Opini

Generasi Meledak-Ledak, Yuk Redam Emosi Sebelum Terlambat!

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Shabrina Nibrasalhuda (Mahasiswi)

Wacana-edukasi.com, OPINI– Masa remaja memang sering diwarnai oleh gejolak emosi yang tidak stabil, namun kemampuan untuk mengelola emosi dengan bijak adalah hal yang sangat penting. Saat ini, begitu banyak orang yang mudah marah, bahkan untuk hal-hal yang sepele, yang akhirnya dapat berujung pada masalah serius hingga melibatkan hukum.

Fenomena ini juga tampak jelas di kalangan remaja, di mana semakin banyak yang terlibat dalam berbagai kasus kriminalitas. Dengan kemajuan teknologi, akses informasi menjadi sangat mudah, namun sayangnya, informasi ini sering disalahgunakan sebagai panduan untuk melakukan hal-hal negatif. Tontonan seperti film, game, atau konten serupa kerap dijadikan “tutorial” untuk melakukan tindakan kriminal.

Tidak mengherankan jika banyak pihak belakangan ini mendesak revisi terhadap UU Perlindungan Anak, karena undang-undang tersebut sering dianggap sebagai tameng bagi anak-anak pelaku kriminalitas. Bayangkan, di usia yang masih sangat muda, mereka sudah terlibat tindakan kriminal. Lalu, bagaimana nasib masa depan mereka nantinya?

Kondisi ini tentu memprihatinkan. Bahkan anak-anak usia SD kini sudah berani melakukan tindakan kriminal, apalagi remaja usia SMP dan SMA yang jumlah kasusnya semakin banyak. Awalnya, mungkin hanya persoalan kecil seperti rasa tersinggung, saling mengejek, atau tawuran. Namun, masalah kecil ini dapat berakhir tragis, hingga menyebabkan kehilangan nyawa. Ironisnya, tawuran yang melibatkan senjata tajam menjadi pemandangan yang sering terjadi (Kompas.com).

Emosi adalah reaksi seseorang terhadap suatu situasi, yang dapat diekspresikan melalui rasa marah, bahagia, atau sikap yang biasa saja. Perasaan ini akan memengaruhi cara kita merespons kejadian tertentu. Emosi biasanya muncul ketika seseorang marah atau merasa kecewa, dan sering kali menjadi alasan di balik tindakan yang tidak rasional.
Ketidakmampuan mengontrol emosi dapat berdampak negatif, sehingga kemampuan untuk mengendalikan emosi menjadi bagian penting dari pengendalian diri. Mengelola emosi dengan bijak mencakup kemampuan untuk mengatur pikiran dan perasaan, terutama saat menghadapi situasi yang tidak menyenangkan seperti kemarahan atau kekecewaan (halodoc.com).

Salah satu penyebab utama dari semua ini adalah ketidakmampuan dalam mengendalikan emosi. Hal ini disebabkan dari asas hidup yang memisahkan agama dari kehidupan. Di mana masyarakat dijauhkan dari hukum-hukum agama dan syariat yang mampu mengelola emosi. Sistem hidup seperti ini menyebabkan hilangnya rasa bersyukur sehingga meningkatkan stres yang menyebabkan buruknya pengelolaan emosi. Sistem ini disebut sebagai sistem sekuler. Di mana standar kebahagiaan terletak pada gaya hidup hedonis dan sekuler yang bertitik pada pemenuhan hawa nafsu dan kesenangan duniawi. Mengabaikan aturan agama hanya untuk kesenangan duniawi.

Berbeda dengan sistem kehidupan yang berasas Islam. Islam memandang emosi sebagai sebuah naluri yang sudah Allah Swt. berikan. Sistem Islam akan membentuk ketakwaan dalam diri individu dan masyarakat, sehingga terbentuk suasan keimanan yang lekat. Menyebabkan segala sesuatu akan dikembalikan pada Allah, standar kebahagiaan diletakan pada rida Allah, bukan pada kesenangan duniawi. Ekspresi seperti marah, benci, atau kecewa berasal dari naluri baqo. Allah telah menetapkan aturan dalam mengekspresikan emosi ini. Sebagai pemberi naluri, Allah juga memberikan pedoman agar manusia dapat mengelolanya dengan baik.

Karena itu, mengekspresikan rasa marah atau benci harus sesuai dengan tempat dan takaran yang telah ditetapkan oleh syariat. Sebagai seorang Muslim, sudah semestinya kita merujuk kepada aturan Allah dalam mengelola emosi.

Emosi sering menjadi bahan bakar amarah. Meski sulit dipisahkan, keduanya sebenarnya dapat dikendalikan. Rasulullah saw. bersabda, “Marah adalah awal segala keburukan.” (Muttafaqun ‘Alaih). Marah dan emosi dapat menghanguskan segalanya, termasuk akal sehat. Bahkan, Rasulullah menggambarkan bahwa amarah adalah api dari setan. Untuk meredam amarah, Rasulullah saw. menganjurkan umatnya untuk berwudu. Beliau bersabda, “Sesungguhnya, marah itu dari setan. Setan diciptakan dari api, dan api hanya bisa dipadamkan dengan air. Oleh karena itu, jika salah seorang dari kamu marah, hendaklah ia berwudu.” (HR Abu Daud).

Ketika marah, seseorang cenderung kehilangan kendali atas emosinya. Ia bisa bertindak membabi-buta, merasa paling benar, dan bahkan melampaui batas. Rasulullah saw. mengingatkan, “Orang yang kuat bukan yang jago gulat, tetapi yang dapat mengendalikan dirinya ketika marah.” (HR Bukhari Muslim). Oleh karena itu, alangkah baiknya kita menghindari tindakan impulsif seperti tawuran atau pun konflik fisik.

Ketika amarah melanda, kita dianjurkan memohon perlindungan kepada Allah dengan membaca taawuz, “a’udzu billaahi minasy-syaitaanir-rajiim.” Selain itu, Rasulullah menyarankan untuk mengubah posisi tubuh agar emosi mereda. Jika sedang berdiri, maka duduklah. Jika sudah duduk, berbaringlah dengan posisi miring. Ingat pula keutamaan orang yang mampu menahan amarah dan bersikap bijak kepada sesama.

Allah telah memberi manusia potensi untuk merasakan emosi, termasuk marah. Namun, ada kondisi tertentu di mana marah diperbolehkan, yaitu ketika syariat Allah dilanggar. Ketika hukum Allah atau sunah Rasul-Nya diabaikan, marah menjadi respons yang sesuai. Sebaliknya, tidak menunjukkan kemarahan dalam situasi ini justru dianggap sebagai bentuk kelalaian.

Oleh karena itu, penting untuk bijak dalam mengelola emosi. Sangat disayangkan jika energi generasi muda Muslim terkuras untuk hal-hal yang tidak penting. Sebaiknya, arahkan emosi dan potensi yang kita miliki untuk hal-hal yang lebih bermanfaat dan bernilai positif. Pengelolaan emosi yang baik hanya akan ada dalam sistem Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here