Opini

Wacana Kompor Listrik, Rakyat Semakin Terjepit

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Eti Ummu Nadia

wacana-edukasi.com– Polemik kompor listrik akhir-akhir ini sungguh meresahkan masyarakat. Khususnya bagi para emak-emak. Kebijakan tersebut bertujuan penggantian bahan bakar Gas Elpiji beralih pada penggunaan kompor induksi atau listrik. Akan tetapi hal tersebut menuai kritikan dari berbagai kalangan masyarakat, hingga Anggota Komisi VII DPR RI Mulan Jameela.

Dilansir dari detik.news. Setelah kritikan yang disampaikan Mulan Jameela terkait penggunaan LPG yang beralih pada kompor listrik, akhirnya PLN membatalkan program pengalihan bahan bakar LPG ke kompor listrik tersebut.

Sebelumnya, rencana konversi kompor gas ke listrik disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian SDM Rida Mulyana. Menurutnya, yang berhak mendapatkan kompor listrik harus dari keluarga yang di Data Terpadu Sejahtera Sosial (DTKS). Rencananya, tahun ini akan dibagikan secara bertahap berupa alat masak kompor induksi seperti satu kompor, satu alat masak, dan alat Miniature Circuit Breaker (MCB) atau jalur daya khusus listrik untuk kompor induksi secara cuma-cuma.

“Rencananya tahun ini 300 ribu (penerima). Jadi satu rumah itu dikasih satu paket, kompornya sendiri alat masaknya sendiri, dayanya di naikin. Ujar Rida saat ditemui di gedung DPR RI, Selasa (10/09/2022).

Rencana itu pun menuai kritik, salah satunya dari Mulan Jameela menyampaikan dalam, rapat Komisi VII DPR RI bersama Ditjen ILMATE Kementerian Perindustrian, pada Rabu (21/09/2022).

Mulan meminta agar program tersebut jangan terburu-buru, jangan sampai program bertujuan baik justru akan menimbulkan masalah baru. Dia memperhatikan listrik yang digunakan, dikhawatirkan tagihan listrik akan membludak akibat penggunaan kompor listrik. Dia juga mengatakan kompor listrik tidak cocok untuk masakan Indonesia.

“Masyarakat yang kekurangan daya listriknya kan 450 VA, ini kebutuhan 1.200-1.800 Watt, gede sekali “ ujar Mulan. Detik.news. (28/09/2022).

Sebagai masyarakat kecil khususnya emak-emak yang aktivitasnya selalu berkaitan dengan dapur, tentu merasa keberatan dengan rencana pengalihan bahan bakar LPG diganti dengan kompor listrik. Selain harus menggunakan alat-alat masak khusus, daya tarif listriknya pun sangat besar sekitar 1.200-1.800 Watt. Sehingga buat masyarakat yang daya tahan listrik 450 VA tentu tidak akan cukup. Kendati demikian walaupun kompor dan peralatan di bagi secara gratis, akan tetapi daya listrik akan bertambah. Otomatis masyarakat harus mengeluarkan tambahan untuk pembayaran listrik. Bagi masyarakat kecil, jangankan untuk penambahan daya listrik, untuk makan sehari-hari pun terkadang sangat mereka sulit.

Seharusnya kebijakan diambil diperhatikann masyarakat terlebih dahulu. Alakah mereka sudah terpenuhi layanan penerangan listrik secara menyeluruh? Ataukah masih ada yang hidup tanpa penerangan listrik? Jangankan untuk memakai kompor listrik, untuk sekadar lampu penerangan pun mereka kesulitan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada Maret 2021 menunjukkan bahwa, sebanyak 0,79 persen rumah tangga di Indonesia belum menggunakan sumber daya listrik sebagai penerangan utama.

Hal ini tentunya menjadi PR negara yang harus dibenahi. Miris, jika ada masyarakat yang belum mendapatkan penerangan listrik secara mudah. Alangkah baiknya mengambil kebijakan dilihat dulu apa itu berdampak baik, atau justru sebaliknya hanya mempersulit masyarakat. Kebijakan tersebut tentunya tidak boleh membebani masyarakat, apalagi saat ini tarif listrik dari tahun ke tahun terus merangkak naik. Pun demikian bahan kebutuhan lainnya yang serba naik. Bisa dibayangkan jika kebijakan kompor listrik ini diterapkan, tentunya akan menambah beban pengeluaran tarif listrik bagi masyarakat. Belum lagi bagi pedagang yang menggunakan gerobak, akan kesulitan beralih dari penggunaan LPG, ke kompor listrik.

Ironi di negeri yang terkenal dengan Sumber Daya Alamnya (SDA) yang melimpah ruah, salah satunya energi listrik, akaan tetapi masih ada masyarakat yang belum merasakan, bahkan sulit menikmati kekayaan hasil perut bumi ini. Pada dasarnya sumber energi listrik merupakan kepemilikan umum, haram dikelola oleh pihak asing, swasta, individu atau para kapitalis yang memiliki modal.

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah). Kemudian,Rasul saw juga bersabda:Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api. (HR Ibnu Majah

Maka dengan demikian, energi listrik termasuk ke dalam api yang tidak boleh dikelola oleh asing, swasta atau individu.

Berbeda dalam sistem Islam. SDA akan dikelola oleh negara, yang hasilnya akan diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Sehingga masyarakat akan mendapatkan haknya yaitu bisa menikmati energi listrik dengan mudah, murah bahkan secara gratis. Walhasil, mereka pun tidak akan terbebani dan dibuat pusing dengan mahalnya tarif listrik, gas dan lainnya.

Selama sistem yang diterapkan bukan sistem Islam, maka kebijakan yang dikeluarkan akan selalu memunculkan pro dan kontra. Seperti halnya wacana kompor listrik. Kenapa ? Karena peraturan atau kebijakan diambil atas dasar aturan dan pemikiran manusia yang terbatas, bukan aturan dari Allah SWT yang sempurna, yang mendatangkan kemaslahatan. Selama aturan SDA masih di kuasai oleh asing, swasta atau para kapitalis, mustahil mendatangkan kemaslahatan. Karena tujuan para kapitalis semata-mata demi kepentingan dan keuntungan sebagai prioritas utamanya.

Sistem kapitalisme saat ini jelas hanya menguntungkan bagi mereka para pemilik modal (kapitalis). Sedangkan rakyat, ketika menginginkan fasilitas penerangan listrik, maka mereka harus membayar tak ubahnya seperti konsumen dan pembeli. Dari sini terlihat yang diuntungkan adalah para kapitalis.

Oleh karena itu, kita butuh sistem yang mampu mengelola SDA sesuai dengan syariat Islam. Ketika SDA masih di kuasai atau di atur oleh asing atau para kapitalis, maka kebijakan terkait SDA akan terus menjadi polemik, sehingga akan hilang keberkahannya. Terbukti, negeri yang mayoritas penghasil SDA yang melimpah, tetapi dibalik itu banyak rakyat hidup dalam kemiskinan.

Oleh sebab itu, kita butuh sebuah sistem yang mampu memberikan kesejahteraan bagi kehidupan masyarakat. Sistem itu tidak lain adalah sistem Islam yang penerapannya sesuai syariat Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan As-sunah. Dengan demikian masyarakat akan hidup dalam keberkahan dan kesejahteraan.

Wallahu’alam Bish Shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 7

Comment here