Opini

Pandemi: antara Kenaikan Harta Pejabat dan Kemiskinan Rakyat

blank
Bagikan di media sosialmu

Zahroh Hamidah

wacana-edukasi.com — Ada peristiwa menarik di masa khalifah Umar bin Khaththab. Beliau meragukan kekayaan seorang wali atau amil, lalu menyita sejumlah kelebihan dari yang telah ditentukan sebagai penghasilannya yang sah. Kekayaan wali dan amil sebelum diangkat dihitung dan dicatat. Setelah masa jabatan selesai, penghitungan kekayaan dilakukan lagi. Jika ada yang meragukan, kelebihannya dibagi dua, untuk baitul mal dan yang bersangkutan.

Beliau pernah mengutus Muhammad bin Maslamah untuk mengambil tindakan terhadap sejumlah pejabat yang memimpin beberapa wilayah, seperti Abu Hurairah di Bahrain, Amru bin Ash di Mesir dan Saad bin abi Waqash di Kufah. Para pejabat itu harus membuktikan dari mana asal hartanya, agar diakui sah menjadi miliknya. Ini dikenal dengan istilah pembuktian terbalik.

Cara ini efektif mengungkap jumlah kekayaan pejabat, dari mana sumbernya, dan ke mana alirannya. Mengapa perlu dilakukan? Karena acapkali pejabat memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Sayangnya, cara ini tidak efektif diterapkan di Indonesia meski telah ada regulasinya. Pejabat  bisa leluasa menambah kekayaan tanpa khawatir harus membuktikan di muka hukum dari mana kekayaannya diperoleh karena hanya merupakan hak, bukan kewajiban. Tak heran, ketika data kekayaan para pejabat ini diungkap KPK, tidak memiliki makna di hadapan publik, kecuali sebatas informasi bahwa kekayaan pejabat bertambah.

Meningkatnya kekayaan pejabat tidak hanya memilukan, namun juga memalukan. Jutaan  rakyat sedang berjibaku dengan pandemi, bahkan untuk bertahan hidup saja sangat sulit. Akhir Agustus lalu KPK mengungkap laporan harta kekayaan penyelenggara negara. Terdapat 70,3 persen pejabat yang kekayaannya meningkat, 22,9 persen menurun, 6,8 persen tetap. Paling banyak peningkatannya di atas 1 miliar, sebagian besar di tingkat Kementerian dan DPR. Meski penambahan 1 miliar bagi pejabat bukanlah angka luar biasa, namun bagi rakyat sangatlah fantastis.

Mirisnya, masih menurut KPK, 95 persen penyelenggara negara tidak akurat dalam melaporkan kekayaannya. Masih banyak yang disembunyikan, biasanya berupa tanah, bangunan, rekening bank, dan investasi. Meski mengaku telah menggandeng pihak terkait seperti bank untuk memastikan aliran dana masuk dan keluar para penyelenggara ini, namun KPK belum memiliki format yang jelas mengenai tindak lanjut dari pelaporan harta ini kecuali sekadar peringatan. Belum ada sanksi tegas bagi mereka yang belum melaporkan kekayaannya atau laporannya fiktif.

Sementara itu tingkat korupsi pejabat makin menggila. Beberapa pejabat terjerat sejumlah OTT oleh KPK. Cukup fenomenal adalah korupsi dana bansos oleh mantan Mensos Juliari Batubara yang dipandang publik divonis ringan. Alasannya karena yang bersangkutan sudah mendapat sanksi sosial. Kekayaan para pejabat sangat kontras dengan kondisi rakyat. BPS merilis data jumlah orang miskin di masa pandemi. Pada Maret 2021 terdapat 27,54 juta penduduk miskin dengan garis kemiskinan Rp472.525 perkapita perbulan. Data ini naik 1,12 juta orang jika dibanding dengan Maret 2020. Ini menunjukkan kondisi ekonomi rakyat belum membaik meski dana triliunan telah dikucurkan selama pandemi.

Pantaslah banyak yang bertanya dari mana pejabat melipatgandakan hartanya di tengah jutaan rakyat menderita? Para penyelenggara negara makin sejahtera, sementara rakyat makin tak berdaya.

Menakar Persoalan

Negeri kita tidak hanya mengalami krisis kesehatan akibat pandemi, melainkan juga krisis moral penguasa yang akhirnya melahirkan krisis ketidakpercayaan. Bobroknya moral para pejabat bukan hal baru, melainkan sudah mengakar dan membudaya. Ini tidak lepas dari penerapan sistem demokrasi yang memberi ruang bagi pejabat memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Beberapa pejabat yang memang sudah berbisnis, usahanya makin berkembang, artinya pundi-pundinya bertambah. Bagi bukan pebisnis, berpeluang terjun ke dunia bisnis. Dengan kekuasaan, jalan  menjadi lebih mudah.

Mahalnya ongkos politik dalam pemilihan berbasis demokrasi, menjadi salah satu pendorong para pejabat rebutan proyek, setidaknya menutup modal meraih jabatan. Banyak proyek melibatkan perusahaan milik pejabat, saudara atau koleganya. Bahkan bisa muncul proyek fiktif hanya demi mendapat tetesan anggaran. Dalam sistem demokrasi yang lahir dari rahim sekuler kapitalis, penguasa tidak didudukkan untuk melayani rakyat, melainkan sebatas regulator dan fasilitator. Negara melahirkan aturan yang dalam praktiknya area yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak diambil alih oleh swasta. Seperti bidang kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan dan rakyat dipaksa membayar iuran. Pihak swasta makin didorong terlibat dalam pendidikan yang ujungnya biaya pendidikan makin mahal. Meski pemerintah memiliki program menggratiskan, namun belum menjangkau semua yang membutuhkan.

Sistem demokrasi telah mendegradasi rasa empati para pejabat hingga mereka berbuat seolah sudah tak punya malu. Saat sudah jadi koruptor pun tidak menunjukkan penyesalan, malah mantan koruptor tetap masih bisa berlaga di pemilu.

Demikianlah, karakter para pemimpin dalam sistem demokrasi. Tak akan pernah ada pejabat yang bisa melayani rakyat sepenuh hati, bahkan yang peduli pun hanya dalam hitungan jari.  Mereka sudah terkerangkeng dalam jeratan  perebutan kekuasaan hanya demi kepentingan kelompok dan sesaat.

Sosok Penguasa dalam Islam

Sistem Islam menerapkan hukum syariat dalam semua aspek, yaitu politik, ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan. Para pejabatnya mendapatkan amanah untuk mengatur semua pelayanan kepada rakyat berdasarkan syariat Islam. Kekuasaan adalah tanggung jawab, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Tak heran, tercatat sosok pemimpin yang begitu memperhatikan rakyatnya di era peradaban Islam. Kesadaran bahwa kekuasaannya akan ditanya di hadapan Allah, mereka bekerja memberikan yang terbaik bagi rakyat.

Amirul mukminin Umar Bin Khaththab sampai menghitam kulitnya saat pandemi melanda. Beliau tidak makan daging dan minyak samin, hanya roti dengan celupan minyak zaitun karena ingin merasakan apa yang diderita rakyatnya. Beliau  pernah memanggul sendiri karung gandum untuk dibagikan karena khawatir akan ditanya di akhirat kelak. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, pada awal kekuasaannya memiliki 400.000 dinar. Di akhir kekuasaannya tersisa sekitar 400 dinar. Mereka mencontoh kepemimpinan Rasululllah saat menjadi pemimpin negara di Madinah. Rasulullah Saw sendiri pernah bergegas bangkit setelah salat karena teringat akan harta yang belum beliau bagikan pada rakyat.

Inilah gambaran penguasa dalam sistem Islam yang memiliki amanah mengurus rakyat. Mereka memaksimalkan energi, waktu, dan pikiran demi rakyat. Tak terlintas dalam pikiran mereka untuk berbisnis karena waktunya sudah habis mengelola urusan negara.

Sebagai muslim, tentu kita rindu hidup dalam sistem Islam. Sistem yang bukan hanya mewujudkan kebaikan dalam penyelesaian masalah. Kita merindukan sosok pemimpin yang mengurusi rakyat. Ketaatan pada pemimpin yang menerapkan sistem Islam menjadi wasilah diperolehnya keberkahan dari langit dan bumi karena Allah rida dengan apa yang dilakukan.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 3

Comment here