Opini

Hentikan Derita Kekerasan pada Anak dengan Sistem Islam

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Anggia Widianingrum

Wacana-edukasi.com, OPINI--Secara fitrahnya, orang tua merupakan pelindung bagi anak-anakny baik dalam lingkungan keluarga ataupun dalam lingkungan sekitarnya, sehingga anak-anak akan merasakan keamanan dan ketentraman bila ada pengawasan dan perlindungan dari orang yang lebih dewasa.

Namun, keadaan sistem hari ini telah merubah segalanya, orang tua tak lagi menjadi pelindung, justru malah berbuat keji terhadap anak-anak. Seperti yang dialami balita perempuan berusia 2 tahun yang tewas dianiaya oleh sepasang suami-istri di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, mereka adalah pengasuhnya sendiri.

Kronologi kejadian bermula ketika sang ibu memutuskan menitipkan anaknya kepada temannya yang berinisial YP, salah satu pelaku yang tak lain adalah temannya sendiri. Sementara sang ibu harus bekerja lantaran sebagai singel parent. YP pun menerima tawaran tersebut karena ia menganggap sebagai pancingan agar bisa hamil. Pada hari Jumat 23 Mei 2025 sang ibu menitipkan anak balitanya dengan upah sebesar Rp 1,2 juta perbulan. Akan tetapi, pada Selasa (10/6/2025), sang ibu dikejutkan dengan berita bahwa anaknya mengalami kecelakaan lalulintas dan dirawat di RSUD Teluk Kuantan kab. Kuansing. Setelah mendapat perawatan satu malam, korban akhirnya meninggal dunia. Diketahui dari pemeriksaan medis, terungkap bahwa korban meninggal dunia karena adanya sejumlah luka akibat penganiayaan. Setelah mendapat keterangan yang jelas, aparat meringkus kedua tersangka suami-istri AYS dan YP.

Melalui pemeriksaan intensif, keduanya mengaku melalukan kekerasan setiap kali korban rewel dan menangis. Diduga selama dititipkan, korban sering mengalami penganiayaan. Dan yang lebih memilukan hati, saat aparat menyita handphone milik pelaku, ditemukan rekaman video penganiayaan korban yang dilakukan sambil tertawa (Kompas.com, 14/6/2025).

Kasus Kekerasan Anak Bak Gunung Es

Sungguh sangat memilukan, kehadiran anak yang seharusnya menjadi pelipur lara bagi orang tua, tetapi faktanya banyak yang menganggap bahwa anak sebagai pembawa derita, sehingga sang anak kerap mengalami perlakuan kasar. Peristiwa ini merupakan salah satu dari sekian banyak kasus kekerasan yang dialami oleh anak termasuk pelecehan seksual dan inses oleh anggota keluarga dekat. Bahkan, baru-baru ini berita penelantaran anak dengan kondisi kritis yang ditemukan di pasar Kebayoran Lama telah menjadi sorotan dan pengawalan KemenPPPa.

Dari data KemenPPPa periode Januari hingga Desember 2024, jumlah kasus kekerasan fisik dan seksual yang tercatat terus mengalami tren peningkatan sebesar 19.628 kasus, naik signifikan dari tahun 2023 sebesar 15.120 kasus. Adapun korban kekerasan perempuan mendominasi sebesar 70,41% atau 15.242 orang. Kekerasan seksual menempati peringkat tertinggi sebesar 11.771 korban yang dilakukan oleh orang-orang terdekat yakni teman dan orang tua korban sebesar 6.890 pengaduan. Lebih mengejutkan, ternyata rumah tangga menjadi peluang besar tempat terjadinya tindak kekerasan yaitu sebesar 11.120 korban (kemenpppa.go.id).

Regulasi Sekuler dan Faktor Terjadinya Kekerasan

Kekerasan terhadap anak adalah serangkaian tindakan kekerasan secara fisik atau daring, seksual, pengabaian, penelantaran yang dilakukan orang tua, wali atau pengasuh yang dapat membahayakan dan mengancam jiwa anak. Kekerasan seringkali menyasar anak dan perempuan, karena dianggap sebagai pihak yang lemah.

Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki regulasi mengenai kekerasan dalam keluarga. Begitu pula dengan penerapan sanksi yang beragam mulai dari pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 15 juta hingga pidana penjara 15 tahun bahkan lebih dengan denda Rp 45 juta. Sayangnya, regulasi tersebut tidak mampu menuntaskan persoalan kekerasan pada anak. Sebab undang-undang tersebut dibangun dengan ruh sekulerisme, sehingga tidak menyentuh akar permasalahan terjadinya kekerasan pada anak yang disebabkan oleh beragam faktor yang kompleks. Mulai dari kondisi psikologis, pola asuh keluarga, dan lingkungan, pengaruh media, kurangnya pendidikan, dan faktor ekonomi. Kerusakan moral di tengah masyarakat disebabkan oleh lemahnya iman dan pemahaman akan fungsi dan peran sebagai orang tua.

Inilah manifestasi dari sistem kehidupan yang berdiri diatas sekuler kapitalisme. Agama dipakai hanya sebatas identitas kependudukan, status sosial, lamaran kerja, sementara aturannya bukan untuk mengatur ranah kehidupan. Walhasil, kehidupan yang jauh dari nilai-nilai dan aturan agama. Ditambah lagi himpitan ekonomi dan materi sering menjadi alasan pembenaran orang tua melakukan penelantaran dan kekerasan anak.

Selain itu, adanya ketidakpahaman para orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak sehingga tidak menyadari bahwa anak adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sistem ini telah menghilangkan fitrah orang tua sebagai pelindung bagi anaknya dan menjadikan rumah sebagai tempat teraman bagi anggota keluarga.

Di sisi lain, lingkungan dan media turut andil dalam kerusakan ini sehingga terbentuklah masyarakat yang individualis dan tidak peduli pada sesama. Begitu juga dengan media informasi yang seharusnya mendidik, tetapi kini menjelma menjadi mesin perusak generasi. Hal ini akibat dari penerapan sistem kapitalisme liberal yang tidak sesuai dengan fitrah manusia.

Akhiri Derita Anak

Islam merupakan sistem hidup (ideologi) menyeluruh yang berasal dari Allah Swt. Sang Pencipta manusia, alam, dan kehidupan. Tak terkecuali Islam telah menetapkan batasan dan aturan mengenai keluarga dan pengasuhan. Sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah Swt, QS Al-Baqarah ayat 233 dan At-Tahrim ayat 6.

Dari kedua ayat ini jelas bahwa yang bertanggung jawab penuh atas anak ialah seorang ayah. Ayahnya berkewajiban memenuhi semua kebutuhan fisik maupun akhlak dan ketaatan keluarganya dengan cara ma’ruf sesuai kesanggupannya.
Begitu juga, fungsi seorang ibu hanyalah sebagai ummun warabbatul bait (ibu dan pengurus rumah tangga) dan madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Oleh karenanya, dalam sistem Islam negara tidak akan membiarkan seorang ibu terbebani dengan tanggung jawab nafkah untuk dirinya sendiri maupun anak-anaknya meskipun sudah bercerai dari suaminya dengan mekanisme perwalian.

Sistem pendidikan berdasarkan akidah Islam di segala jenjang, meniscayakan output generasi rabbani yang bersakhsiyah Islam yang mampu menjawab tantangan zaman.

Negara akan memberikan edukasi yang terintegrasi dan komprehensif dalam sistem pendidikan maupun melalui berbagai media informasi dari departemen penerangan. Sehingga tidak ada lagi celah bagi tayangan-tayangan yang dapat merusak moral.

Kemudian sistem sanksi Islam yang tegas dan menjerakan terhadap segala pelanggaran hukum syarak, termasuk tindakan penelantaran dan penganiayaan terhadap anak, akan meminimalisir bahkan menghapus segala bentuk kriminalitas.

Sungguh, penerapan Islam secara sempurna oleh negara dalam kehidupan akan menjamin terwujudnya berbagai solusi kehidupan, kesejahteraan, ketentraman jiwa, terjaganya iman dan takwa masyarakatnya sehingga akan terbentuk masyarakat Islami yang berani menegakkan amar makruf dan saling mengasihi.

Tak hanya itu, pelaksanaan hukum Islam secara kaffah dalam berbagai aspek kehidupan akan menjamin terwujudnya ketahanan keluarga yang kuat, dan mampu mencegah terjadinya kekerasan dalam keluarga, sehingga anak dan para orang tua akan hidup aman dan nyaman berjalan sesuai fitrahnya. Semua itu hanya akan terwujud dalam naungan sistem Islam Khilafah. Wallahu alam Bisshowwab [WE/IK].

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 1

Comment here