By Julie Murod
Wacana-edukasi.com, PUISI–
Dedaun ranting ‘tak lagi menyejuk
Bunganya kering ‘tak mengelopak
Kupu-kupu enggan mengepak
Desir angin bak tajam tombak
‘Tak lagi fitrah menyapa bumi
‘Tak lagi indah menyanubari
Duhai kekasih zaman
‘Tak pernah pergi sekejappun
Meruang mewaktu di keabadian
Dalam raungan derita si papa
Dalam duka luka Kau ada
Dalam perih lapar hamba-Mu
Dalam lirih doa ‘tak selain-Mu
Wahai Allah
Engkau pasti tahu
Lisan-lisan kotor menipu langit
Berkelindan dibelakang tinta
Menoreh penghianatan hina
Lolongan pilu angin malam
Saksi bisu kejahatan
Pemanggul amanah yang kejam
Adalah segala kerusakan
Bermunculan di segala jeda
Pada jiwa murni mengaduh
Diremuk angkara yang menikam
Tiada seorang berhalus lisan
Penyayang bak induk semang
Menipu langit jadi sukaan
Sebab
Dunia ‘tlah menipu memesona
Melenakan lagi mematikan
Umat disiksa di palung sengsara
Kasih disemai hanya tipuan
Menjelma 5 tahunan
Menzalimi menyiksa setelahnya
Rakus tamak bertopeng culas
Malu barang langka yang utopis
Maka, berharap kasihnya
Adalah amoniak yang menyublim
Duhai
Rakyat sendiri dipandang murka
Saudara seiman tiada dianggap
Bahkan dahaga lapar memuncak
Mencekik hingga kematian
Tak iba seujung kuku pun
Penguasa bertahta bergeming
Memeluk kuasa mencengkeram
Para tirani makin ‘tak terkendali
Adab ‘tak lagi memandu diri
Musnah sudah malu dan empati
Menumpuk harta bernyanyi
Akhirat hanya di masjid sunyi
Pemimpin yang membenci
Lagi kalian amat dibenci
Tersebab rakyat ‘tak disayangi
Pongah sebab hukum bisa dibeli
Sebab kuasa digayut materi
Sebab ‘tak ada akhirat di hati
Kalian menipu langit Ilahi
Padahal, Dia ‘tak bisa ditikungi
Ketahuilah pemimpin negeri
Kalian ‘tak bisa menipu langit
Delapan puluh tahun merdeka ini
Gelayut apa yang memuncaki
Sedihkah, gembirakah, marahkah
Jiwa-jiwa kosong hampa
Langit ‘tak lagi membiru
Awan memendung selalu
Berkata, “Aku muak melihatmu”
Yang terus menipu
Bumi Sriwijaya, 18 Agustus 2025.
Views: 22

 

 
 
 
Comment here