Oleh: Oom Rohmawati (Ibu Rumah Tangga dan Member AMK)
Wacana-edukasi.com — Mengatasi permasalahan pendidikan di saat pandemi yang sudah berlangsung hampir sembilan bulan nyatanya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Segala upaya telah dilakukan untuk mengatasi berbagai kesulitan yang saat ini tengah dihadapi baik siswa, guru, dan orangtua.
Pemerintah Kabupaten Bandung, Dadang Naser, mengungkapkan bahwa dengan mendirikan akademi komunitas yang dikelola oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) secara langsung akan mampu meningkatkan Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Ia meyakini bahwa keberadaan komunitas ini akan dapat memberikan peluang kepada para awak media untuk mendukung aspek pendidikan. Ia pun menilai ada beberapa wartawan yang berkompeten. Maka dengan adanya akademi komunitas ini diharapkan PGRI bisa menghargai profesionalitas mereka. Caranya bisa dengan memberikan sertifikat honoris S1. supaya dapat mempercepat proses untuk mendapatkan pendidikan formal.
Bupati berharap renovasi gedung PGRI dapat memotivasi para anggotanya untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Kabupaten Bandung. Terlebih di saat pandemi, tugas guru tidak hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai pembelajar (Jurnalis Soreang, 29 November 2020).
Peran Guru di saat pandemi memang dituntut lebih, agar mampu memahamkan pada siswa dengan cara yang berbeda dan ini tentu tidaklah mudah. Hal ini pun berlaku untuk guru honorer walau dari segi upah yang diterima sangat berbeda dengan guru PNS.
Para guru adalah orang yang paling berjasa. Mengenalkan generasi pada dunia tulis baca dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan ilmu tersebut generasi bisa membuka lebih luas jendela pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekal mengarungi kehidupan. Namun, malangnya guru honorer ini seakan tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah, bahkan pemerintah sepakat untuk menghapus tenaga kerja honorer dan yang diakui hanya Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Guru honorer seolah menjadi warga kelas dua, nasibnya masih saja terkatung-katung dengan kebijakan yang dibuat penguasa.
Begitulah fakta dalam sistem kapitalisme dan sekularisme yang menilai sesuatu dengan asas manfaat dan juga pemisahan aturan agama dari kehidupan. Buah dari sistem ini adalah munculnya ketidakadilan. Bisa dibayangkan guru honorer dan guru PNS ataupun PPPK yang memiliki profesi yang sama sebagai guru, aktivitas mendidiknya pun sama, tetapi tidak mendapatkan hak dan penghasilan yang sama pula.
Apalagi di masa pandemi covid-19. Banyak guru-guru desa yang harus berkeliling ke rumah para siswanya yang tidak memiliki ponsel sebagai sarana PJJ. Walhasil, semakin banyak pula energi dan biaya yang harus dikeluarkan oleh para guru.
Sistem kapitalisme, hanya akan membuat para guru honorer menderita yang berkepanjangan. Padahal guru adalah tulang punggung pendidikan nasional yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan. Peran guru dalam mendidik menentukan generasi yang akan datang. Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem pendidikan kapitalis sekuler dalam memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.
Sungguh, kondisi ini berbeda ketika sistem pemerintahan Islam yang diterapkan. Dimana dalam Islam aspek kehidupan pendidikan mendapatkan perhatian sedemikian besar. Kenapa? Karena dalam sistem ini pendidikan merupakan sebagai salah satu pilar peradaban. Islam menempatkan ilmu, orang yang berilmu dan mempelajari ilmu, ada dalam posisi mulia, sebagaimana firman-Nya:
“Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat ….” (QS. Al-Mujadilah 58: 11)
Dikisahkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqoh ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; bahwasanya ada tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak, dan Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar = 4,25 gram emas; 15 dinar = 63.75 gram emas; bila saat ini harga 1 gram emas Rp800 ribu saja, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp51.000.000).
Dalam pemerintahan Islam, para guru akan mendapat jaminan kesejahteraan. Hal ini dimaksudkan agar para guru bisa memberikan perhatian yang penuh dalam mendidik anak muridnya, tanpa dipusingkan lagi untuk mencari tambahan pendapatan, seperti banyak dialami guru honorer hari ini.
Bahkan dalam pemerintahan Islam sarana dan prasarana bagi para guru ini akan difasilitasi. Hal ini dijelaskan oleh Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam bahwa seorang kepala negara (Khalifah) berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan.
Jika kita membuka kembali sejarah kepemimpinan Islam, maka kita akan melihat perhatian para pemimpin terhadap pendidikan rakyatnya yang sangat besar. Begitu pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya.
Itulah gambaran kesejahteraan guru dalam naungan sistem Islam sangat dijamin. Selain mereka mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan berbagai fasilitas sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Hal ini tentu akan menjadikan para guru bisa fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik.
Oleh karena itu, memperjuangkan sistem kepemimpinan Islam merupakan bentuk ikhtiar untuk memecahkan berbagai problematika kehidupan termasuk pendidikan dan guru. Kewajiban tersebut bukan hanya dibebankan pada aktivis dakwah Islam semata, tetapi seluruh komunitas apa pun termasuk guru, karena sistem inilah satu-satunya yang mampu memberi solusi. Sistem inilah yang kita kenal dengan Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahua’lam bishshawwab
Views: 110
Comment here