Oleh Anita Rachman
Wacana-edukasi.com, OPINI–Ketika pemimpin dunia terutama muslim tetap diam atas genosida di Gaza, masih ada umat yang tergerak hatinya dengan munculnya aksi solidaritas Global March to Gaza. Mengutip tvonews.com aksi diikuti ribuan aktivis dari lebih 80 negara yang resmi dimulai pada 9 hingga 15 Juni 2025. Tuntutan aksi ini diantaranya; membuka akses bantuan, menghentikan segala bentuk agresi militer, menarik seluruh pasukan Isarel dan mengakhiri penjajahan terhadap Gaza (antaranews.com, 18/06/2025).
Munculnya Global March to Gaza adalah wajar, sangat manusiawi. Lahir dari naluri kasih sayang (gharizatun nau’) sebuah potensi yang Allah berikan kepada setiap manusia. Rasa kemanusian siapapun akan terusik ketika melihat bagaimana Palestina digenosida. Apresiasi yang tinggi layak diberikan kepada mereka yang berani bersuara. Namun, apakah aksi ini berhasil menjebol “kokohnya” gerbang Rafah yang dikuasai Israel penjajah?
Faktanya, peserta aksi harus menelan kekecewaan ketika otoritas Mesir, yang notabene adalah negeri muslim, justru menahan dan mendeportasi mereka. Lebih dari 200 orang diinterogasi dengan banyak yang ditahan di hotel atau bandara, sementara puluhan orang dideportasi. (metrotvnews.com, 13/06/2025). Sepuluh warga negara Indonesia yang turut serta pun akhirnya memutuskan untuk kembali.
Akar Masalah Palestina adalah Penjajahan
Palestina adalah tanah kharajiyah, wilayah yang dibebaskan dengan jihad dan darah para syuhada. Tanah milik kaum muslim sejak masa khalifah Umar bin Khatab dan saat penjajahan terjadi berada di bawah Kehilafahan Turki Utsmani.
Hingga, pada tahun 1897 & 1901 seorang Yahudi Theodor Herzl mendatangi sang khalifah Sultan Abdul Hamid II meminta sebagian tanah Palestina untuk tempat tinggal kaumnya. Ternyata belakangan diketahui mereka mempunyai rencana besar ingin mendirikan negara Yahudi di sana. Namun sang khalifah tak bergeming meskipun imbalan yang ditawarkan cukup besar dan kekhilafahan saat itupun tengah kesulitan keuangan karena terlilit utang.
Sejak penolakan itu mereka tak pernah datang lagi. Namun, seiring berjalannya waktu, entah intrik apa yang terjadi hingga Khilafah Turki Utsmani terlibat Perang Dunia I pada tahun 1914 dan menjadi pihak yang kalah bersama Jerman sebagai sekutunya. Inggris dan Perancis sebagai pemenang perang kemudian membagi wilayah Ustmani melalui perjanjian Sykes Picot pada tahun 1917 tapi menentukan satu wilayah khusus yang menjadi wilayah bersama, yaitu Palestina.
Setelah itu, seorang milyader Yahudi, Lord Rotschild, mengirim surat kepada Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Arthur James Balfour, terkait rencana pendirian negara Yahudi. Rotschild sendiri diketahui dulu memberi dukungan kepada Theodor Herzl atas permintaannya kepada pihak Ottoman atas sebagian wilayah Palestina. Dukungan milyader sekelas Rotschild nyatanya memuluskan jalan atas keluarnya deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Deklarasi busuk yang dikenal sebagai dukungan nyata Barat atas berdirinya negara Zionis. Deklarasi tersebut kian dikuatkan dengan keluarnya Mandate for Palestine yang dikeluarkan Liga Bangsa-bangsa (LBB) atas tanah Palestina
Maka sejak tahun 1920 hingga 1945 berbondong-bondong kaum Yahudi memasuki Palestina. Hingga pada 26 November 1947 pasca Perang Dunia II, Amerika sebagai pemenang perang, melalui PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) membagi dua wilayah Palestina, yaitu 55% wilayah Israel dan 45% wilayah Arab. Akhirnya berhasilah mereka mendirikan negara Yahudi yang memang sudah dirancang sejak awal, yaitu pada 14 Mei 1948.
Sejak saat itulah, penjajahan atas tanah Palestina oleh Israel melalui bantuan tangan-tangan Inggris hingga Amerika, terus berlangsung hingga hari ini. Maka ketika berharap kepada Barat, dalam hal ini Amerika atau PBB atas kemerdekaan Palestina, itu ibarat mimpi di siang bolong. Karena justru di tangan mereka lah, negara Islam (khilafah Islamiyah) yang dulu menyatukan hampir dua per tiga dunia tercerai-berai menjadi lebih dari 50 negara kecil dengan batas-batas yang dibuat penjajah, dan kita kenal hari ini dengan sekat nasionalisme.
Nasionalisme Penghalang Pembebasan Palestina
Maka dari itu, umat Islam harus dipahamkan betapa bahayanya nasionalisme dan konsep negara bangsa, dilihat dari sisi pemikiran maupun sejarahnya. Nasionalisme adalah sebuah paham yang menekankan pentingnya identitas nasional. Kesetiaan dan kebanggaan atas nama negara dan bangsa adalah yang tertinggi. Aku Indonesia, kamu Malaysia, dia Mesir, dia Palestina dan seterusnya dan kita beda negara. Maka menjaga jarak demi stabilitas keamanan dalam negeri, adalah keputusan yang dianggap terbaik. Yang penting negeri kita aman. Inilah nasionalisme.
Jelaslah nasionalisme dan konsep negara bangsa adalah alat musuh Islam untuk meruntuhkan kekuasaan Islam dan melanggengkan penjajahan di negeri-negeri muslim. Melalui berbagai lembaga, organisasi dan perjanjian internasional mereka mengontrol dan mengendalikan negeri-negeri muslim. Terbukti, nasionalisme mampu mencegah pemimpin muslim untuk bersatu, menyeru tentaranya mengangkat senjata, berjihad membela saudaranya. Nasionalisme benar-benar ampuh membuat umat muslim fokus pada urusan di negerinya masing-masing.
Maka wajar, jika Global March to Gaza dan aksi kemanusiaan lainnya menemui kegagalan. Karena semangatnya adalah gerakan kemanusiaan. Sifatnya individual dan sangat pribadi tanpa kekuatan. Jelas menjadi sangat lemah dan rapuh.
Solusi Tuntas Penjajahan
Palestina, Gaza memang butuh bantuan kemanusiaan. Tapi tak cukup hanya dengan menembus gerbang Rafah. Lebih dari itu, yang harus ditembus, dihancurkan adalah gerbang, tembok, sekat nasionalisme yang telah begitu kuat mengakar di benak kaum muslimin. Kemudian membangun keyakinan umat pada sebuah kekuatan persatuan dalam satu kepemimpinan tanpa sekat dan batas wilayah.
Sebagaimana dulu, Islam selama kurang lebih 13 abad pernah berjaya menyatukan hampir dua per tiga dunia di bawah satu pemimpin. Tak ada istilah aku Indonesia, kamu Malaysia, dia Mesir, dia Palestina. Tapi, identitas tertingginya sama, yaitu muslim. Maka di manapun tinggalnya, sesama muslim itu bersaudara. Dan kewajiban seorang muslim adalah menolong sauadaranya yang membutuhkan pertolongan.
Ketika Aceh diserang Portugis sekitar abad 15 Masehi, Kekhilafahan Turki Ustmani di bawah Khalifah Selim II mengirimkan 15 kapal perang kecil dan dua kapal perang besar. Selain itu juga menyiapkan peluru meriam, bubuk mesiu, 300 kapak dan 300 sekop. Diutus pula kapten kapal, panglima perang, ahli senjata, prajurit, awak kapal, dengan peralatan perang, senjata dan amunisi yang lengkap (khazanah.republika.co,id).
Oleh karena itu, urgensi kita hari ini adalah memahamkan umat untuk mendukung dan bergabung bersama gerakan politik ideologis yang berjuang tanpa sekat dan konsisten mewujudkan kepempimpinan politik Islam di bawah satu kepemimpinan. Lihatlah, serangan dari satu negeri Iran saja cukup membuat Israel kalang kabut. Bayangkan ketika seluruh negeri muslim dunia bersatu. Maka tak hanya penjajah yang menduduki tanah suci Palestina yang bisa dituntaskan, tapi penjajahan atas seluruh negeri-negeri muslim yang masih bercokol hingga hari ini pun akan mudah diatasi. Bukan Islam identik dengan perang, tapi Islam tak mentolerir penjajahan.
Views: 11
Comment here