Opini

Fenomena Kasus di KPI, Membuka Topeng Demokrasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Sholihah, S.Pd

wacana-edukasi.com — Media sosial sempat geger dengan adanya dugaan kasus perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Tugas dan kewajibannya adalah mengawasi media siar televisi dan radio, menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Dugaan kasus ini menjadi tamparan keras bagi KPI sendiri sebab kejadian tersebut kontradiktif dengan tugasnya.

Pakar Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Universitas Airlangga (Unair), Margaretha menyampaikan bahwa sebenarnya semua bisa menjadi korban. Korban kekerasan seksual tidak hanya didominasi kalangan perempuan dewasa dan anak-anak saja. Namun juga dari kalangan laki-laki dewasa dan anak laki-laki bisa menjadi korban kekerasan seksual. Perbedaannya kita lebih sering tidak tau korban laki-laki. Hal ini dikarenakan korban laki-laki dibanding perempuan jauh lebih menutupi persoalan kekerasan seksual yang dialami. Walaupun perempuan sendiri yang melapor paling cuma seujung gunung es. Korban kekerasan seksual baik laki-laki ataupun perempuan, kata dia, sama-sama merasa malu akibat kekerasan seksual. (Kompas.com, 09/09/2021)
Entah kenapa negara yang katanya “Demokratis” ini begitu sulit menjamin keamanan bagi rakyatnya. Bukankah keamanan merupakan hak bagi setiap warga? Bukankah setiap pegawai berhak mendapatkan rasa aman dan nyaman di lingkungan kerjanya?

Ironi Negara Demokrasi

Indonesia sebagai negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi suara rakyat, pada faktanya suara rakyat dikebumikan ketika rakyat menuntut haknya. Pada kasus dugaan perundungan dan pelecehan seksual di lingkungan KPI ini bahkan berlarut-larut hingga 10 tahun, padahal korban sudah mengadu ke Komnas HAM dan melapor ke polisi.

Kasus pelecehan seksual di negeri ini bak gunung es, kasus yang masih tersembunyi dan tidak tertangani jauh lebih banyak dibandingkan yang tampak. Tak sedikit yang memilih diam dengan berbagai alasan, kemungkinkan juga karena malas menghadapi proses hukum yang sulit dan berbelit.

Tak sedikit korban dari kasus menjijikkan ini yang mengalami trauma. Belum lagi saat mencari keadilan malah terlunta-lunta. Sebagaimana yang diceritakan oleh salah satu penyintas pelecehan seksual dalam Mata Najwa yang dipublikasikan pada tanggal 09 September 2021.

Wajah Asli Demokrasi

Update dari kasus KPI bahwa korban diminta untuk menandatangani surat pernyataan damai dan tidak melanjutkan kasus yang dilaporkannya. Selain itu, pihak tersangka juga menyerang balik si korban dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik.

Bukti betapa sulit dan berbelitnya proses hukum di negara demokrasi ini. Keadilan menjadi barang mahal yang tidak akan dimiliki oleh orang yang tak memiliki uang karena mengusut setiap perkara harus berbiaya. Kenapa itu semua bisa terjadi?

Sebab segala sesuatu dinilai berdasarkan materi, termasuk dalam memberikan pelayanan pada rakyat. Padahal negara memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi dan memberikan palayanan terbaik untuk rakyatnya. Sudut pandang kapitalisme dengan jantungnya adalah sekulerisme merupakan akar masalah dari semakin runyamnya tata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Demokrasi sebagai sistem politik yang diadopsi oleh sistem kapitalisme sejatinya hanya topeng, wajah asli demokrasi adalah kapitalisme-sekulerisme. Menjunjung tinggi suara rakyat hanya slogan yang tidak mungkin bisa direalisasikan, hanya sebagai angin segar di tengah peliknya hidup di bawah naungan sistem ini.

Demokrasi melegalisasi kebebasan berperilaku serta memisahkan agama dari kehidupan dan bernegara. Agama hanya boleh berperan dalam urusan manusia dengan Tuhannya. Inilah yang menjadi biang maraknya kasus seperti ini dan juga dalam penyelesaiannya seperti mengurai benang kusut.

Selain itu, demokrasi menitikberatkan bahwa pembuatan hukum ada pada manusia, padahal manusia akalnya terbatas. Hukum yang dihasilkan dari manusia yang lemah maka juga sangat berpeluang banyaknya kekurangan, belum lagi tercampuri hawa nafsunya dalam membuat hukum. Wajar saja jika aturan yang dihasilkan juga lemah dalam menyelesaikan problem umat manusia.

Demokrasi Tak Layak Diadopsi

Dari kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialami oleh pegawai KPI ini harusnya menjadi pelajaran oleh banyak pihak. Maraknya kasus seperti ini dan kasus yang hampir serupa, kesalahannya bukan hanya sekedar kesalahan teknik namun sampai pada level sistemik.

Segala kebebasan yang dijamin di dalam sistem demokrasi menjadikan individu bebas bertindak tanpa ada batasan yang jelas. Keadilan bisa dijual kepada siapa saja yang punya modal. Proses hukum rumit, berbelit dan membutuhkan biaya selangit, padahal para aparat hukum sudah mengantongi gaji yang tak sedikit.

Tidak ada alasan bagi kita untuk tetap mempertahankan demokrasi yang telah nyata tidak mengantarkan manusia pada kemuliaan. Justru sebaliknya, mengantarkan manusia pada lubang kenistaan. Suara rakyat bukanlah suara Tuhan karena suara Tuhan selalu benar, sedangkan suara rakyat tidak selalu benar. Kebebasan menjadi kebablasan sebab aturan dari Pencipta yang harusnya mengikat setiap manusia menjadi diabaikan.

Sistem Alternatif yang Solutif

Memisahkan aturan agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara sejatinya tidak sesuai fitrah manusia. Bagi orang beriman tentu hatinya akan tentram jika dalam kehidupan sehari-harinya secara tersistematis bisa menjalankan aturan dari Tuhannya. Terlebih Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim. Setiap muslim wajib terikat pada aturan Allah SWT.

Aturan islam memiliki aturan yang sempurna. Islam bukan sekedar Aqidah ruhiyah tapi juga Aqidah Siyasiyah. Kesempurnaan aturan islam tidak memaksakan penganut agama lain untuk masuk islam, karena dalam islam tidak ada paksaan dalam beragama. Aturan islam dalam kehidupan bermasyarakat dan benegara untuk kesejahteraan seluruh umat manusia, bukan untuk umat muslim saja.

Dalam sistem Islam ada upaya preventif dan kuratif untuk mengatasi masalah perundungan dan pelecehan seksual. Upaya preventifnya antara lain negara memberikan edukasi untuk menancapkan keimanan yang kuat pada individu masyarakat, mengatur pergaulan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan aturan islam, adanya sanksi yang tegas sehingga memberikan efek jera semisal dengan dirajam atau dijilid.

Upaya kuratif yang dilakukan antara lain dengan memberikan pendampingan kepada korban untuk menghilangkan trauma, aparat keamanan menjaga keamanan korban dari segala bentuk fitnah dan teror, memproses secara adil setiap pelaku kejahatan seksual melalui lembaga peradilan, qodhi memutuskan sanksi yang adil dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun, sanksi dijalani oleh pelaku dengan disaksikan oleh masyarakat sehingga menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun yang menyaksikannya.

Solusi yang solutif ini tidak akan terterapkan dengan sempurna tanpa adanya perubahan sistem. Oleh sebab itu, urgen mengganti sistem kapitalisme demokrasi dengan sistem islam untuk melindungi dan memuliakan seluruh umat manusia. Wallahu a’alam bi ash-showab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 4

Comment here