Cerpen

Maling Qur’an

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anita Sutrisnawati, S.Pd

 

“Bu aku sudah khatam iqra,” ucap Andi lantang. Dari halaman rumah ia sudah berteriak mengabarkan kelulusannya pada sang emak.

Seorang anak lelaki berkulit kuning langsat berlari ke dalam rumah memberikan kabar gembira bahwa dirinya telah dinyatakan lulus pada tes Iqra sore ini bersama empat orang temannya. Di dalam rumah ia menjumpai sang ibu yang sedang meyetrika baju.

Mendengar kabar dari anaknya, sang ibu tersenyum bahagia. Beberapa bulir bening keluar dari manik matanya. Ia seperti tak percaya anaknya telah lulus belajar baca Al-Qur’an dan kini naik ke level berikutnya, yaitu level tadarus diusia yang masih muda.

Sebuah mushaf berwarna emas diambilnya dari atas lemari. Sampul mushaf itu sangat indah. Ukurannya tidak terlalu besar. Khat tulisan di dalamnya terukir apik berwarna warni sesuai dengan bacaannya. Sang ibu sudah mempersiapkan hadiah spesial untuk putranya ini jauh-jauh hari sebelumnya.

Mata sang anak berbinar-binar melihat ibunya menyerahkan mushaf berwarna emas tersebut. Ia menerima mushaf tersebut dengan gembira.

“Mak, aku mau ikut ke rumah Hendi ya?” Sang ibu menggangguk. Setelah meletakkan mushaf barunya di atas meja belajar, ia berlari halaman menemui Hendi, Galih, Andri, dan Anisa. Mereka berlima rencananya ingin mengantar Hendi pulang ke rumahnya untuk memberitahu kabar gembira kepada sang emak.

Mereka berlari kecil di pinggir jalan hingga sampai di kebun kelapa. Di kebun itu ada sebuah jalan setapak menuju sebuah sungai. Mereka berlima melaluinya dengan berlari semakin kencang. Saat memasuki kebun kelapa anak-anak kecil itu mulai disusupi rasa takut. Bunyi pelepah kelapa yang berayun-ayun ditiup angin menyebabkan nyali menciut.

“Hei tunggu! Aku jangan ditinggal.” Anisa berlari terengah-engah mengikuti empat temannya yang sudah ada di depan. Anak laki-laki yang ada di depannya memperlambat lajunya lalu membiarkan Anisa menyalip dirinya. Ia sengaja memilih posisi paling belakang. Naluri lelakinya ingin melindungi satu-satunya anak perempuan diantara mereka.

Setelah berlari setengah kilo mereka menemukan sebuah gubuk kecil di tengah kebun kelapa. Gubuk itu beratap genteng yang sudah berwarna hitam dan penuh dengan lumut daun. Diding gubuk terbuat dari ‘gedhek’ atau batang pohon bambu yang diiris tipis lalu dianyam rapat. Lantainya beralas tanah.

“Mak…Mak…Mak… Anakmu lulus.” Hendi berteriak dari luar. Tak ada jawaban dari dalam. Hendi masuk ke rumahnya, ternyata tak ada seorangpun di sana. Sang ibu nampaknya belum pulang. Hendi keluar dari rumahnya dengan pandangan hampa.

“Teman, emakku belum pulang. Aku tak bisa ikut kalian ke rumah Anisa.” Ia memandang keempat temannya dengan pandangan ‘nelangsa’.

“Ayuk kita langsung ke rumahku. Aku takut kalau kemalaman, di sini gelap dan serem.” Dengan polos Anisa mengucapkan permintaannya kepada ketiga temannya.

“Ya gak papa, kalian langsung ke rumah Anisa. Kita besok ketemu lagi di surau. Aku akan membawakan telur burung ‘gemek’ yang sudah direbus untuk kalian.”

Andi dan Andri saling berpandangan, ia sangat menyukai lezatnya telur burung yang mirip burung puyuh itu. Mereka berempat pun segera pulang, berlari menyusuri kebun kelapa kembali.

Andi menarik tangan Anisa agar ia tak ketinggalan. Menyusuri kebun kelapa yang luasnya setengah kilometer dihari menjelang Maghrib membuat bulu kuduk berdiri. Empat anak kecil tersebut lari tunggang langgang. 10 menit kemudian mereka sampai di jalan raya.

“Hos… Hos… Hos…” Mereka berhenti. Napasnya tersengal-sengal.

“Hendi kok berani ya, tinggal di tempat gelap seperti itu?” Suara Anisa terdengar putus-putus. Gadis kecil berkerudung biru muda itu tak habis pikir bagaimana cara temannya hidup ditengah kebun kelapa yang sepi, gelap, dan menakutkan.

“Kata orang-orang, Hendi dan emaknya bukan asli penduduk desa kita. Ia pendatang, dua tahun yang lalu Hendi dan emaknya melarikan diri dari bapaknya yang keras dan suka memukuli Hendi, lalu pak haji Rosyidin memberikan mereka tumpangan untuk tinggal di gubuknya yang ada di tengah kebun kelapa itu. Sehari-hari emak Hendi membantu pak haji Rosyidin mengurus kebun kelapanya.” Andi menceritakan apa yang ia dengar dari pembicaraan orang-orang kampung.

“Kasihan ya, kok bisa-bisanya Hendi punya bapak jahat? Kalau aku sudah besar nanti aku akan menjadi lelaki yang bertanggung jawab, yang tidak akan menyia-nyiakannya anak-anakku.” Suara Galih terdengar mewarnai percakapan mereka. Sepintas terdengar sok dewasa tapi natural. Ini adalah naluri lelaki yang mulai tumbuh dari dalam diri anak laki-laki.

“Ndri kamu kok diam saja?” Tanya Anisa kepada temannya yang tak bersuara. Yang ditanya hanya tersenyum kecut. Ia seperti menyembunyikan sesuatu.

“Ada apa Ndri? Kalau senyum kok begitu?” Ia melihat Andri nampak tidak ikhlas dengan senyum di wajahnya

“Aku lapar dan haus, kita sudah berlari-lari dengan jarak yang sangat jauh. Otakku tak bisa berfungsi kalau lapar.” Anak laki-lak yang memiliki tubuh paling gemuk itu meringis memegang perutnya.

“Yah…. Ayok mampir ke rumahku saja. Ibuku sudah menyiapkan nasi kuning untuk kita sebagai hadiah aku lulus iqra hari ini.” Ujar Galih.

“Asiyap,” ucap Andri dengan cepat sambil mengangkat tangan dan meletakkannya pada pelipis kanan. Urusan makan dia selalu nomer satu.

***

“Emak kemana?” Malam semakin larut. Ibu Hendi belum juga terlihat batang hidungnya. Tak biasanya sang ibu keluar hingga larut malam. Ditemani dengan lampu sebuah lampu neon, Hendi berdiam diri di rumah.

Ia membuka buku iqra yang ada di tas kecil berwarna biru. Tas pemberian Andi untuk membawa buku dan iqra saat mengaji. Ia berulangkali membaca rangkaian huruf Arab di dalam kitab tersebut. Ia ulang-ulang kembali hingga sangat fasih dan lancar mengucapkan setiap huruf hijaiyah.

Selain fasih suara Hendi sangat merdu. Mungkin jika dibimbing oleh qari’ internasional suara Hendi bisa seindah suara Muhammad Tharek Medley atau Muhammad Yusuf.

Hendi ingin sekali memiliki mushaf Al-Qur’an baru. Punya emaknya sudah sangat usang. Setiap ujungnya menggulung dan beberapa lembar sudah terlepas. Dia hari yang lalu ia mengungkapkan pada sang emak ia ingin sebuah mushaf baru yang ada terjemahannya. Selain membaca suka membaca Al Qur’an, ia ingin mengerti makna ayat-ayatnya.

“Mak, emak dimana?” Hendi mulai gusar saat hari semakin gelap. Suara burung hantu dan burung-burung malam lainnya mulai bersahutan. Jika tak terbiasa, siapapun akan ketakutan saat mendengar melodi orcestra alam di malam hari.

“Kruk…Kruk…” Perut Hendi berbunyi. Rasanya perih, terakhir masuk makanan siang tadi. Ia ingin keluar mencari emaknya tetapi tak berani melangkah. Emaknya selalu berpesan untuk tetap di rumah jika emak belum pulang.

Anak laki-laki kurus tersebut mengambil sebuah selendang kemudian melilitkan diperutnya. Tak lupa ia sisipkan tiga batu kecil di dekat lambungnya untuk menahan lapar.

“Emak kemana?” Rasa khawatir akan kondisi sang emak mulai menyusupi menerobos pertahanan hatinya. Pada malam yang gelap dan sepi ini kemana ia harus mencari emaknya. Lama berpikir akhirnya sang anak tertidur. Ia meringkuk menahan lapar di ranjang sederhana
***
Suara Riuh para wanita kampung memecah keheningan malam. Balai RW yang biasanya sepi mendadak ramai. Cacian, ocehan, dan cemoohan terlontar berkali-kali kepada seorang wanita yang duduk di kursi merah. Wajahnya memar dan lebam di beberapa bagian. Kelopak mata dan lingkaran sekitar mata kirinya membiru, nampak bekas tonjokan yang cukup keras. Kerudungnya tercabik-cabik hingga rambutnya keluar.

“Hai perempuan, kamu jangan kebanyakan alasan. Ngaku saja mau mencuri kotak amal!” Seorang wanita bertubuh tambun membentaknya. Matanya melotot seperti hendak kompak dari kelopaknya.

“Tidak Bu, saya hanya ingin mengambil Al Qur’an satu saja untuk anak saya. Saya tidak punya uang untuk membelinya.”

Rasa sesal yang datang terlambat tak mampu memberikan jalan keluar Suti saat kepergok memasukkan Al Qur’an dan terjemahnya milik masjid di dalam tasnya. Karena Suti bukan seorang pencuri profesional, mimik mukanya membuat yang melihat menjadi curiga. Apalagi diwarnai dengan aksi celingak-celinguk.

“Lagian kamu kok kebangetan sekali ya, maling Al-Qur’an. Padahal itu kitab suci lo, mukzijatnya nabi Muhammad Saw. Mbok ya beli, wong harganya tak seberapa. Gemes banget lihat orang mencuri.”

“Bu RT hajar saja biar dia mengaku!” Suara yang cukup provokatif terdengar dari beberapa wanita muda yang duduk di kursi belakang.

Bu RT yang gelap mata kembali menampar Suti yang duduk di kursi. Dua tamparan di pipi kanan dan kiri menyebabkan wajahnya semakin terasa perih.

“Dasar maling! Alasan saja, jangan berkedok tak punya Al-Qur’an!” Suara wanita berbaju hijau terdengar lantang.

“Kasih pelajaran saja Bu! Sekarang bisa jadi dia hanya mengambil Al-Qur’an. Besok-besok, kalau tidak diberi pelajaran dia bisa mengambil yang lainnya seperti kotak amal, mukena, atau sound sistem.” Seorang wanita muda berbaju merah berkacak pinggang sambil menunjuk muka Suti.

“Maafkan saya ibu-ibu, saya hanya ingin mengambil Al-Qur’an untuk anak saya,” ucap Suti terbata-bata. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Pukulan dan tamparan brutal ibu-ibu desa telah menjadikannya babak belur. Entah apa yang merasuki ibu-ibu desa itu hingga hilang rasa perikemanusiaan mereka.

“Tunggu! Hentikan ibu-ibu, jangan main hakim sendiri!” Pak Kadus H. Shidiq datang bersama dua orang Hansip.

“Minggir Bu! Permisi.” Ia menyela ibu-ibu yang mengerumuni Suti.

Pak Kasun membuka matanya lebar saat mengetahui bagaimana kondisi Suti. Perempuan itu menjadi sasaran amukan masa hingga tak jelas bentuk mukanya.

“Ya Allah ibu-ibu, kenapa bisa sampai seperti ini? Para koruptor saja yang nyuri uang milyaran gak babak belur seperti ini. Ini cuma persoalan nyuri Qur’an yang harganya gak sampai seratus ribu dihakimi sendiri sampai babak belur. Mbok di selidiki dulu!” Bu RT dan beberapa ibu-ibu terdiam menundukkan kepala.

“Pak haji, itu alasan saja. Belakangan ini masjid-masjid sering kehilangan kotak amal. Bisa jadi nyuri Qur’an itu cuma modusnya dia saja. Iya nggak bu-ibu?” Wanita berbaju merah dan seksi mengungkapkan pendapatnya dengan nada provokatif.

“Bu Yayan asas praduga tak bersalah tetap harus didahulukan!” Pak Haji Shidiq menegurnya.

“Asas praduga tak bersalah bagaimana pak? Wong saya memergokinya sendiri dia memasukkan satu Al-Qur’an di tasnya.” Sahut wanita tua yang berbaju hijau.

Mendengar pembelaan ibu-ibu pada tindakaneteka pak H. Shidiq mengalami sedikit kesulitan. Ia tak bisa membela Suti yang tertangkap basah sedang mengambil Al Qur’an. Namun hati nuraninya tak terima dengan perlakuan ibu-ibu kepada seorang yang hanya ingin memiliki Al Qur’an.

Toh Al Qur’an ini hasil sumbangan dari kaum muslim yang dermawan yang setiap tahun selalu ada saja yang menyumbang. Hilang satu besok datang lagi 100 eksemplar. Tak masalah jika ada yang ingin memiliki satu atau dua asalkan untuk dibaca. Tujuan mereka yang menyumbangkan Al Qur’an tetap bisa terlaksana.

“Ibu-ibu, tapi ini keterlaluan. Harusnya ibu serahkan saja kepada pihak berwajib!”

“Alah pak kelamaan, paling juga hanya mendapatkan pembinaan. Itu tidak akan bikin dia kapok. Besoknya lagi dia bisa mencuri lagi. Bahkan bisa jadi yang diambil lebih besar.” Suara seorang wanita yang duduk di belakang menyampaikan pendapatnya sambil berkacak pinggang.

“Ibu manusia apa bukan sih?” Suara haji Sidiq mulai meninggi.

“Kalau misalnya dia benar-benar hanya ingin mengambil Al Qur’an saja untuk anaknya bagaimana? Apa ibu tega menghukum seseorang hanya karena ingin memiliki Al-Qur’an untuk dibaca anaknya?” Suasana mulai hening.

“Apa ibu-ibu semuanya ini takut dosa jika apa yang kalian tuduhkan itu salah?” Pak haji Shidiq mengambil napas dalam-dalam.

“Memang ibu-ibu sudah tahu namanya ibu ini siapa? Nama anaknya yang ingin memiliki Al-Qur’an baru itu siapa? Ngajinya dimana? Sekolahnya dimana, sehingga bisa dipastikan kebenaran alasannya.” Bu Yayan dan Bu Pon yang paling banyak bicara menundukkan kepalanya.

“Nah ini dia kekeliruan besar ibu-ibu semua. Harusnya ditabayuni dulu, dicari kebenarannya dulu baru diputuskan perkaranya. Jangan main keroyok begitu!”

Pak H. Shidiq mulai lega menemukan titik terang permasalahan. Ia tak ingin salah menghukum seseorang. Baginya salah dalam memaafkan lebih baik dari pada salah dalam menghukumi.

“Namanya ibu siapa?” Tanya Pak Shidiq kepada Suti.

“Suti Pak.” Mata Suti mulai berbinar. Ia merasa pertolongan Allah akan segera datang.

“Nama suami bu Suti siapa?” Suti menundukkan kepala.

“Saya ndak punya suami pak.” Pak Shiddiq membelalakkan mata. Demikian juga ibu-ibu yang hadir di balai RW.

“Saya tinggal di kebun kelapa pak haji Rosyidin dusun sebelah.” Saat mendengar nama haji Rosyidin, pak haji Shidiq mengangkat tangan kemudian memukulkan ke dahinya. Haji Rosyidin adalah adik ipar haji Shidiq sendiri.

Ia mengambil ponselnya, kemudian menekan sebuah ikon telepon dan menulis sebuah nama.

[Assalamualaikum]
[Waalaikumsalam, Ji apa kamu punya pegawai namanya Suti?]
[Iya kak, dia penjaga kebun kelapa]
“Astaghfirullahaladzim. Perempuan itu benar,” batin Pak Haji.
[Ji, ini ibu-ibu menangkap Suti mencuri Al Qur’an. Dia babak belur dihajar ibu-ibu.]
[Astaghfirullah, saya akan menganti Al-Qur’annya kak. Tolong antar dia ke pondok yang ada di kebun. Saya masih di luar kota. Ya Allah saya sibuk sekali sampai gak perhatian sama kebutuhan pekerjaan saya. Padahal cuma Al-Qur’an]
[Baik, nanti saya antar dia ke kebun]
[Terimakasih kak]
[Ya, sama-sama. Assalamualaikum]

“Sudah dengar semua ibu-ibu?”

Pak Haji Sidiq mematikan teleponnya. Ia memandangi ibu-ibu yang ada di balai RW satu persatu. Mereka telah mendengar percakapan keduanya dengan jelas, karena pak Haji Shidiq menekan tombol loudspeker selama menelpon adik iparnya.

“Sekarang siapa yang memukuli bu Suti? Cung!” Pak Imam, lelaki bersegam hijau membuka suara.

Ibu-ibu mulai saling tuding, saling menyalahkan. Tak ada satu pun yang berani berkata jujur.

“Tuh khan, gak ada yang bertanggung jawab. Makanya jangan main hakim sendiri.”

Bu RT yang ikut menampar Suti memberanikan diri mengakui perbuatannya. Kredibilitasnya sebagai bu RT dipertahurkan.

“Saya ikut memukulinya. Mohon maaf saya khilaf dan terprovokasi dengan ucapan Bu Yayan.” Bu Yayan dan bu Pon saling sikut, mereka berdua terpaksa mengakui perbuatannya. Berikutnya ibu-ibu yang lain menyusul mengakui perbuatannya juga.

Pukul 9 malam barulah urusan selesai. Suti pulang diantar oleh pak Haji Shidiq dan dua orang petugas Hansip mengendarai mobil desa. Saat melewati kebun kelapa yang gelap, pak Shidiq menggelengkan kepala. Kedua hansip yang menyertainya mengelus dada. Seorang wanita dan anaknya tinggal di tengah kebun kelapa gelap tanpa tetangga.

Dari kejauhan nampak cahaya lampu neon yang cukup terang. Suti sangat gembira melihat rumahnya. Didepan gubuk bambu mobil desa behenti.

“Assalamualaikum.” Suti masuk ke rumahnya diikuti pak RT dan kedua petugas. Suti mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Tepatnya duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari bambu. Mereka bertiga menahan napas dan saling pandang melihat kondisi rumah Suti.

Suti masuk ke kamar. Ia melihat Hendi meringkuk di pojok ranjang. Perutnya dibalut dengan kain panjang dan beberapa batu sebagai pengganjal perut untuk menahan lapar.

Suti mengelus rambut anaknya. Air matanya menetes, mengingat perjuangannya untuk mendapatkan sebuah mushaf Al-Qur’an yang baru.

“Hendi, bangun nak.” Perlahan Hendi mengucek matanya.

“Mak, muka emak kenapa?” Ia sangat terkejut melihat buka ibunya yang bengkak dan lembam. Suti menatap anaknya dalam-dalam kemudian mengambil napas panjang.

“Di depan ada tamu, kau bisa tanya kepada mereka. Mereka juga akan memberimu hadiah Al-Qur’an baru yang kamu inginkan.”

Meski di kepalanya berkecamuk berbagai macam pertanyaan, Hendi mematuhi ibunya. Alangkah terkejut saat Hendi melihat dua tamu sang ibu berseragam Hansip.

“Assalamualaikum nak,” sapa pak haji Shidiq.

“Waalaikumsalam,” jawab Hendi. Ia menyalami ketiga lelaki yang duduk di kursi bambu.

Pak haji Shidiq bertanya kepada Hendi tentang keinginannya memiliki Al Qur’an baru. Dengan rasa tanpa dosa Hendi menceritakan bahwa dirinya baru saja lulus ujian iqra dan sebentar lagi ia masuk level tadarus. Ia juga menyampaikan sangat suka membaca Al Qur’an dan ingin mendapatkan hadiah mushaf yang ada terjemahannya agar bisa mengerti makna ayat yang ia baca.

Dada haji Shidiq terasa sangat sesak mendengar penuturan polos dari anak laki-laki berusia 9 tahun itu. Miris sekali, mereka telah menghakimi seorang ibu yang mengambil mushaf untuk anaknya yang ingin belajar membaca Al Qur’an. Air mata yang ditahan sejak awal Hendi bercerita tak mampu lagi ditahan saat melihat senyum bahagia anak laki-laki tersebut menerima mushaf baru.

Kedua hansip yang ada di sebelahnya juga meneteskan air mata. Mahal sekali rasa kemanusiaan hari ini.

“Nak coba di baca dulu!”

Dengan sigap dan semangat Hendi melantunkan surat al-mukminun. Suaranya melengking tinggi tapi terdengar empuk di telinga. Bacaannya fasih menggentarkan jiwa.

Air mata itu pun tak terbendung. Pak haji Shidiq memeluk Hendi, kemudian mencium keningnya. Remuk rasa hati melihat generasi emas di depannya hampir saja kehilangan kecemerlangan karena keegoisan dan paham individualisme yang hampir telah mengikis nurani manusia.

Sekian.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here