarakat menuding Eko, Denny dan Abu Janda sebagai buzzer yang menyuarakan opini atau isu-isu di medsos untuk mempengaruhi masyarakat demi kepentingan penguasa. Peran buzzer memang makin nyata ketika memasuki ranah politik. Hal ini terlihat ketika Pilkada DKI tahun 2021, terus berlanjut hingga Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 serta pemilihan umum tahun 2014 dan 2019.

Para buzzer umumnya menyampaikan pesan-pesan berupa dukungan atau menyerang satu kandidat. Mengangkat berbagai isu termasuk isu identitas. Lalu, seiring dengan geliat kesadaran di tengah-tengah umat Islam yang menyuarakan perubahan dan mengritik kezaliman pemerintah, para buzzer mulai menyerang Islam. Narasi-narasi kotor, fitnah terhadap Islam dan tokoh-tokohnya, manipulasi kebenaraan sering dihambur di medsos yang bisa membangkitkan kemarahan dan memicu perpecahan.

*Kedudukan Sama dalam Pandangan Hukum Islam*

Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat mengatakan polisi seharusnya segera bertindak terhadap Eko. Ia menegaskan jika polisi tidak menindak Eko, membuktikan bahwa Eko adalah buzzer yang sengaja dipelihara negara. (nasional.sindonews.com, 15/09/2022)

Desakan Achmad ini juga sama dengan pendapat pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar. Ia menilai perbuatan Eko sudah termasuk melanggar UU ITE. Ancaman hukumannya adalah enam tahun penjara. Eko bukan hanya menghina Ning Imaz tetapi melecehkan ajaran agama. Meminta maaf pada Ning Imaz tidak menggugurkan pelanggaran Eko terhadap UU ITE.

Karenanya, memroses Eko secara hukum sudah bisa dilakukan. Namun kesannya Eko akan dibiarkan bebas dan tidak tersentuh hukum meski sudah dilaporkan seperti halnya kasus Denny dan Abu Janda. Berbeda jika yang dilaporkan adalah kelompok oposisi atau yang kritis terhadap rezim. Dalam waktu singkat, polisi bergerak cepat. Sebagaimana yang dialami ustaz Maher At-Thuwailibi dan Habib Rizieq Shihab.

Padahal, Nabi saw. mengingatkan, suatu bangsa akan runtuh jika ketidakadilan sudah merajalela. Hukum berlaku hanya pada orang-orang lemah atau rakyat biasa. Pesan ini disampaikan tatkala Bani Makhzum meminta keringanan hukuman pada perempuan dari kalangannya yang kedapatan mencuri. Nabi saw. menyampaikan kepada khalayak ramai, “Hai manusia! Sungguh yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka mencuri, mereka biarkan (tidak dihukum). Namun, jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah! Sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.”

Apa yang disampaikan oleh Nabi saw. dalam hadits di atas menunjukkan bahwa equality before the law atau persamaan di muka hukum adalah prinsip Islam dalam menyelesaikan perselisihan di tengah-tengah masyarakat. Nabi melarang sikap diskriminasi. Jika Fatimah mencuri, Nabi akan tetap menghukumnya apalagi terhadap orang lain.

Diperlakukan sama dalam hukum inilah yang nyaris hilang di negeri ini. Rakyat kecil karena mencuri sandal jepit masuk penjara. Sementara banyak koruptor yang merampok hingga triliunan masih berkeliaran. Yang dipenjara pun malah mendapatkan diskon hukuman. Kelompok separatis yang sudah membunuh rakyat dan aparat tidak ditindak tegas, sementara kelompok pejuang syariat yang menjalankan kewajiban dakwah dan tanpa senjata malah dianggap ancaman.

Hal ini disebabkan karena sumber hukum adalah akal. Pelaksana hukum tidak didasarkan pada dorongan yang bersifat transedental. Sebuah keyakinan terhadap Zat yang menciptakan dan satu-satunya yang berhak mengatur hidup manusia. Sementara Islam mengajarkan, semua aktivitas harus memililki nilai ruhiyah yaitu didorong atas dasar iman dan berpijak pada hukum Allah.

Prinsip inilah yang menjadikan sistem Islam bisa berlangsung selama hampir 13 abad lamanya. Memberikan hak pada semua warga tanpa dibedakan apakah muslim atau non muslim, kaya atau miskin, pajabat atau rakyat jelata.

Rasulullah menolak permintaan dispensasi Bani Makhzum, Umar menghukum anaknya yang minum khamr, Syuraih pernah memenangkan suatu kaum ketika berselisih dengan anaknya sendiri.

Inilah yang menyebabkan mengapa keadilan hanya ilusi dalam sistem demokrasi yang menganut kebenaran hasil kesepakatan manusia sehingga sangat berpotensi memihak kepentingan penguasa yang menghimpun multi kekuatan. Terlebih pengelola negerinya sudah tidak takut tuhan. Keimanan nyaris tiada tergerus oleh ambisi berkuasa yang menghalalkan segala secara.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 13

Comment here