Opini

Saat Kapitalisme Merampas Masa Depan Anak

Bagikan di media sosialmu

Oleh: Eka Purnama Sary, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Beberapa waktu lalu linimasa dipenuhi berita yang memilukan. Seperti yang terjadi di Serpong, 54 pelajar ditangkap saat hendak tawuran. Begitu juga yang dialami oleh salah seorang siswa di Pangkep yang dipukuli di depan sekolahnya. Sementara di Bandung, seorang pelajar SMK tewas ditusuk hanya karena persoalan asmara. Kejadian yang sama juga terjadi di Simalungun. Di mana salah seorang pelajar ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, bajunya berlumuran darah, wajahnya terbungkus kain, dan masih banyak lagi kasus yang lebih memilukan.

Beberapa fakta ini cukup membuktikan bahwa kondisi generasi semakin memprihatinkan. Kriminalitas begitu mudah dilakukan, padahal seharusnya merekalah penerus bangsa, tetapi justru terlibat dalam hal menghilangkan nyawa. Hal tersebut tentu merusak masa depan, sekaligus menghapus potensi yang Allah karuniakan kepada mereka.

Fenomena ini bukan insiden sporadis. Di berbagai kota besar, kasus tawuran telah mencapai angka ratusan. Hal ini didasarkan pada data KPAI tahun 2024 lalu. BNN melaporkan peningkatan penyalahgunaan narkoba di kalangan remaja, bahkan ada yang masih duduk di bangku SMP. Kepolisian juga mengungkap tren begal remaja yang meningkat tajam, sebagian besar dilatarbelakangi faktor pergaulan dan pengaruh media sosial.

Anak-anak seharusnya mengisi hari-hari mereka dengan belajar, beribadah, dan berkarya. Namun, yang kita saksikan justru sebaliknya. Generasi yang kehilangan arah, rapuh mental, dan mudah terprovokasi.

Akar Masalahnya adalah Sistem Kapitalisme Sekuler

Kita sering menyalahkan faktor-faktor permukaan seperti kurangnya perhatian orang tua, lemahnya pengawasan guru, atau pengaruh pergaulan. Semua itu memang berperan, tetapi itu hanyalah gejala, bukan sumber penyakitnya.

Sumber masalah yang sesungguhnya adalah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menjadi fondasi kehidupan kita. Sistem ini mengajarkan bahwa kebebasan adalah segalanya, materi adalah tujuan hidup, dan agama hanyalah urusan pribadi yang boleh dipisahkan dari kehidupan publik.

Sekolah-sekolah saat lebih menekankan pada pencapaian nilai ujian, kemampuan teknis, dan persaingan kerja. Identitas Islam, pemahaman tujuan hidup, dan pembentukan akhlak mulia bukanlah prioritas utama. Akibatnya, banyak pelajar tidak tahu mengapa mereka hidup, untuk apa mereka belajar, dan bagaimana mereka harus bersikap di tengah masalah.

Kapitalisme menciptakan masyarakat permisif yang menganggap kemaksiatan sebagai hal biasa. Tawuran dianggap tradisi sekolah, pergaulan bebas dibungkus kata kebebasan pribadi, dan kekerasan dijadikan hiburan.

Selain itu,media seperti televisi, film, TikTok, dan YouTube dijejali konten kekerasan, pornografi, dan gaya hidup hedonis. Semua ini dikonsumsi anak-anak tanpa filter, yang pada akhirnya membentuk cara pikir dan gaya hidup mereka.

Dalam sistem kapitalisme, negara bukan pengasuh moral rakyatnya. Keamanan hanya berarti menangkap pelaku setelah kejadian, bukan mencegah kerusakan sejak awal. Maka tak heran, kasus-kasus ini berulang tanpa henti. Demikianlah kapitalisme telah merampas masa depan anak-anak kita.

Solusi Paripurna: Kembali kepada Islam

Islam bukan hanya urusan ibadah ritual, tapi mengatur politik, ekonomi, dan seluruh aspek kehidupan. Maka tak heran jika semuanya begitu sempurna pelaksanaannya. Bahkan pembinaan generasi dalam sistem Islam pun tak luput dari perhatian.

Khilafah menerapkan kurikulum yang memadukan penguasaan ilmu dengan pembentukan kepribadian Islami. Akidah diajarkan sejak kecil, ibadah dibiasakan, dan akhlak mulia ditanamkan. Pelajaran sains, matematika, teknologi, dan seni tetap ada, tetapi seluruhnya dipandu dengan nilai syariah. Hasilnya adalah generasi cerdas dan beriman, seperti para ilmuwan Muslim zaman keemasan: Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan Al-Jazari.

Negara juga akan memastikan seluruh masyarakat terikat pada hukum syariah. Kemaksiatan diberantas, amar makruf nahi mungkar ditegakkan, dan budaya ketaatan disebarkan melalui masjid, pasar, dan pusat-pusat kegiatan publik. Generasi akan tumbuh di tengah teladan kebaikan, bukan di lautan keburukan.

Media yang Mendidik dan Mengarahkan

Media dalam Islam akan menjadi alat dakwah dan edukasi. Tidak ada ruang bagi konten yang merusak moral. Hiburan tetap ada, tetapi bersih dari unsur yang melalaikan atau mengundang maksiat.

Dalam sistem Islam, negara sebagai penanggung jawab penuh, memandang pembinaan generasi sebagai bagian dari tanggung jawabnya kepada Allah Swt. Pendidikan disediakan secara gratis, guru dipilih dari orang-orang berakhlak mulia dan kompeten, serta setiap anak dipastikan mendapatkan pembinaan yang layak.

Sejarah Sudah Membuktikan

Dalam sejarah Khilafah, generasi muda tumbuh menjadi pemimpin dunia di usia belia. Muhammad Al-Fatih misalnya, sudah memimpin pasukan pada usia 21 tahun dan menaklukkan Konstantinopel, sebagaimana dikabarkan Rasulullah ﷺ. Ilmuwan-ilmuwan muslim tidak hanya ahli di bidangnya, tetapi juga taat beribadah dan menjadi teladan akhlak.

Semua ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari sistem yang membina generasi secara terstruktur dan menyeluruh, dari rumah, sekolah, hingga masyarakat dan negara. Demikianlah sistem Islam menyiapkan dan mendidik generasi hingga terlahir generasi emas yang tak lekang oleh waktu. Semua ini hanya akan terwujud ketika sistem Islam yang disebut Khilafah tegak dalam kehidupan ini.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here