Oleh: Ummu Muza
Wacana-edukasi.com, OPINI— Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan Menteri Pertanian (Mentan) periode 2019-2024, Syahrul Yasin Limpo (SYL), sebagai tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi. Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK menjelaskan bahwa SYL diduga bersama dengan Sekjen Kementan berinisial KS dan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Ditjen Prasarana Kementan berinisial MH, menyalahgunakan kekuasaan dengan memaksa memberikan sesuatu untuk proses lelang jabatan, termasuk ikut dalam pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi di lingkungan Kementan.
Johanis mengira, SYL diduga membuat kebijakan personal berkaitan dengan adanya pungutan atau setoran diantaranya dari ASN internal Kementan untuk memenuhi kebutuhan pribadi keluarga intinya. Selama ini, diduga ada sekitar Rp 13,9 milliar uang yang telah dinikmati SYL bersama dengan KS dan MH. Dana tersebut diperoleh dari penarikan sejumlah uang dari unit Eselon I dan II dalam bentuk penyerahan tunai z transfer rekening bank, hingga pemberian dalam bentuk barang dan jasa. (cnbcindonesia.com, 11/10/2023).
Masalah SLY menambah daftar panjang nama menteri yang terseret kasus perkara dugaan dugaan tindakan korupsi. Seakan menjadi bukti bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini masih menjadi ilusi. Sementara itu, pembentukan KPK pun nyatanya belum mampu menghentikan laju korupsi yang makin ngeri. Sedangkan, lembaga ini justru menjadi sorotan sebab adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di tubuh lembaga antirasuah ini. Akibatnya, pemberantasan korupsi makin jauh panggang dari api.
Sebenarnya, korupsi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi. Karena, politik yang diatur dalam sistem ini merupakan politik transaksional yang berbasis modal. Bukan hal yang mengherankan, jika kursi kekuasaan hanya mampu diduduki oleh orang-orang yang bermodal besar. Dana ini nantinya digunakan untuk membeli kursi, modal kampanye, hingga politik uang. Akibatnya, para pejabat terpilih bukan yang memiliki profesionalitas dan integritas tinggi, melainkan yang mengeluarkan modal terbesar.
Jumlah modal yang dikeluarkan demi suksesi kekuasaan, menjadikan para pejabat terpilih ingin meraup untung sebesar-besarnya. Akibatnya, kekuasaan disalahgunakan untuk membuka pintu korupsi selebar-lebarnya. Tidak ingat janjinya saat kampanya di hadapan rakyat. Tidak ingat tindakannya mengkhianati dan menyengsarakan rakyat. Itulah buah getir sistem kapitalisme demokrasi yang membuat korupsi makin menggurita di negeri ini.
Niscaya gurita korupsi dapat diberantas hingga ke akarnya, andai negeri ini menerapkan sistem Islam secara komprehensif. Islam sebagai ideologi yang sahih, akan menuntaskan gurita korupsi secara paradigmatis dan teknis. Tidak secara pragmatis seperti sistem kapitalisme demokrasi saat ini, yang hanya mencukupkan sanksi penjara bagi para koruptor.
Islam mensyariatkan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan merupakan amanah yang harus diemban dengan sungguh-sungguh. Kepercayaan ini memiliki konsekuensi yang berat karena wajib dipertanggungjawabkan baik di hadapan Allah SWT kelak. Kepemimpinan dan kekuasaan dalam Islam niscaya akan mendorong penguasa untuk senantiasa amanah dan bertanggung jawab kepada rakyatnya.
Sementara itu, bertanya konsekuensi yang dipetik di hadapan Allah SWT kelak, menjadi kontrol diri bagi penguasa untuk tidak berkhianat terhadap amanahnya. Karena, Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda, “Tidak seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian dia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.” (HR. Bukhari).
Gambaran ini niscaya melahirkan pemimpin dan para pejabat yang tidak hanya amanah, tetapi juga profesional dan berintegritas tinggi. Untuk yang mampu memegang amanah, jam akan melaksanakannya dengan penuh dedikasi semata-mata demi kemaslahatan rakyat. Untuk yang tidak mampu mengembannya, ia pun tidak akan memaksakan diri sehingga mengkhianati dan menzalimi rakyat.
Secara teknis, Islam memiliki aturan yang tak kalah mumpuni untuk memberantas korupsi. Yang pertama, kekuasaan ditetapkan untuk menjalani syariat Islam secara paripurna, termasuk dalam sistem pemerintahan. Walhasil , wajib bagi para pejabat melaksanakan amanahnya dalam koridor syarak.
Yang kedua, indikator pengangkatan pejabat tidak hanya profesional dan berintegritas, tetapi juga takwa zuhud. Ketakwaan menjadi modal awal untuk mengontrol diri agar tidak melakukan kemaksiatan dan perbuatan tercela. Kezuhudan menjadikan pandangannya terhadap dunia menjadi remeh dari merasa cukup dengan pemberian Allah SWT.
Yang ketiga, penerapan paradigma politik diarahkan untuk mengurus urusan umat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah. Gambaran politik ini niscaya menutup celah pemanfaatan kekuasaan oleh oligarki kapital.
Yang keempat, para pejabat diberikan tunjangan sesuai kelayakan hidup di wilayahnya. Ditujukan tunjangan tersebut agar para pejabat fokus dalam mengurus kepentingan rakyat. Tidak memanfaatkan dan menyalahgunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi atau golongan.
Yang kelima, pembuktian terbalik bagi para pejabat yang memiliki kejanggalan terkait hartanya. Perhitungan kekayaan awal dan akhir masa jabatan adalah pembuktian terbalik. Apabila setelah dihitung ditemukan selisih yang tidak wajar, sedangkan pejabat terkait tidak mampu menjelaskan dari mana sumber harta tersebut, maka kelebihan harta tersebut digolongkan sebagai harta ghulul (curang) dan wajib dikembu ke baitulmal.
Sangat efektif dan efisien pembuktian terbalik ini dalam membuktikan adanya kejahatan tindak pidana korupsi. Karena, tidak membutuhkan waktu yang lama seperti pembuktian kasus korupsi saat ini yang justru membuka peluang kongkalikong antara pejabat dan aparat.
Mengenai sanksi bagi pelaku korupsi adalah takzir, yakni sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh qodi. Karena jenis dan kadarnya ditentukan oleh qodi maka para koruptor ini dapat dikenai sanksi, mulai dari yang paling ringan hingga yang paling berat. Ringan beratnya sanksi takzir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan korupsi yang dilakukan.
Dalam Islam sanksi ini berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir). Maknanya, ketika sanksi tersebut ditetapkan maka para koruptor akan jera dan takut mengulanginya lagi. Juga sebagai tebusan di dunia sanksi ini sehingga terhindar dari pedihnya siksaan Allah SWT di akhirat kelak.
Itulah mekanisme sistem Islam dalam memberantas gurita korupsi hingga ke akarnya. Bukan hanya melahirkan penguasa dan pejabat yang amanah dan menjadi teladan, tetapi juga menyejahterakan dan melindungi kepentingan rakyat. Alangkah kontras dengan pemberantasan korupsi dalam naungan sistem kapitalisme demokrasi yang penuh ilusi.
Views: 4
Comment here