Opini

Potret Buram Sistem Kapitalisme, Melahirkan Individualisme

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh. Mia Mulyati

(Mahasiswi dan Aktivis Muslimah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Rasulullah saw. bersabda :
“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.”
(HR. Nasai 3987, Turmudzi 1455, dan dishahihkan al-Albani)

Lagi, permasalahan kehidupan umat terus terjadi di tengah-tengah aturan sistem yang tak manusiawi. Nyawa melayang seakan bukan tanggung jawab negara, sehingga negara abai dan tak ada kepedulian. Apalagi untuk menyejahterakan semua masyarakat, hal kecil pun tak bisa diatasi di dalam sistem kapitalisme yang berasaskan sekularisme ini.

Seperti kabar duka yang datang dari Kalideres, Jakarta Barat kasus kematian empat orang dalam satu keluarga. Sungguh miris.

Dilansir dari republika.co.id, Sabtu, (12/11/22), Kerabat dari satu keluarga yang ditemukan tewas di Kalideres, Jakarta Barat, Ris Astuti (64) merasa ragu jika keempat kerabatnya tewas akibat kelaparan.

Ris Astuti mengungkapkan bahwa ketika dimintai keterangan di Polsek Kalideres, Sabtu (12/11/2022), “misalnya kalau dia lapar, nggak ada makanan atau kurang buat makan, kan dia bisa menghubungi kita.” (republika.co.id, Sabtu, (12/11/22))

Kabar duka ini diketahu ketika tetangga rumah korban mencium bau yang tidak sedap dari dalam rumah korban. Sehingga ditemukan empat orang meninggal dan sudah tidak bernyawa. Tetangga ragu, kematian ini disebabkan oleh kelaparan, pasalnya keluarga tidak pernah bercerita mengenai kondisi ekonomi yang sedang melandanya. Hanya saja, antar tetangga kurang adanya komunikasi satu sama lain di tempat tersebut.

Siapa yang Salah Di Sini?

Miris, ketika mendengar berita seperti ini. Hidup di sistem sekuler yang individualistis menyebabkan tidak terjalinnya komunikasi satu sama lain. Bahkan, dalam satu keluarga pun sudah banyak ditemukan kasus semacam ini. Komunikasi antar keluarga tidak terjalin. Sistem sekuler kapitalisme ini menghasilkan kepribadian individualistis yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Bagaimana bisa memikirkan keadaan ummat?

Kasus ini memberikan pembelajaran bagi kita bahwa potret buram dari sistem sekuler telah menghasilkan individu kehilangan empati dan simpati dalam lingkungan. Bahkan, antar tetangga pun tidak ada kepedulian satu sama lain sehingga terjadi kelalaian yang menyebabkan kematian.

Individualisme yang diciptakan dari sistem sekuler ini telah berhasil memberikan dampak yang sangat suram dan mengkhawatirkan. Seharusnya antar tetangga saling mengasihi dan menyayangi layaknya keluarga sendiri, namun mirisnya itu tidak terjadi dalam sistem ini.

Tuntutan lingkungan yang menjadikan pribadi
yang individualistis menghancurkan eksistensinya untuk saling berbagi dan saling peduli. Dalam kasus seperti ini, tidak hanya terjadi antar tetangga saja, bahkan konsep individualistis ini pun telah masuk dalam ranah keluarga. Mulai terjadi ketidakpedulian satu sama lain sekalipun itu masih satu rumah dan tentunya sedarah. Sungguh miris potret yang dihasilkan dari sistem kapitalisme dalam segi berkomunikasi.

Dalam sistem sekuler, hubungan antar tetangga tidak terjalin kepedulian dan hubungan sosial masyarakat. Hal ini sudah merambahnya konsep mementingkan diri sendiri atau individualisme yang makin merenggut citra diri seorang muslim. Ummat muslim harusnya saling peduli dan mengasihi, akibat tergerus oleh lingkungan yang sekuler, identitas itu lenyap dan bahkan tidak lagi diterapkan dalam kehidupan.

Kapitalisme yang lahir dari sekularisme ini memisahkan agama dari kehidupan. Maka, sudah menjadi lumrah kejadian seperti ini terjadi di sistem yang bukan dalam naungan sistem Islam.

Belum lagi peran negara yang abai terhadap persoalan seperti ini. Tidak ada pengayoman sedikit pun dari penguasa. Pemerintah ikut abai dan bahkan tidak memedulikan.

Islam Mengajarkan Empati

Dalam Islam, hubungan antar kerabat dan tetangga sangat diperhatikan. Dalam aturan agama Islam, hak dari seorang muslim ada hak muslim lain yang harus diperhatikan. Segala harta, penghasilan dan makanan yang diberikan ada hak seorang muslim lainnya yang tidak merasakan. Bahkan, saking hebatnya aturan dalam Islam, tidak ada tetangga yang kelaparan. Karena rasa empati sebagai wujud keimanan.

Dalam hadits, Rasulullah saw. bersabda: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya.” (HR At-Thabrani).

Dari hadist lain, dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)

Aturan Islam sangat paripurna. Bukan hanya mengatur dalam ranah Ibadah ritual saja, melainkan lebih dari itu, aturan Islam mengajarkan empati antar tetangga dan masyarakat agar saling peduli.

Selain mengajarkan empati, Islam memiliki konsep bahwa khalifah mengurus rakyat dengan baik. Segala kebutuhan rakyat dipenuhi baik yang pokok maupun yang kolektif yaitu jaminan rasa aman, pendidikan dan kesehatan gratis. Berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, rakyat harus menanggung sendiri semua kebutuhan ditambah nir empati dari yang lain.

Dengan menerapkan aturan Islam yang bersumber dari Sang Khalik bukan dari manusia, jaminan kehidupan menjadi nyata dan tidak akan terjadi lagi kasus kelaparan yang menyebabkan kematian. Sungguh miris dan butuh penanganan yang logis untuk mengikis sikap individualis dari sistem kapitalis. Saatnya rakyat menyadari, butuh diterapkannya sistem Islam yang realistis.

Wallahualam bishshawwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 35

Comment here