Oleh: Yulweri Vovi Safitria (Freelance Writer)
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Setelah meluncurkan Program MBG, kini pemerintah meluncurkan Program Cek Kesehatan Gratis (CKG). Program ini sudah berjalan empat hari sejak diluncurkan pada Senin lalu. Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono mengatakan, sudah 65 ribu warga yang memanfaatkan CKG (detiknews.com, 13-2-2025).
Tampaknya istilah gratis menjadi ciri khas program pemerintahan Prabowo Subianto. Pemerintah seolah paham apa yang dibutuhkan masyarakat. Namun sayangnya, program gratis (MBG) menghadapi beragam masalah setelah satu bulan berjalan. Lantas, akankah CKG bernasib sama dengan MBG?
Program Gratis
Berkaca dari program MBG yang mengalami masalah, mulai dari persoalan menu, keracunan, hingga mundurnya beberapa vendor MBG, maka sepatutnya persoalan tersebut diselesaikan terlebih dahulu sebelum meluncurkan program baru. Apalagi alokasi dana untuk CKG mencapai Rp4,7 triliun dan diambil dari APBN. Bukan hanya itu, program ini juga melibatkan 10.000 puskesmas dan 20.000 klinik swasta. Jumlah yang sangat fantastis.
Bagi sebagian masyarakat, Program CKG tentunya sebuah kabar gembira di tengah mahalnya biaya kesehatan. Embel-embel gratis memang mampu menghipnotis dan melenakan. Akan tetapi, apabila dicermati lebih mendalam, CKG tidak menyentuh akar persoalan sektor kesehatan.
Masyarakat perlu menyadari, timbulnya persoalan pada sektor kesehatan adalah akibat tidak meratanya akses terhadap layanan kesehatan. Hal ini disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi, kondisi geografis, dan keterbatasan tenaga medis.
Sebagai contoh tenaga medis. Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono menyebutkan, Indonesia masih kekurangan 120 ribu dokter umum sesuai rasio ideal yang diharapkan. WHO sebagai acuan negara-negara di dunia menetapkan bahwa satu dokter untuk 1.000 penduduk (antaranews, 17-9-2024).
Jika dihitung rata-rata dengan 270 juta jiwa penduduk Indonesia, berarti negeri ini butuh sekitar 150 ribu dokter. Sementara pada pertengahan 2024, data BPS menyebutkan jumlah penduduk Indonesia mencapai 281 juta jiwa. Ini artinya, tenaga dokter yang dimiliki Indonesia sangat jauh dari yang ditetapkan WHO.
Bukan hanya itu, sebaran dokter juga tidak merata di seluruh Indonesia. Data dari BPS pada 2022 menyebutkan, 70% dokter terpusat di pulau Jawa, sedangkan 30% sisanya berada di luar pulau Jawa. Bahkan, mantan Presiden Jokowi menyebutkan, 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Selain dari dua persoalan di atas, persoalan ekonomi merupakan faktor utama tidak meratanya pelayanan kesehatan. Masyarakat yang tinggal di perkotaan, dekat dengan layanan kesehatan tidak serta merta mampu merasakan fasilitas kesehatan yang memadai.
Layanan kesehatan adalah barang mahal yang hanya bisa dinikmati oleh kalangan berduit. Masyarakat dengan uang/gaji pas-pasan hanya bisa mendapatkan layanan yang seadanya. Meskipun ada program BPJS, tetapi terbatas dengan kualitas layanan yang sangat rendah. Oleh karenanya, tidak heran jika muncul istilah, “orang miskin dilarang sakit”.
Paradigma Kapitalisme
CKG ataupun program populis lainnya tidak lepas dari paradigma sistem kapitalisme yang tolok ukurnya materi. Dalam sistem ini, segala sesuatunya berorientasi bisnis dan untung rugi, tidak terkecuali yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Program yang diluncurkan pun terkesan asal jadi demi menarik simpati.
Sistem politik kapitalisme juga melahirkan pemimpin yang abai terhadap rakyatnya. Janji manis untuk menyejahterakan dan menciptakan keadilan seolah lip service sebelum jabatan diterima.
Terlebih lagi, dalam sistem kapitalisme tidak ada kawan yang abadi, melainkan kepentingan yang abadi. Oleh karenanya, wajar jika saat menjabat, para politisi demokrasi lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan urusan rakyat.
Tidak hanya itu, sistem kapitalisme memosisikan negara sebagai regulator. Oleh karenanya, segala urusan rakyat diserahkan kepada swasta yang orientasinya adalah bisnis, termasuk sektor kesehatan.
Defisit anggaran menjadi dalih pemerintah menggandeng swasta dalam setiap programnya. Sementara membangun rumah sakit di pelosok desa tidak akan memberikan keuntungan maksimal bagi swasta. Alhasil, rumah sakit menjamur di kota-kota besar dengan beragam fasilitas mewah yang hanya bisa diakses oleh orang kaya.
Andaikan SDA yang melimpah ini dikelola oleh negara, tentu defisit anggaran tidak akan pernah terjadi. Pemerintah juga tidak perlu membuat program gratis untuk sekadar membranding diri.
Namun, sistem kapitalisme telah memberikan ruang bagi swasta untuk menguasai SDA yang sejatinya milik rakyat. Sementara rakyat tidak punya kuasa untuk melawan kapitalis karena semua itu legal melalui UU.
Jaminan Kesehatan bagi Rakyat
Islam menetapkan bahwa kesehatan merupakan hak dasar setiap masyarakat. Klinik dan rumah sakit merupakan sarana untuk mendapatkan kesembuhan. Pada hadis sahih yang terdapat dalam Musnad Imam Ahmad dari Usamah bin Syarik, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit, melainkan Dia juga menurunkan obatnya. Ini diketahui oleh sebagian orang dan tidak diketahui oleh yang lain.”
Negara menjamin kesehatan rakyatnya tanpa melihat letak geografis maupun status sosial. Kaya atau miskin berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama. Bahkan, pemeriksaan kesehatan gratis sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan aturan Islam.
Terkait pendanaan fasilitas kesehatan, negara memiliki pemasukan tetap, salah satunya dari pengelolaan SDA. Islam melarang swasta untuk mengelola harta milik umum (SDA) yang bermuara pada individu atau kelompok tertentu.
Prinsip ri’ayah suunil ummah melahirkan penguasa yang fokus melayani umat. Pemeriksaan kesehatan gratis tidak pula bersifat temporer ataupun pencitraan. Program ini dilakukan secara terus-menerus tanpa khawatir terjadinya defisit anggaran.
Khatimah
Program gratis dalam sistem kapitalisme tidak akan mampu menyelesaikan persoalan rakyat, termasuk kesemrawutan sektor kesehatan. Program tersebut ibaratkan menutup masalah dengan masalah, solusi instan yang tidak menyentuh akar persoalan.
Namun, paradigma sistem politik yang berlandaskan akidah Islam mampu menyelesaikan setiap persoalan mulai dari akarnya. Ini karena Islam bersumber dari wahyu Allah Subhanahu wa Taala, Sang Pencipta manusia, alam semesta, berserta isinya. Akidah Islam melahirkan pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. [WE/IK].
Views: 6
Comment here