Oleh : Sri Wulandari (Guru dan Aktivis Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Kebijakan pajak selalu menjadi topik pembahasan di tengah masyarakat. Dampak kebijakan ini dirasakan langsung oleh rakyat dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu bentuk kebijakan pajak yang banyak menuai kritik tajam yaitu kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sebelumnya sebesar 10 persen , kemudian diubah menjadi 11 persen yang sudah berlaku pada tanggal 1 April 2022 dan kini naik menjadi 12 persen yang akan ditetapkan paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini dianggap memberatkan rakyat. Selain itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, juga mengakui bahwa rakyat semakin menjerit akibat beban pajak yang semakin besar. [Tempo.com (20/12)].
Pasalnya kenaikan PPN yang diberlakukan pemerintah tidak hanya berdampak pada daya beli masyarakat, tetapi juga memicu kenaikan harga pada barang dan jasa. Sistem Kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber dana utama pembangunan yang ditetapkan kepada semua warga negara sebagai kewajiban. Namun, kapitalisme sering kali tidak berlaku adil terhadap kesejahteraan rakyat. Kenaikan PPN merupakan salah satu strategi optimalisasi yang dilakukan Pemerintah agar target penerimaan pajak tahun anggaran 2025 yang tertuang dalam RAPBN sebesar Rp2.189,3 triliun bisa tercapai.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menerangkan beberapa alasan penyebab kenaikan PPN 12 persen yakni untuk meningkatkan pendapatan negara. Semenjak pandemi Covid-19 pendapatan negara menjadi tidak cukup stabil dan memperburuk kondisi keuangan negara. Kenaikan PPN dari 11 ke 12 persen diharapkan bisa memperbaiki keuangan negara. Selain itu, kenaikan PPN 12 persen ini juga diharapkan bisa mengurangi ketergantungan negara terhadap utang luar negeri sehingga bisa menutupi defisit anggaran. Pemerintah berusaha mengurangi penggunaan utang dengan cara meningkatkan penerimaan pajak negara. Kebijakan ini dianggap dapat membantu keuangan negara dan mencapai kestabilan ekonominya karena mampu menyesuaikan pengeluaran negara dengan pendapatan yang diterima dari pajak. Sebagaimana dilansir dari pajak.com (30/12).
Salah satu bentuk ketidakadilan dalam sistem kapitalisme adalah perlakuan yang sangat berbeda antara rakyat dan pengusaha. Negara akan berperan sebagai regulator dan fasilitator yang kerap berpihak kepada pengusaha besar. Dalam laporan CNBC Indonesia, sangat jelas bagaimana perusahaan-perusahaan besar mendapatkan berbagai keringanan pajak. Sementara disisi lain, rakyat kecil harus menanggung beban pajak yang semakin memberatkan hidup mereka. [CNBCIndonesia.com (20/08)].
Dari data-data di atas, kita dapat melihat betapa menyengsarakannya kebijakan kenaikan pajak yang ditetapkan pemerintah negeri ini yang dapat menimbulkan kesulitan bagi rakyat. Selain itu, kebijakan ini tidak mempertimbangkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan rakyatnya selama ini tanpa ada rasa peduli sama sekali. Sehingga, ketika membuat kebijakan, dampaknya tidak untuk masyarakat luas, melainkan hanya untuk beberapa rakyat saja.
Sedangkan sistem ekonomi didalam Islam memberikan solusi yang tepat, lebih adil dan mensejahterakan rakyat. Dalam sistem Islam, sesungguhnya tidak ada sistem pajak yang diambil langsung dari masyarakat sebagaimana terjadi dalam sistem kapitalisme, yang dimana barang-barang dikenakan pajak, termasuk lahan, kendaraan, rumah, bahkan makanan. Pada masa Nabi Muhammad saw. cara beliau mengatur urusan-urusan rakyat tidak terbukti bahwa beliau pernah memungut pajak atas rakyatnya. Tidak ada satu pun riwayat bahwa beliau pernah memungut pajak. Bahkan ketika beliau mengetahui bahwa orang di perbatasan daulah mengambil pajak atas komoditas yang masuk ke dalam negeri, beliau justru melarangnya. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir bahwa ia telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai.” (HR Ahmad dan disahihkan oleh Al-Hakim).
Dalam sistem Islam, pajak bukanlah sumber tetap dan utama pendapatan negara, bahkan dapat dikatakan merupakan alternatif terakhir ketika kondisi keuangan negara sedang tidak stabil. Adapun sumber pendapatan utama negara menjadi hak kaum muslim dan masuk ke baitulmal, dan ada sembilan bagian, yaitu fai (anfal, ganimah, khumus), kharaj, jizyah, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, khumus rikaz dan tambang, harta haram pejabat dan pegawai negara, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, serta harta orang murtad. Itulah beberapa pendapatan tetap negara di dalam sistem Islam.
Oleh karena itu, pajak dalam sistem Islam bukan untuk menghalangi orang kaya atau menambah pendapatan negara, apalagi untuk memperkaya pejabat negara seperti yang ada di sistem kapitalisme. Akan tetapi, pajak diambil hanya untuk membiayai kebutuhan yang sudah ditetapkan syariat.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Seharusnya memang seperti itulah peran suatu negara yakni sebagai raa’in (pengurus rakyat). Peran negara lah yang akan membuat kebijakan pro terhadap rakyat sehingga dapat membuat hidup rakyat menjadi damai dan aman sentosa, negara juga akan melakukan segenap daya dan upaya dalam memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya. Sehingga masyarakat pun percaya terhadap kebijakan yang akan di berlakukan tanpa ada rasa tidak adil.
Views: 19
Comment here