Oleh : Ahsani Ashri, S.Tr.GZ (Aktivis Muslimah dan Pemerhati Kesehatan)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Vaksin masih menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang. Namun siapa sangka Bill Gates sosok filantropis asal Amerika Serikat yang dikenal sebagai founder Microsoft Corporation meluncurkan program uji klinis vaksin TBC M72/AS01E. Vaksin ini adalah salatu program untuk upaya pengentasan sejumlah penyakit menular, seperti polio, malaria, dan TBC.
Penyakit ini masih menghantui negara-negara berkembang. Salah satunya ada di Indonesia. Kematian akibat TBC di negeri ini mencapai 100 ribu orang tiap tahunnya. Proses uji klinis vaksin ini telah dilaksanakan sejak 2024 bersama dengan enam negara lainnya, termasuk India dan Kenya. Sebanyak 2095 warga Indonesia yang ikut serta dalam uji klinis vaksin TBC M72. Mereka telah menerima vaksin tersebut sejak September 2024. Jika uji klinis fase 3 ini berhasil, vaksin ini dapat diedarkan untuk masyarakat umum pada tahun 2028 (liputan6.com, 5/8/2025).
Program yang disponsori Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF) memantik kecurigaan publik mengapa Indonesia yang dipilih? Publik juga menyoal risiko dan dampak kesehatan yang mungkin dialami para pesertanya.
Mengapa Indonesia Dipilih?
Alasan pertama dipilihnya Indonesia sebagai tempat uji klinis vaksin TBC yang dikembangkan oleh Bill Gates adalah terkait dengan beban TBC yang tinggi di Indonesia. Kasus TBC di Indonesia menempati peringkat kedua di dunia setelah India. Menurut Global Tubercolosis Report 2024 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah kasus TBC diperkirakan sebanyak 1.060.000 kasus dan 125.000 kematian akibat TBC per tahun di Indonesia, itu artinya terdapat 14 orang yang meninggal akibat TBC setiap jamnya (https://kemkes.go.id/).
Alasan lainnya adalah infrastruktur di Indonesia sebagai negara berkembang yang dianggap mendukung program ini dibandingkan dengan negara Afrika atau India. Selain itu, Bill Gates juga mengatakan bahwa TBC sudah jarang ditemukan di negara maju. Oleh karena itu, negara-negara maju tidak lagi menyediakan dana untuk pengembangan obat serta vaksin bagi penyakit ini.
Vaksin ini mulai dikembangkan sejak awal tahun 2000. Hal ini dilakukan karena vaksin BCG yang selama ini dipakai dinilai kurang efektif dari bahaya infeksi TB yang parah, terutama TB meningitis. Vaksin BCG juga tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi remaja dan dewasa dari TB paru, yang merupakan penular utama bakteri TB (idntimes.com).
Pengembangan vaksin bernama M72/AS01E ini memasuki tahap uji klinis fase 3, yakni tahapan untuk menguji efektivitasnya. Ada pertanyaan menggelitik saat saya membuat tulisan ini, anda percaya sama Bill Gates? kok dukung Indonesia mau dijadikan kelinci percobaan? Saya tersenyum, sebenarnya pertanyaannya lebih tepat adalah, anda percaya BPOM dan para peneliti Indonesia? lebih jauh lagi, percaya sama pemerintah Indonesia?
Menepis Mitos Uji Klinis Bukan Eksperimen Sembarangan
Uji klinis (clinical trial) adalah tahapan krusial dalam proses ilmiah dan etis yang digunakan untuk memastikan keamanan, efektivitas, serta mengidentifikasi potensi efek samping sebelum disebar luas dan dikonsumsi masyarakat. Sebelum dilakukan uji klinis, panelis (sample) diberikan lembar persetujuan (informed consent) , tentu proses ini dilaksanakan dengan protokol ketat dibawah pengawasan badan etika dan kesehatan nasional maupun Internasional yang kredibel seperti BPOM dan WHO.
Berikut tahapan proses uji klinis pada pasien :
Support for Phase 1 Clinical Trials | UVA Health Foundation
Preclinical , yakni vaksin diuji pada hewan percobaan
Fase 1, vaksin diuji kepada partisipan berjumlah 15-50 orang.
Fase 2, uji klinis dilakukan pada partisipan 200-300 orang
Fase 3, dilakukan pada puluhan ribu partisipan lintas negara. Fase 3 dinilai menjadi fondasi utama dalam proses evaluasi regulator sebelum vaksin mendapatkan izin edar.
Khusus vaksin M72 sudah dimulai uji klinis pada tahun 2014. Artinya sebelum itu, sudah ada uji praklinis (penelitian pada hewan). Uji tahap 1 sampai 2, berakhir pada tahun 2018. Dilaporkan secara ilmiah pada tahun 2019. Setelah itu, penelitian terhenti. Baik karena sisi pendanaan, mengingat hasil uji tahap 1 dan 2, menunjukkan hasil efikasi yang dapat diterima secara ilmiah, namun masih membutuhkan pendanaan penelitian yang besar untuk jangka panjang. Ditambah juga situasi pandemi covid, sehingga terhenti. Baru setelah pandemi covid dinyatakan selesai, maka penelitian dilanjutkan.
Di Indonesia, setiap uji klinik harus mendapat Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) dari BPOM. Khusus untuk M72 ini, diluncurkan pada Januari 2024. Ijin dari BPOM terbit pada 19 April 2024. Sejumlah rumah sakit besar, seperti RSUP Persahabatan, RS Islam Cempaka Putih, RSUI, FKUI, dan FK Unpad menjadi tempat uji klinis sejak 3 September 2024.
Jadi uji klinis bukan menjadikan rakyat sebagai sample atau “kelinci percobaan”, dalam konotasi tidak jelas dasar terapinya, langsung dipraktekkan ke manusia tanpa subjek tahu terapinya sudah diuji atau belum, tanpa pengawasan atau kontrol yang adil, dan bila ada kecelakaan, pasien tidak mendapat perlindungan hukum atau medis. Kesimpulannya, anggapan bahwa Indonesia menjadi kelinci percobaan dalam peluncuran program vaksin ini adalah tidak benar. Karena vaksin ini telah melalui riset pada fase pertama dan kedua Artinya fase pertama dan kedua yang dilakukan di negara lain sudah lolos kriteria keamanan dan efektivitasnya. Walaupun dikategorikan aman, seperti vaksin lain, ada efek samping ringan seperti demam dan peningkatan suhu tubuh pada awal penyuntikan. Namun efektivitas vaksin juga bisa dipengaruhi oleh faktor genetik penerimanya. kecocokan terhadap genetik masih perlu dibuktikan lewat uji klinis tahap tiga ini.
Mengutip pernyataan dari dr. Arifianto, Sp.A(K) sebagai dokter spesialis anak yang menangani kasus Tb berbagai rupa, mulai dari Tb sensitivf obat sampai resisten obat, dan menjadi narasumber serta dilatih sebagai coach Tb di Jakarta Timur. Beliau juga penulis buku Pro Kontra Imunisasi dan menjadi Champion Imunisasi IDAI, beliau mengatakan uji klinis adalah hal yang lumrah dalam suatu penelitian ilmiah baik obat maupun vaksin. Tidak ada bedanya antara uji klinis vaksin TBC yang di sponsori MBGF, uji klinis vaksin covid 19 yang sudah berlalu, uji klinis vaksin pneumokokus, kanker serviks, dan semua vaksin lainnya, maupun uji klinis semua obat, memang standarnya begitu, tidak ada yang Istimewa dan tidak perlu ditakutkan.
Disatu sisi soal penyandang dananya kebetulan berasal dari MBGF dan kita tahu dalam sistem kapitalisme ini tidak memungkinkan segala hal bisa gratis (There is no such thing as a free lunch) wajar saja jika hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Ada apa dibalik peluncuran uji coba vaksin ini?
Menelisik Program Vaksin Aroma Bisnis?
Bill Gates yang merupakan salah satu orang terkaya di dunia membangun Bill and Melinda Gates Foundation (BMGF) pada tahun 2000. Sejak didirikan, yayasan ini telah menyumbangkan 50 miliar USD untuk berbagai sektor, termasuk kesehatan. Salah satunya adalah kontribusi untuk Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI) yang mencapai lebih dari 4 miliar USD. Besarnya sumbangan ini telah menempatkan BMGF sebagai penyumbang terbesar kedua bagi lembaga ini di bawah pemerintah Inggris. BMGF juga memberikan donasi yang besar bagi WHO. Hal ini menjadikan Gates menjadi salah satu pemberi sumbangan terbesar nonpemerintah bagi lembaga kesehatan dunia ini.
Besarnya sumbangan Gates bahkan mengalahkan sumbangan pemerintah negara-negara di dunia ke WHO. Uji coba vaksin TBC ini tidak dapat dinilai sebagai upaya yang dilakukan semata-mata demi kepentingan kemanusiaan. Hal itu karena Bill Gates telah memberikan dana hibah ke Indonesia sejak tahun 2009. Bill Gates telah memberikan dana hibah yang bernilai159 juta USD (sekitar Rp 2,6 triliun) kepada Indonesia. Dana tersebut dialokasikan untuk bidang kesehatan sebesar 119 juta USD, pertanian 5 juta USD, untuk teknologi sebesar 5 juta USD, sedangkan sisanya untuk bantuan sosial sebesar USD 28 juta (neraca.co.id 9/5/2025).
Adanya pemberian dana hibah dan pengaruh terhadap kebijaksanaan patut disoal. Hal yang perlu dipahami bahwa dana hibah hanya akan diberikan apabila penerima hibah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemberi hibah. Hal ini juga berlaku bagi dana hibah dari Bill Gates untuk Indonesia. Ia meminta Indonesia menjadi tempat uji coba vaksin TBC yang dikembangkannya sebagai kompensasi atas dana tersebut. Jika uji coba ini berhasil, vaksin tersebut dapat diproduksi dan dipasarkan.
Di balik kedermawanannya, Bill Gates tetap menjadi seorang kapitalis yang selalu mencari keuntungan materi. Hal ini terbukti dengan berinvestasinya dana yayasan ke perusahaan farmasi. Pada tahun 2019, yayasan ini telah mendanai 55 juta USD BioNTech, pengembang vaksin Covid-19. Yayasan itu mendapat keuntungan signifikan dari naiknya saham perusahaan tersebut. Selain itu, Bill Gates juga mendapatkan keuntungan finansial yang sangat besar dari kebijakan vaksinasi global saat itu. Kebijakan itu tak lepas dari pengaruh yang diberikannya terhadap lembaga kesehatan dunia. (sindonews.com, 05-09-2025)
Kapitalisasi Layanan Kesehatan
Tidak ada kata gratis dalam kamus sistem kapitalisme. Semua yang dilakukan harus mendatangkan keuntungan materi. Demikian pula dengan uji coba vaksin TBC yang dilakukan saat ini. Uji coba ini dilakukan semata-mata untuk bisnis. Ada keuntungan besar yang akan diperoleh pengusaha farmasi dari pengadaan vaksin ini. Vaksin berbayar sebenarnya sudah lama ada di Indonesia. Pembiayaan pelayanan imunisasi di sejumlah fasilitas kesehatan memang nyata adanya. Situs website sahabatpegadaian.co.id (08/12/2023) menyebutkan bahwa terdapat variasi biaya vaksin atau imunisasi baik di puskesmas maupun rumah sakit. Kalaupun beberapa jenis imunisasi dapat di cover oleh BPJS Kesehatan, masyarakat harus memastikan keaktifan kartu dengan iuran rutin yang telah ditentukan.
Perusahaan-perusahaan farmasi dunia terbukti mendapatkan keuntungan besar dari bisnis pengadaan vaksin. Pandemi Covid-19 adalah salah satu buktinya. Saat pandemi melanda, komersialisasi pelayanan kesehatan di Indonesia sangat terlihat.
Kala itu, perusahaan farmasi yang melakukan monopoli vaksin Covid-19 mendapatkan keuntungan hingga miliaran dolar. Mereka mendapatkan keuntungan dari vaksin serta obat yang mereka jual selama tahun 2021–2022. Contohnya adalah Pfizer yang mendapatkan keuntungan sebesar 35 miliar USD, Sementara itu, BioNTech dan Moderna masing-masing mendapatkan keuntungan hingga 20 miliar USD. Sedangkan Sinovac mendapatkan 15 miliar USD. (somo.nl, 27-02-2023)
Hal ini merupakan kondisi yang lazim terjadi di negara-negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam kitab An-Nidhaam Al-Iqtishady fii Al-Islaamy, kapitalisme memandang suatu benda memiliki nilai guna hanya dari kacamata ekonomi, yakni dapat mendatangkan uang. Tidak peduli apakah benda itu halal atau haram. Jika ada yang menginginkannya, akan dilayani karena dapat mendatangkan keuntungan, meskipun benda itu haram.
Selain itu, kapitalisme juga membolehkan monopoli. Melalui monopoli, produsen barang yang dibutuhkan banyak orang akan mendapatkan banyak keuntungan. Semakin banyak yang membutuhkan, semakin banyak pula keuntungan yang didapat. Sungguh seharusnya kita merasa muak dengan konsep kapitalisme yang selalu berfikir cuan cuan dan cuan tanpa berempati terhadap keselamatan rakyat. Apakah ada konsep yang menawarkan kualitas jaminan kesehatan yang lebih baik?
Pelayanan Kesehatan Dalam Islam
Tentu kondisi ini tidak akan terjadi dalam sistem Islam. Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara dalam Islam. Sebab, fungsi negara atau pemerintah adalah mengurus segala urusan dan kepentingan rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda, “Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggungjawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Al-Bukhari).
Pelayanan kesehatan dalam sejarah kepemimpinan Islam dibagi dalam tiga aspek. Pertama , tentang pembudayaan hidup sehat. Sehebat apapun penemuan dalam teknologi kesehatan, hanya akan efektif menyehatkan masyarakat bila masyrakat memiliki pemahaman tentang hidup sehat yang kemudian akan menggerakkan penguasa membangun infrastruktur pencegah penyakit dan juga fasilitas bagi yang terlanjur sakit.
Para tenaga kesehatannya juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas. Bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang. Hal yang menarik, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak mengherankan bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada saat itu sudah sangat baik.
Kedua , tentang pemajuan ilmu dan teknologi kesehatan. Sistem kepemimpinan Islam akan yang mendukung aktivitas penelitian kedokteran untuk kesehatan umat. Islam memandang bahwa kedudukan ilmuwan muslim merupakan hal penting yang harus diapresiasi dan didukung penuh. Negara sebagai penanggung jawab masyarakat memiliki peran penting dalam hal ini. Negara harus memberikan jaminan pendidikan agar masyarakat khususnya para ilmuwan dapat mengembangkan potensinya.
Kesehatan dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan hanya kuratif (pengobatan). Apalagi Islam telah menetapkan negara tidak hanya sebagai raa’in (pengurus), tetapi juga junnah (pelindung), termasuk negara wajib membentengi masyarakat terhadap serangan penyakit menular. Dalam hal penyakit menular, negara Islam akan memfasilitasi para ilmuwan untuk mengembangkan teknologi sendiri, sehingga negara mampu memproduksi vaksin secara massal dan mampu mencukupi kebutuhan vaksin secara gratis.
Negara wajib senantiasa mengalokasikan anggaran belanjanya untuk pemenuhan kebutuhan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Negara tidak boleh mengalihkan tanggungjawab tersebut kepada pihak lain, baik kepada pihak swasta maupun rakyatnya sendiri. Anggaran negara yang diberikan untuk penelitian kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia. Terakhir, negara juga akan menerapkan lockdown atau menutup wilayah sumber penyakit untuk memberantas wabah.
Terkait jaminan kesehatan adalah suatu kewajiban negara terhadap rakyat yang harus didapatkan tanpa diskriminasi dan gratis. Tidak ada diskriminasi pelayanan baik muslim maupun non-muslim, kaya ataupun miskin. Pelayanan diberikan secara gratis, artinya rakyat tidak boleh dikenai pungutan sepesar pun untuk mendapat pelayanan kesehatan. Pemberian jaminan kesehatan seperti ini tentu membutuhkan dana besar. Dana tersebut bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan syariat.
Ketiga, penyediaan infrastrukur dan faslitas kesehatan. Seluruh rakyat harus diberi kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan baik di desa maupun perkotaan. Pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan tersebut wajib senantiasa diupayakan negara bagi seluruh rakyatnya. Sebab, jika pelayanan kesehatan tidak ada maka akan dapat mengakibatkan terjadinya bahaya (dharar), yang mengancam jiwa rakyatnya.
Dengan demikian, kekuasan harus diorientasikan untuk melayani Islam dan kaum Muslim. Hal ini hanya akan terwujud jika kekuasan itu menerapkan syariah Islam secara total, memelihara urusan dan kemaslahatan umat, menjaga Islam dan melindungi umat. terdapat sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran. [WE/IK]
Views: 105
Comment here