Opini

Citayam Fashion Week, Kreativitas atau Krisis Identitas?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Novianti

wacana-edukasi.com– Citayam Fashion Week (CFW) , menjadi perbincangan luas di masyarakat, di media massa dan tentu saja di media sosial serta diamati oleh beberapa pejabat dan pengamat. Kegiatan semacam panggung fashion ini menampilkan para remaja Citayam, Depok dan Bojonggede, Bogor yang suka berkumpul di area Jalan Jenderal Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

Berawal dari para remaja yang kerap nokrong dengan penampilan nyentrik di Sudirman. Lalu muncul gagasan CFW dicetuskan Abdul Sofi Allail atau Ale, dan ternyata disambut dengan antusias sehingga tergelarlah “catwalk” dengan modelnya para ABG, (kompas.com. 19/07/2022)

Remaja bergaya dengan fashion bermacam-macam dan umumnya berpenampilan mengumbar aurat. Ada yang mengenakan crop tee (busana atasan yang menampilkan perut), hoodie kedodoran, celana kotak-kotak, kemeja flanel, hingga cardigan rajut dengan model crop top atau yang simple seperti kaos dan jeans. Dilengkapi juga dengan kaca mata, rambut pirang atau layer, tas, dan sepatu.

Generasi Citayam, Protret Kelompok yang Termaginalkan

Sejak CFW viral, nama Citayam ikut diperbincangkan. Ia nama desa di Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasinya merupakan area penyangga ibukota yang umumnya fokusn mengembangkan perumahan penduduk dimana lahan untuk fasilitas publik semakin terbatas.

Anak-anak Citayam datang ke Sudirman hanya untuk senang-senang, melupakan sejenak masalah , hingga pacaran. Sudirman adalah icon, tempat yang menyimbolkan kehidupan modern, kesuksesan dan berkelas. Tempat ini menjadi magnet bagi para remaja didukung dengan terbukanya akses dan kenyamanan area publik di tempat tersebut. Tempat rekreasi yang murah, dan instagramble.

CFW mewakili potret generasi muda yang termaginalkan selama ini oleh arus pembangunan yang tidak berpihak kepada mereka. Ingin diakui, keberadaannya dilihat, suaranya didengar. Sayang, berekspresi di CFW hanya merupakan aktualisasi diri semu.

Boro-boro potensinya dikembangkan optimal, yang ada mereka hanya menjadi budak industri. Harus merogoh dompet tipis dalam-dalam, yang ujungnya menambah pundi-pundi kapitalis raksasa yang tersembunyi di balik baju UMKM.

CFW, Potret Masyarakat Sakit

Beberapa pejabat dan artis terkenal ikut memberi dukungan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno berharap para ABG ini bisa menjadi influencer atau pemengaruh dalam bidang fesyen untuk mempromosikan produk lokal milik UMKM. (pikiran-rakyat.com, 18/07/2022)

Presiden Jokowi turut memberi repon positif selama tidak melanggar aturan. Menurutnya, CFW merupakan bentuk kreativitas yang patut didukung. (republika.co.id, 24/07/2022).

Sebagai muslim, fenomena CFW harus dilihat dari lensa Islam bukan dari dasar keuntungan atau manfaat. Dalam kaedah Islam, hukum asal perbuatan manusia terikat pada hukum syara. Benar atau salah, boleh atau tidak, bukan dari kacamata manusia melainkan harus menggunakan standar Allah.

Jika dicermati, CFW ini menonjolkan kehidupan bebas dan konsumerisme yang tidak sesuai dengan Islam. Pakaian-pakaian yang ditampilkan mengumbar aurat bahkan turut hadir model laki-laki berpakaian serta bertingkah laku mirip perempuan. Demi tampil maksimal, ada yang mengeluarkan uang hingga ratusan ribu rupiah. Bisa jadi, anggota keluarganya di rumah lebih membutuhkan.

Umumnya para ABG ini datang sekadar bersenang-senang, dengan kehidupan bebas serta individualistik. Seperti yang diungkap Jeje, salah satu aktris baru CFW yang viral, “Bodo amat, lu lu gue gue.” Gaya pacarannya bebas, tampilan yang terbuka serta goyang tari yang seronok serta bisa memancing syahwat.

Perilaku individualis dan liberalis yang menjadi ciri khas manusia yang tumbuh dalam sistem sekularis kapitalis. Pembangunan hanya fokus pada materi dan mengkontruksi kesuksesan dalam ukuran angka dan kepemilikan. Tidak ada konsep pembangunan manusia secara sungguh-sungguh sehingga lahir manusia dengan cita-cita kerdil, egois dan tidak mau diiikat aturan agama.

Ketika anak-anak muda hanya dikembangkan dari sisi potensi ekonomi, ada pembajakan potensi dahsyat mereka sebagai agen perubahan bagi masa depan negara yang lebih baik. Tidak hanya itu, juga terjadi pelanggaran terhadap anak yang memiliki hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. Di CFW, anak rentan menjadi korban narkoba, pelecehan seksual dan LGBT.

Fenomena CFW mengungkapkan bahwa masyarakat khususnya generasi muda kita sedang sakit. Ia hanya fenomena gunung es dari begitu banyaknya fakta persoalan di negara kita.

Pertama, ketahanan keluarga yang rapuh. Keluarga tidak menanamkan prinsip-prinsip agama sehingga anak tidak terbangun visi misi hidupnya. Orangtua tidak paham cara mendidik, minim dialog dengan anak. Tidak berjalan fungsi edukasi, komunikasi, sosial emosional sehingga rumah hanya tempat transit.

Kedua, kegagalan pendidikan pada level negara dan melindungi generasi muda. Kurikulum yang diterapkan tidak mampu melahirkan generasi yang kuat. CFW menyingkapkan betapa rapuhnya keimanan generasi muda sehingga mereka mudah terbawa arus. Banyak yang putus sekolah karena kondisi ekonomi.

Ketiga, ketimpangan pembangunan. Masalah ini merupakan masalah di banyak negara, dimana pembangunan lebih banyak dilakukan di daerah perkotaan. Area publik di wilayah penyangga makin berkurang. Sementara anak remaja dengan energinya berlimpah memerlukan area terbuka untuk melakukan berbagai aktivitas seperti olah raga, menyalurkan hobi atau tempat berkumpul sesama mereka.

Penyelamatan Generasi

Fenomena CFW tidak bisa dipandang ekspresi anak remaja semata namun memperlihatkan potret problem sosial mayarakat yang harus segera ditangani secara serius. Negara ini perlu segera berbenah untuk menyelesaikannya sebelum lebih banyak generasi muda yang kehidupannya hancur sejak usia belia.

Sistem pendidikan harus diubah secara mendasar hingga ke filosofinya. Harus berdiri di atas aqidah Islam agar karakter generasi muda mengakar pada konsep yang kuat dan sempurna. Namun, sistem pendidikan terkait erat dengan sistem-sistem lainnya dalam pengaturan negara. Oleh karenanya, pembenahan tidak cukup jika dilakukan hanya pada sektor pendidikan.

Fenomena CFW mengungkap fakta bahwa generasi kita sudah terjerat mulai dari pergaulan bebas, kemerosotan akhlak, hingga gangguan kesehatan mental yang makin memprihatinkan. Belum lagi problem kemiskinan, pengangguran, naiknya harga pangan, dan berbagai problem sosial kemasyarakat lainnya yang kian menumpuk.

Dengan banyaknya masalah yang mendera, sepatutnya negeri ini segera mengevaluasi asas pengelolaan negeri yang berdasar pada sekularisme kapitalisme. Asas ini telah melahirkan liberalisme yang mengantarkan pada liberalisasi di semua bidang.

Memang tidak ada dokumen atau pernyataan resmi negara yang menyebutkan sekularisme kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan negara ini. Namun, pada praktiknya, sistem inilah yang diterapkan. Sistem ini akan mengantarkan negara pada jurang kehancuran dan tanda-tandanya makin nyata di depan mata.

Generasi Citayam dan anak-anak di seluruh negeri ini harus segera diselamatkan. Selesaikan sumber persoalannya yaitu mengganti sistem dengan sistem Islam yang datang dari Dzat pemilik alam semesta.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 290

Comment here