Oleh : Dite Umma Gaza (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI–Dikutip dari Beritasatu.com (30-06-2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang menyelidiki kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di Bank Rakyat Indonesia (BRI) dengan nilai proyek mencapai Rp 2,1 triliun pada periode 2020-2024.
Tim penyidik KPK telah melakukan penggeledahan di kantor pusat bank BUMN dan menyita dokumen proyek, buku tabungan, dan bukti elektronik yang saat ini sedang dianalisis untuk pengembangan kasus korupsi pengadaan mesin EDC.
Mesin EDC (Electronic Data Capture) adalah perangkat elektronik yang memungkinkan transaksi pembayaran menggunakan kartu debit atau kartu kredit. Dengan kemampuan membaca informasi kartu dan melakukan proses transaksi online dengan bank atau lembaga keuangan, mesin EDC memfasilitasi pembayaran yang lebih mudah dan efisien.
Penyidikan kasus korupsi pengadaan mesin EDC masih terus dilakukan oleh KPK, dan penetapan tersangka akan dilakukan setelah semua bukti dan keterangan saksi terkumpul.
Demokrasi Menumbuhsuburkan Korupsi
Mencuatnya kasus korupsi EDC di bank BRI senilai 2,1 T merupakan buah dari penerapan sistem demokrasi yang dianut negeri ini. Kasus ini menunjukkan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan barang dan jasa di lembaga publik, sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan dan korupsi.
Sungguh disayangkan, kasus korupsi ini muncul ketika pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan efisiensi anggaran yang berdampak pada penurunan kualitas layanan publik dan pendanaan sektor strategis, seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial.
Sistem demokrasi yang merupakan saudara kandung dari sistem sekuler kapitalistik telah terbukti gagal. Sistem demokrasi terbukti lemah dalam menangani masalah rakyat dan menciptakan keadilan sosial. Kesenjangan sosial antar lapisan masyarakat kian lebar.
Sistem demokrasi sering kali gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua warga negara, sehingga layak dipertanyakan efektivitasnya. Demokrasi yang dijalankan hanya menjadi sarana bagi para pejabat untuk melakukan transaksi dengan para pemilik modal, sehingga kekuasaan menjadi komoditas yang diperjualbelikan. Korupsi yang merajalela dan menjadi budaya di semua level masyarakat dapat menyebabkan kerusakan yang luas dan menghancurkan tatanan sosial, ekonomi, dan politik negara.
Suburnya korupsi di negeri ini juga disebabkan oleh sistem sanksi yang tidak tegas. Hukuman bagi koruptor juga sangat ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Dengan uang yang mereka milili, mereka bisa membeli fasilitas nyaman di penjara. Bahkan Presiden malah memberi maaf pada koruptor jika mengembalikan uang yang dikorupsi.
Penyebab lain suburnya korupsi adalah sistem pendidikan sekuler kapitalisme yang menghasilkan pejabat yang tidak amanah. Para pejabat seolah tidak takut melanggar syariat, justru memanfaatkan peluang untuk melakukan korupsi sebanyak-banyaknya selagi masih berkuasa.
Sistem sekuler demokrasi kapitalistik dapat diibaratkan sebagai tuan rumah dari “Liga Korupsi”, di mana praktik korupsi menjadi permainan yang terus berlangsung. Dengan demikian, sistem ini dapat dianggap sebagai penyebab utama maraknya korupsi di berbagai sektor.
Islam Tuntas Berantas Korupsi
Dalam Islam, kepemimpinan yang berdasarkan akidah dan syariat dapat menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera. Dengan diterapkannya syariat Islam secara keseluruhan, kehidupan masyarakat dapat berjalan harmonis dan terarah. Praktik amar makruf nahi munkar juga dapat mencegah terjadinya kemungkaran dan mendorong masyarakat untuk melakukan kebaikan.
Islam memiliki semua aturan yang sempurna, yang jika diterapkan secara menyeluruh dapat meminimalisir terjadinya kasus pelanggaran seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan. Selain itu, Islam juga menekankan pentingnya berbuat adil, jujur dan bertanggung jawab dalam pemerintahan dan masyarakat.
Proses pemilihan pemimpin dalam sistem Khilafah dilakukan secara jujur sesuai kualitas calon pemimpin, bukan dengan politik uang. Politik uang merupakan keharaman, sehingga tidak memerlukan dana besar untuk pemilu. Pengangkatan pejabat di lantik oleh khalifah, parpol hanya bertugas memuhasabah.
Khilafah akan merekrut pegawai dan pejabat yan memenuhi persyaratan, yaitu bertakwa dan mempunyai kapabilitas. Hanya orang yang bersih dan berkemampuan yang dapat diangkat menjadi pejabat.
Dalam Islam, korupsi dianggap sebagai tindakan haram dan bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan. Menggelapkan harta yang dipercayakan kepada seseorang merupakan pelanggaran terhadap prinsip amanah dan keadilan. Islam secara tegas melarang tindakan khianat dan korupsi, Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْن٢
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (TPS Al Anfal : 27)
Dalam sistem hukum Islam, koruptor dapat dikenai sanksi takzir yang ditentukan oleh hakim berdasarkan tingkat kejahatan yang dilakukan. Sanksi takzir dapat berupa nasihat, teguran, penjara, denda, pengumuman publik, hukuman cambuk, atau bahkan hukuman mati. Hakim memiliki fleksibilitas untuk menentukan jenis dan tingkat sanksi yang sesuai dengan kasus korupsi yang terjadi.
Sistem Islam sangat memperhatikan kesejahteraan pegawai dan pejabat. Gaji yang diberikan pun sangat memenuhi standar hidup. Sebelum dan sesudah menjabat, kekayaan pejabat akan diaudit. Hukum dan sanksi yang tegas akan diberikan jika pejabat terbukti menyalahi aturan.
Dengan penerapan Islam secara kafah akan mampu mewujudkan Indonesia bebas dari korupsi. Di bawah naungan Khilafah Islamiyah akan membentuk individu dan masyarakat yang amanah, zuhud tidak silau dengan harta, merasa cukup dengan pemberian Allah (kanaah), tidak serakah mengambil harta yang bukan haknya. [WE/IK].
Views: 18


Comment here