Cerpen

Hadiah Untukmu

blank
Bagikan di media sosialmu

By Gayathree

Matahari tepat berada di atas kepala, tanda dzuhur pun segera tiba. Sayup-sayup adzan berkumandang mengiringi jenazah Emak masuk ke liang lahad. Satu persatu padung menutupi tubuh Emak yang terbalut kafan. Aku tak ingin melewatkannya meski hanya sedetik. Urukan tanah merah pun menutup semuanya.

Wacana-edukasi.com — Bulan Agustus tahun 2021 menjadi bulan yang tidak dapat aku lupakan. Berbagai peristiwa besar datang silih berganti tanpa sedikitpun memberi jeda. Jika harus mengekspresikan suasana hati saat itu, aku tak tahu bagaimana caranya. Rasa di dalam dada bercampur tak karuan. Semua peristiwa itu akan terukir dengan tinta emas dan akan menjadi torehan sejarah dalam episode kehidupanku. Peristiwa besar itu akan menjadi kenangan tak terlupakan.

Peristiwa pertama, launching buku solo perdana dengan judul Menalar Fenomena Zaman (MeFoZa). Membuat karya dalam bentuk buku merupakan salah satu impian terbesarku. Rasanya sangat bahagia dan terharu.

Peristiwa kedua, tanggal 17 Agustus 2021, Media Wakasi yang kubangun menemui miladnya yang pertama. Tak terasa, setahun sudah aku membersamai para penulis Nusantara dalam menorehkan segala rasa gundah gulana yang kian menerpa jiwa. Kebahagiaan tak bisa terlukiskan dengan kata-kata. Sejak pagi hari sampai malam tiba, ucapan dan doa terindah terus mengalun dalam balutan puisi, video maupun ucapan selamat dari para sahabat Wakasi. Tidak lupa harapan-harapan dari sahabat Wakasi juga terus mengiringi hari milad wakasi. Milad Wakasi ini bertepatan dengan hari kemerdekaan RI yang ke-76. Sungguh hari yang special.

Peristiwa ketiga, masih pada hari yang sama sekitar pukul 17.00 WIB, kakak dari kampung memberi kabar bahwa Ibu sakit dan harus segera dibawa ke dokter. Sakit ibu kali ini sedikit berbeda dengan sebelumnya. Selain dari hipertensi, gula darah, dan maag, Emak juga merasakan sesak napas. Sementara itu, di klinik terdekat persediaan oksigen habis.

“Dek, ini ibu bagaimana? Apakah harus di bawa ke rumah sakit besar? Soalnya Emak nggak bisa bernapas, sesak katanya,” tanya kakakku di sebrang telpon.

“Ya sudah, bawa saja,” jawabku dengan rasa khawatir.

Tak lama kemudian, sepupu dari jalur ayah menelponku lagi.

“Ateu, Ua udah pulang ke rumah. Tapi masih sesak, jadi mau dibawa ke rumah sakit terdekat”

“Tolong segera ya bawa Emak, kasian.” Pintaku

Aku semakin panik. Apa yang harus kulakukan? Sementara di kampung, sangat susah untuk pergi ke mana-mana. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri dan berdoa, ‘Ya Allah, selamatkan ibuku!’

Malam semakin larut, aku pun segera menghubungi sepupu dari jalur ibu. Dua sepupu segera kuhubungi untuk memastikan keadaan Emak. Alhamdulilah, mereka bisa dihubungi.

Selesai Isya, Kakak menelpon lagi dan bilang bahwa ibu sudah pulang lagi dari rumah sakit.
“Dek, Ibu sudah di rumah. Dokter bilang, sudah tidak bisa masuk infus,” ucapnya.

Akhirnya, aku segera melakukan video call untuk memastikan keadaan Emak. Kulihat di seberang sana, Emak sedang minum dan makan. Aku merasa lega. Aku hubungkan video call itu dengan kakakku yang sedang berada di Lombok. Kami berempat saling menyapa. Terlihat Ibu sedang disuapi oleh kakak. Kami, anak-anaknya, tanpa henti terus memberikan support.

“Emak, sehat-sehat yaaaa…” Kucoba sekuat tenaga menahan rasa sedih yang kian menerpa. Aku tak mau Emak melihatku menangis.

“Nak maafkan Ibu ya,” lisannya berucap lemah, matanya sudah tak menatap kami lagi.

Kulihat, sesaknya sudah berkurang. Aku pun memberikan waktu untuk Emak istirahat agar segera tidur dan besok terbangun dalam keadaan bugar. Kututup video call malam itu, sekitar pukul 21.00 WIB.

Pukul 00.30 WIB, aku terbangun. Kulihat ponselku menyala. Ketika dicek ternyata banyak telepon tak terjawab dan pesan WhatsApp yang masuk. Kubaca semua pesan satu persatu. Semuanya menyuruhku untuk pulang malam itu juga, aku sudah menduga pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Emak.

Kudapati pesan dari kakak yang di Lombok. Pesannya singkat dan to the point. “Emak sudah tidak ada, sabar ya.”

Saking terkejut dan tidak percaya dengan apa yang kubaca, aku bingung harus bereaksi seperti apa. Ponsel dalam genggamanku kubanting. Aku bergeming. Ingin menjerit namun suara serasa tercekat. Ingin menangis tapi masih dalam pusaran ketidakpercayaan.

“Gak mungkin Emak meninggalkanku secepat ini mereka semua pasti bohong,” ucapku berulang kali seperti mantra. Perlahan, air mataku mengalir. Kebenaran mulai merobohkan pendiriran kuatku. Ketika tersadar, aku segera mencari mobil rentalan. Semua nomor telah aku hubungi, hasilnya nihil. Aku pun menyusuri gelapnya malam untuk kembali mencari mobil rentalan. Namun, tetap saja tidak ada hasilnya.

Waktu terus bergulir menunjukkan pukul 03.30 dini hari. Aku hanya diam dalam kebingungan. Kemudian aku ambil wudu dan melaksanakan sholat sambil berdoa dan berdoa, apa yang harus kulakukan. Akhirnya, kuputuskan untuk menaiki transportasi umum saja. Teringat ada bus dengan keberangkatan pukul 04.00 WIB.

Lima belas menit sebelum keberangkatan, aku dan keluarga masih di rumah. Dengan setengah berlari kami berjalan menuju terminal diiringi rintik hujan. Beruntung rumah kami tak jauh dari terminal. Sepanjang jalan kami terus berdzikir dan bersholawat, meminta kepada Allah, semoga disediakan mobil di terminal. Terengah-engah kami tiba di terminal. Baru saja tiba, mobil menuju Bandung sudah keluar. Ucap syukur pada-Nya terus mengalir, sebab karena Maha Baiknya Allah, kami bisa berangkat sebelum subuh.

Mobil melaju dengan lancar tanpa hambatan. Pandanganku menerawang jauh, masih tak percaya dengan kepergian Emak. Air mata pun tak henti mengalir dengan derasnya. Kutahan suara tangis agar tak terdengar oleh penumpang lain. Kepedihan hati yang tak bisa ditahan begitu menyayat. Perih.

Beragam rasa, beragam tanya memenuhi relung kalbu. Pun pada-Nya.

“Mengapa sekarang?”

“Mengapa?”

Batin dan air mata saling bersusulan. Tanya dan tangis menyatu dalam dada. Sesak.

Manusiawi jika kita merasakan kesedihan. Yang tidak boleh adalah jika sedih melebihi kapasitasnya yang akan menjadi kemarahan dan berujung marah akan keadaan.

Tubuhku berguncang karena menahan kepedihan yang begitu dalam. Emak yang selama ini membersamaiku puluhan tahun tapi pergi dengan tidak dalam dekapanku. Ingin sekali kau berteriak dan bertanya.

“Mengapa sekarang kau ambil dia Tuhan?”

Namun, di balik itu nalar ini masih dalam kendali. Teringat sebuah ayat dalam Al-Qur’an bahwa Sedetik saja kematian itu tak bisa maju atau mundur, akan tetapi ajal akan datang tepat pada waktunya

Kututup wajah dengan kedua tangan. Kini semua hanya memori. Bayangan Emak melintas. Wajah bahagia Emak ketika kami mudik tiga bulan sebelumnya masih teringat jelas. Kini hanya jasadnya yang akan menyambutku. Hatiku kian teriris.

***

Waktu terasa berjalan begitu lama. Saudara di kampung berkali-kali bertanya.

“Sudah sampai mana?”

“Sebentar lagi” jawabku

Telpon berdering lagi. Pertanyaan yang sama, yang membuatku jengkel.

“Pokonya tunggu saja, saya ingin melihat Emak untuk terakhir kali. Tolong jangan dulu dikebumikan!” Perintahku dengan nada sedikit marah. Kututup telpon tanpa menunggu jawaban.

Sekitar 15 menit lagi sebelum sampai di kampung, tiba-tiba telpon berdering lagi entah yang ke berapa kali. Aku enggan mengangkatnya. Namun, telepon terus berdering lama.

Akhirnya, kuputuskan untuk mengangkat telepon. Bukan nama saudara-saudara di kampung, yang kulihat adalah nama yang belum lama kukenal. Sahabat baru dari Cirebon. Kuangkat perlahan.

“Ya, ada apa?” Dengan nada menahan kesedihan.

“Kita lolos bareng,” ungkap dia dengan nada bahagia.

“Maaf, aku sedang berduka. Emak berpulang malam tadi.”

Kututup telpon, kulihat suami yang berada di sampingku. Berita yang ditunggu-tunggu beberapa bulan lamanya seolah datang menghiburku. Berita bahagia yang dinantikan oleh aku dan Emak. Tetapi hatiku tetap kosong. Tidak tahu apakah aku harus bahagia mendengarnya. Sementara hatiku sedsng tercabik-cabik perih. Ingatanku kembali pada Emak. Hampir setiap minggu, selalu bertanya.

“Sudah adakah pengumuman, jika lolos Alhamdulilah. Jika belum lolos, bersabarlah!”

Kalimat itu selalu terngiang. Makin pedih yang kurasakan.

“Emaaaaak, teriaku. Aku lolos.” Tangisanku makin pecah.

“Pah. Aku lolos! Emaaaakkkkkk, aku lolos SILN!” teriakku di mobil.

Semua bayangan melintas pada saat mengikuti proses seleksi. Teringat ketika meminta doa kepada Emak setiap akan mengikuti tes.

“Emak, besok aku mau tes. Doakan aku ya.” Kalimat itu selalu aku ucapkan padanya.

“Iya, Emak doakan semoga lolos ya”

Doa Emak selalu menyertai dan menguatkanku. Tetapi, mengapa ketika pengumuman terakhir beliau sudah tidak ada. Mengapa?

“Mengapa Emak tidak menunggu dulu kabar bahagia ini. Bukankah Emak dari kemarin selalu bertanya kapan pengumuman SILN?” batinku berteriak.

“Emaaaaak, ini hadiah terbesar untukmu tapi mengapa engkau pergi?”

Aku memeluk suamiku dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. Tak kuhiraukan lagi para penumpang yang memandangiku dengan iba.

“Emaaakkk”

“Ya Allah, mengapa hari ini pengumumannya? Kenapa tidak kemarin?” tanyaku entah pada siapa. Rasa kalut semakin mengisi relung hati.

Pertanyaan yang sama terus berulang. Mengapa harus hari ini? Mengapa semuanya harus terjadi disaat yang bersamaan? Sampai akhirnya suami menenangkanku dalam pelukannya.

“Amah, ini takdir. Ingat ada Qodho Allah dalam kehidupan kita”

“Iya, tapi mengapa tidak kemarin pengumumannya?”

“Sabar ya. Ini adalah takdir-Nya. Ingat nanti kalo sudah sampai jangan lupa, tidak boleh menangis berlebihan,” pepatah suamiku.

Aku hanya diam. Kebahagiaan di tengah kesedihan. Sungguh hal yang tak pernah kubayangkan akan terjadi.

Mobil berhenti tepat di tempat Emak biasa duduk menunggu kami datang. Tetangga dan saudara sudah berkumpul. Aku perlahan berjalan namun rasanya kakiku seolah tak menginjak bumi. Emak yang selalu menyambutku dengan binar matanya, kini jasadnya terbujur kaku di rumah duka.

Dengan bantuan saudara yang membopong tubuhku, aku sampai di depan rumah. Jasad yang tertutup kain kafan sudah ada di atas keranda, siap untuk dikebumikan. Aku duduk di sampingnya, aku berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata. Demi untuk mencium wajah Emak untuk terakhir kalinya. Kugigit gigiku sekuat tenaga, kutahan rasa sedih yang mulai memenuhi rongga dada dan kukecup keningnya berkali-kali dan berkata.

“Emak, maafkan aku yang belum bisa maksimal berbakti padamu. Hidup di dunia hanya sementara. Semoga kita bisa bertemu dan berkumpul lagi dan semoga Allah memberikanmu surga,” bisikku ditelinganya.

“Emak, aku juga lolos seleksi SILN” batinku mencoba berbicara padanya. Kubayangkan Emak ada dihadapanku, dan kubayangkan juga Emak begitu bahagianya. Akupun tersenyum dalam kepahitan rasa. Kulihat kembali tubuh kakunya. Kuusap airmata yang terus mengalir tak tertahankan. Kumencoba bangkit dan menganggukan kepala kepada para pembawa jenazah.

Aku ingin sekali memeluknya dengan waktu yang lama, tapi tidak baik menahan jenazah tidak segera dikuburkan.

Perlahan tubuh kaku itu di angkat. Emak telah pergi meninggalkanku. Aku hanya menahan kepedihan hati yang kian menelisik dan menyayat.

Salah seorang saudara berbisik, “Jika tak kuat, jangan ikut ke pemakaman.”

“Aku mau ikut,” jawabku.

Aku harus kuat. Aku ingin mengantarkan jasad Emak sampai liang lahat. Ini adalah kesempatan terakhir aku melihatnya di dunia.

Matahari berada tepat di atas kepala, tanda Dzuhur pun segera tiba. Sayup-sayup adzan berkumandang mengiringi jenazah Emak masuk ke liang lahat.

Satu persatu padung menutupi tubuh Emak yang terbalut kafan. Aku tak ingin melewatkannya meski hanya sedetik. Urugan tanah merah pun menutup semuanya.

Emak, hari ini adalah hari kita berpisah di dunia. Engkau akan menghadap yang Maha Menghidupkan dan Mahamematikan. Semoga Allah memberikan Rahmat dan ampunan. Terima kasih, Emak. Engkau telah mengandung dan melahirkankanku, serta merawatku dengan segenap kasih sayangmu. Berbahagialah Emak. Semoga kelak kita bisa menapaki surga-Nya.

Setelah ini mungkin giliranku. Kita takkan pernah tahu pasti kapan jatah usia di dunia. Maka dari itu, bersiaplah sebelum saat itu tiba. Saat dimana hanya amalan baik yang akan menolong kita dihadapan-Nya.

Catatan episode kehidupan dari anakmu, yang selalu merindukanmu.

Akhir September 2021.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 34

Comment here