Oleh: Erni Yuwana (Aktivis Muslimah)
Wacanaa-edukasi.com — Bumi Cenderawasih kini menangis. Tanah Papua berada di titik nadir. Setelah rentetan kerusuhan dan tragedi berdarah mewarnai Bumi Papua selama bertahun-tahun, akhirnya gema teriakan “Papua Merdeka” semakin menjadi nyata.
Dilansir detikNews.com, bahwa “Organisasi United Liberation Movement for West Papua (MC ga,) telah mendeklarasikan pembentukan pemerintahan sementara Papua Barat Merdeka dengan presiden Benny Wenda.”
Bumi Papua terluka. Begitu dalam rasa sakit dan perihnya hingga bertekad kuat untuk berpisah dari Indonesia. Masyarakat Papua sudah berputus asa memiliki kehidupan yang lebih baik di bawah naungan bendera merah putih. Masalah rasisme dan kekerasan terhadap rakyat Papua hanyalah secuil api pemantik dari masalah yang sudah berkobar membara selama ini. Masalah yang meledak berkobar membara itu bernama ketidakadilan.
Benar, Papua tidak terluka karena warna kulit yang berbeda, tapi masyarakat Papua sangat terluka karena ketidakadilan negeri ini. Bumi Cenderawasih tersebut selalu dianaktirikan dan tidak diperhatikan. Hingga Papua tertinggal jauh di belakang. Menjadi daerah yang tersisih, terpinggirkan, penuh kemiskinan dan jauh dari kehidupan layak. Begitulah gambaran Papua, bumi yang kaya, tanahnya emas, namun kehidupan mereka tetap terbelakang.
Indonesia hanyalah bagaikan negara perampas emas dan barang tambang di mata Papua. Namun, tidak bisa dalam membina, mengurus, mengayomi masyarakat Papua. Maka, satu kata yang diinginkan Papua, yakni “Merdeka”. Ya, berpisah dari tanah Indonesia.
Papua memimpikan kehidupan yang lebih baik. Mereka merindukan kesejahteraan hakiki. Bukan lagi mengemis belas kasih dan keadilan dari negeri ini. Tak terukir di hati mereka bahwa Indonesia pernah berkasih. Sayangnya, dunia turut mengamini bumi Papua bisa merdeka dari Indonesia.
Negara asing sungguh mengharapkan Papua bisa merdeka. Namun, bukan berharap Papua dapat memiliki kehidupan yang lebih sejahtera, tapi semata-mata agar emas dan barang tambang berharga di tanah Papua bisa dijajah dengan lebih mudah. Lantas bagaimana jadinya nasib Papua? Harus mengadu pada siapa lagi mereka? Harus berharap kepada siapa lagi rakyat Papua? Nyatanya, dunia hanya melihatnya sebagai objek jajahan. Di mata negara lain Papua hanyalah sumber emas dan tambang saja. Tidak lebih. Pilihan berpisah dengan Indonesia pun tidak menyelesaikan masalah, justru malah menjadikan Papua sebagai mangsa empuk bagi negara adidaya untuk mengeruk emas dan tambang berharganya.
Melihat mirisnya realita yang terjadi, maka Indonesia wajib berbenah diri. Indonesia wajib mengembalikan perannya sebagai seorang “ibu”. Ibu yang melakukan tugasnya dengan baik. Yakni, memperhatikan, mengayomi, melindungi harga diri ras Papua, mendidiknya dengan pendidikan terbaik, membangkitkan perekonomian dan kesejahteraan warga Papua, menciptakan rasa aman dan nyaman, serta menghentikan keserakahan dalam menguras tanah emas Papua. Sudahkah negeri pertiwi ini menjalankan tugasnya dengan baik? Nyatanya, sosok “ibu” itu hilang. Alih-alih mendapati peran seorang ibu, yang tampak adalah peran penjahat serakah yang dzalim.
Adapun pembangunan infrastruktur yang dibanggakan negeri ini, justru memunculkan pertanyaan baru. Benarkah pembangunan infrastruktur tersebut untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Papua? Sayangnya, kalaupun ada pembangunan infrastruktur, terlihat jelas itu bukan untuk mereka. Karena faktanya, infrastruktur yang dibangun tak membuat kesejahteraan masyarakatnya merata. Ketimpangan justru menganga. Karena penikmat dari pembangunan tersebut adalah para pemodal kaya yang memanfaatkan kondisi rakyat Papua yang tetap terbelakang.
Indonesia wajib mengembalikan perannya sebagai sosok seorang “ibu”, bukan pebisnis serakah yang seenaknya menjamah kekayaan Papua. Indonesia tak layak menggenggam aturan kapitalisme yang hina. Sebab, sesungguhnya masyarakat Papua dan umat manusia secara keseluruhan justru membutuhkan sistem Islam. Kenapa? Karena hanya dengan sistem Islam, kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan secara merata, karena ia hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dalam sistem Islam, hak-hak dasar warga negara benar-benar dijamin, tak peduli apakah mereka beragama Islam atau bukan. Islam berkewajiban menjaga jiwa, akal, harta, kehormatan, agama, keamanan seluruh warganya. Muslim dan nonmuslim akan dilindungi, tak boleh ada yang mencederai. Dan itu semua hanya dapat diwujudkan dengan penerapan aturan-aturan Islam dalam institusi negara bernama Khilafah Islamiyah.
Penulis Barat, Will Durant bahkan mengatakan dengan jelas dalam bukunya, The Story of Civilization, bahwa para pemimpin negara Islam (Khalifah) memberikan keamanan kepada warganya hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan. Hingga dapat memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sungguh sangat luas. Fenomena seperti itu tak tercatat lagi di masa kini. Kegigihan dan kerja keras negara menjadikan pendidikan menyebar luas, sehingga berbagai ilmu, baik sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa. Serta menjadikan Asia Barat sebagai negara yang paling maju peradabannya selama lima abad.
Agama Islam menguasai hati bangsa-bangsa yang terbentang mulai dari asia, timur tengah, bahkan eropa. Mulai dari Cina, Indonesia, India, Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam datang dengan menunjukkan cita-cita mulia manusia, mengajarkan akhlak mulia, membentuk kehidupan bermartabat, dan membangkitkan harapan langit, sekaligus meringankan segala urusan dan kesusahan hidup. Islam juga telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan peradaban, sehingga jumlah kaum muslim pun terus meningkat tajam. Sungguh, Agama Islam menyatukan ikatan antara sesama manusia serta melunakkan hati mereka walaupun ada perbedaan ras dan latar belakang kehidupan.
Masyarakat Indonesia, termasuk saudara-saudara kita di Papua harus menyadari bahwa ketidakadilan yang mereka rasakan justru karena mereka jauh dari aturan Allah SWT. Padahal, aturan Islam sudah terbukti mampu menjadi solusi atas setiap permasalahan serta menjadikan negara kuat dan berdaulat. Disintegrasi bukanlah solusi bagi permasalahan ketidakadilan, justru menjadi jalan penguasaan tanah Papua oleh penjajah adidaya.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 3
Comment here