Oleh : Iffah Komalasari (Pengajar di STT Hagia Sophia Sumedang)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Indonesia memang negeri serba darurat. Banyak masalah yang seharusnya penanganannya sesegera mungkin karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, berbagai konflik/kepentingan menyebabkan banyak masalah darurat terabaikan. Salah satunya adalah masalah sampah. Sampah bukan sembarang sampah, namun dalam hal ini sampah rumah tangga alias sisa makanan (food loss and waste).
Sebenarnya Indonesia sudah memasuki sinyal darurat sampah makanan sejak tahun 2020 yang lalu. Bahkan pada tahun 2019, Indonesia merupakan negara penghasil sampah makanan terbesar nomor 2 di dunia setelah Saudi Arabia. Pada tahun 2021, Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional mencatat data sampah sisa makanan Indonesia mencapai 46,35 juta ton dalam skala nasional. Angka ini menduduki komposisi terbesar dibanding total sampah plastik sekalipun yang hanya 26,27 ton.
Ironis memang. Masalah sampah tidak hanya menjadi isu lingkungan, namun juga menjadi isu ekonomi dan sosial. Dari segi ekonomi, sampah makanan tersebut setara dengan kerugian Rp213 s.d Rp551 triliun per tahun. Dari segi sosial, banyak masaah stunting pada balita yang mencapai lebih dari 8 juta anak. Bahkan, emisi GRK yang dihasilkan oleh Indonesia selama 20 tahun terakhir mencapai 1.702,9 Megaton CO2 ekuivalen atau setara dengan 7,29% rata-rata emisi GRK per tahun. Jika dihitung rata-rata emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari 1 ton food waste besarnya bisa mencapai 4,3 kali lipat dari left over. Penyumbang terbanyak emisi gas berasal dari tahap konsumsi.
Tidak hanya di Indonesia, persoalan food waste juga terjadi di dunia. Diketahui bahwa 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk di konsumsi manusia di dunia dibuang sebagai sampah. Bahkan jika dihitung, jumlahnya mencapai 1,3 miliar ton setiap tahunnya dengan nilai diperkirakan US$ 680 miliar untuk negara maju dan US$ 310 miliar untuk negara berkembang. Padahal pada saat yang bersamaan 795 juta manusia di dunia menderita kelaparan, dan sampah yang dihasilkan setiap tahunnya tersebut sebenarnya dapat menghidupi 2 miliar orang. (www.Unnes.ac.id, 13/6/2024)
Food Waste, Budaya Konsumtif Dalam Sistem Kapitalisme
Food waste sebenarnya telah menjadi problem dunia yang erat kaitannya dengan konsumerisme. Budaya konsumtif menjangkiti umat manusia di dunia hari ini, sejatinya merupakan buah penerapan kapitalisme-sekuler. Sistem kapitalisme telah menanamkan cara pandang hidup yang batil di tengah masyarakat bahwa kepuasan materi adalah ukuran kebahagiaan.
Alhasil, manusia berlomba-lomba mengejar kehidupan hedon (mewah) tanpa memikirkan dan mengaitkan dengan batasan yang ditetapkan syariat Islam. Industri kapitalisme pun diarahkan untuk tujuan ini. Karena sistem ekonomi kapitalisme sangat fokus pada aspek produksi. Maka sistem inipun menempatkan persoalan ekonomi pada aspek produksi. Sehingga pabrik-pabrik terus bermunculan, termasuk pabrik makanan.
Kehidupan konsumerisme dan hedonisme sungguh telah memalingkan umat Islam dari identitas Islamnya. Mereka tidak lagi berpikir mendalam dalam aktivitas kehidupannya apakah sesuai syariat Islam ataukah tidak. Keberadaan akal seorang muslim yang seharusnya digunakan untuk menemukan jalan keimanan dan mengokohkannya. Saat ini malah terkooptasi dengan pemikiran sebatas kesenangan kehidupan duniawi. Akibatnya umat Islam semakin lemah keimanannya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Mereka jauh dari syariat Islam termasuk akhlak Islami. Fenomena food waste-pun tidak terhindarkan akibat gaya hidup konsumerisme yang melingkupi kehidupan umat.
Selain rusaknya cara pandang masyarakat, fenomena food waste juga menggambarkan adanya mismanajemen negara dalam distribusi harta hingga mengakibatkan ketimpangan ekonomi. Karena menurut ekonom kapitalis, problem distribusi bisa diselesaikan dengan mekanisme pasar. Terbukt dengani mekanisme pasar inilah yang menciptakan kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin. Keadaan ini akan menimbulkan masalah lain. Misalnya yang terjadi pada kasus beras busuk di gudang Bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga, dan lain sebagainya.
Persoalan Sistemis Konsumerisme, Butuh Solusi Sistemis Islam
Sungguh, fenomena food waste akibat dari gaya hidup konsumerisme ini telah menjadi penyakit sistemis. Buah penerapan sistem ekonomi Kapitalisme. Oleh karena itu, solusi atas persoalan ini juga harus bersifat sistemis yakni kembali kepada aturan yang menempatkan negara sebagai pengurus rakyat. Yakni melalui penerapan aturan sahih yang bersumber dari Pencipta dan Pengatur kehidupan manusia, Allah Subhaanahu wa Ta’ala.
Islam memiliki aturan terbaik dalam mengatur konsumsi dan distribusi harta. Hal ini mampu menjauhkan masyarakat dari sifat mubadzir dan berlebih-lebihan. Khilafah Islam dengan sistemnya yang paripurna berdasarkan syariat akan menjamin kesejahteraan setiap individu warga. Sehingga mampu mewujudkan distribusi yang merata. Begitu pula mampu menyelesaikan problem kemiskinan termasuk food waste ini.
Pasalnya sistem ekonomi Islam menempatkan persoalan distribusi sebagai persoalan utama. Negara akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya di sektor pertanian, industri, perkebunan, perdagangan, hingga jasa. Hal ini akan meningkatkan daya beli masyarakat. Negara juga menjamin pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap warga negaranya secara cuma-cuma. Selain itu, negara akan melarang penguasaan aset-aset strategis milik rakyat dikuasai pihak swasta atau pemilik modal. Kesejahteraan ini didukung dengan pengondisian masyarakat agar beriman dan bertaqwa sehingga memilih gaya hidup yang berkah.
Ditunjang oleh sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam, individu masyarakat Khilafah akan dididik agar berkepribadian Islam. Sehingga pola pikir dan pola sikapnya pun Islami. Individu dan masyarakatnya akan dibina agar berdasarkan gaya hidup yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka akan memiliki gaya hidup bersahaja. Mereka hanya akan membeli barang dan makanan sesuai kebutuhan dan tidak menumpuknya tanpa pemanfaatan apalagi membuangnya.
Hal ini akan menjauhkan mereka dari perilaku konsumtif, dan berfoya-foya demi sekadar gaya hidup hedonis. Karena mereka paham, kelak segalanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Oleh karena itu, penerapan sistem pendidikan Islam dalam Khilafah mampu mencetak individu yang bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan.
Islam juga menetapkan hukum yang terkait zakat, waris, dan sedekah sunnah yang menjadi bagian dari mekanisme distribusi harta. Masyarakat didorong berlomba dalam sedekah dan wakaf sebagai amal jariah untuk akhirat mereka. Demikianlah, Islam menghapuskan fenomena food waste akibat dari gaya hidup konsumerisme di tengah masyarakat dengan memadukan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan peran negara. Tanpa mengabaikan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidakkah kita merindukannya?
Wallahu a’lam bishshawwab.
Views: 10
Comment here