Oleh : Lely Novitasari (Aktivis Generasi Peradaban Islam)
Wacana-edukasi.com, OPINI--Janji manis pemerataan soalan pendidikan di Indonesia seolah tertampar kesenjangan yang justru kian melebar. Dari data Kementerian Pendidikan (2024) mengungkap bahwa ada 1,2 juta anak Indonesia putus sekolah setiap tahunnya dan 60% di antaranya putus sekolah sebab faktor ekonomi. Sementara itu, anggaran pendidikan nasional tembus Rp 612 triliun, yang tertuang dalam APBN 2024. Tentu bukan nominal yang kecil. Tapi kenapa seolah tak mampu menyelesaikan akar persoalan mendasar hak pendidikan?
Faktanya di balik program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), ada jutaan anak dari keluarga miskin tetap terperangkap dalam siklus kemiskinan. Mereka seolah dipaksa memilih antara mengisi perut atau mengisi akalnya. Lantas, sampai kapan hak dasar setiap manusia seakan dibiarkan? Apakah pendidikan akan menjadi barang mewah yang hanya bisa dijangkau oleh segelintir orang?
BOS dan KIP, Bantalan Ekonomi yang Rapuh
Selama dua dekade terakhir, pemerintah mengklaim telah berupaya memutus mata rantai ketimpangan pendidikan melalui program BOS dan KIP. Namun, realitanya dari kedua skema ini seolah hanya menjadi “pereda nyeri” temporer. Menurut survei Tirto(dot)id (2023), ada 67% keluarga penerima KIP mengaku dana tersebut lebih sering dialihkan untuk kebutuhan sehari-hari seperti belanja sembako atau biaya kesehatan.
Fenomena ini memperlihatkan bukan lagi gejala tapi sangat bisa menjadi sebuah kegagalan sistemik. Dana BOS yang seharusnya mampu membebaskan sekolah dari pungutan liar, justru kerap terdistorsi oleh biaya seragam, buku, atau les tambahan yang tak terjangkau bagi keluarga miskin. Sebab persoalan masyarakat hari ini bukan hanya pendidikan tapi ada kebutuhan dasar hidup yang juga memerlukan perhatian negara.
Di sisi lain, kualitas sekolah hari ini seakan terbagi dua. Di Jawa Tengah, misalnya, meski 139 sekolah swasta digratiskan untuk siswa tidak mampu (Detik, 2023), nyatanya akses terhadap pendidikan berkualitas tetap menjadi mimpi. Sekolah-sekolah “gratis” itu umumnya kekurangan guru kompeten, fasilitas terbatas, dan kurikulum yang tidak adaptif. Akibatnya, yang miskin tetap terdampar di pinggiran sistem, sementara yang kaya melesat dengan les privat dan platform digital. Semakin nyata adanya kesenjangan pendidikan.
Solusi Jalan Tengah, Dikotomi yang Mengkhianati Keadilan
Menanggapi kegagalan ini, negara mengusulkan jalan tengah dengan membuat program Sekolah Rakyat untuk anak miskin dan Sekolah Garuda Unggul untuk anak mampu. Program ini dianggarkan dengan biaya Rp25 triliun pada 2025, dan diklaim sebagai solusi pemerataan (Fajar.co(dot)id, 2025). Tapi, jika dicermati, kebijakan ini seolah mengabadikan ketimpangan.
Bagaimanapun solusi pengadaan Sekolah Rakyat, meski digadang-gadang gratis, kondisinya akan menjadi “sekolah kelas dua” dengan fasilitas seadanya. Sementara Sekolah Garuda Unggul dengan anggaran Rp4,8 juta per siswa per tahun, seakan menjadi kawah candradimuka bagi anak-anak elite. Alih-alih memutus mata rantai kemiskinan, skema ini menciptakan segregasi baru, yaitu pendidikan untuk si miskin sekadar bertahan hidup, sementara si kaya dipersiapkan untuk menguasai dunia. Apakah ini yang disebut pemerataan? Ataukah pengkhianatan terhadap hak konstitusional warga negara?
Pendidikan dalam Cengkeraman Kapitalisme: Akar Masalah yang Diabaikan
Sudah menjadi rahasia umum, sistem pendidikan yang dipengaruhi oleh kapitalisme telah mengubah wajah pendidikan dari hak dasar menjadi komoditas. Sistem ini menganggap sekolah sebagai pasar, siswa sebagai konsumen, dan ilmu pengetahuan sebagai produk yang bisa diperjualbelikan. Tak heran jika biaya pendidikan di Indonesia terus melambung tinggi. Adanya data BPS (2024) semakin memperkuat dan menunjukkan bahwa rata-rata keluarga miskin menghabiskan 35% pendapatannya untuk biaya sekolah anak, angka yang jauh lebih tinggi daripada pengeluaran untuk kesehatan.
Di sisi lain, negara menjadi abai menjalankan peran fundamentalnya. Alih-alih menjadi penanggung jawab utama, negara justru membiarkan swasta dan lembaga donor menguasai sektor pendidikan. Alhasil, kurikulum diarahkan dan dibuat sesuai kepentingan industri, bukan kebutuhan membangun peradaban. Output pendidikan seolah hanya kejar ijazah untuk bisa bekerja jadi buruh siap pakai. Kesenjangan pendidikan makin lebar dengan berdirinya sekolah-sekolah unggulan yang bermunculan seperti mall pendidikan, sementara sekolah di pelosok NTT atau Papua bahkan dipaksa berkutat dengan kesulitan air bersih.
Islam dan Visi Pendidikan sebagai Mercusuar Peradaban
Berbeda dengan logika kapitalis yang menilai pendidikan sebagai komoditas, sedangkan Islam menempatkan pendidikan sebagai hak syar’i yang wajib dijamin oleh negara. Dalam konsep pengadaan Baitul Maal, negara bertanggung jawab penuh membiayai pendidikan tanpa membedakan status sosial dan ekonomi. Rasulullah SAW sendiri mewajibkan tawanan Perang Badar yang buta huruf untuk mengajar 10 anak Muslim sebagai tebusan. Inilah bukti sebuah kebijakan dari Islam yang menegaskan bahwa pendidikan adalah kewajiban negara, bahkan dalam kondisi perang.
Dalam sistem Islam, tidak ada dikotomi Sekolah Rakyat atau Sekolah Elit. Setiap anak kaya atau miskin, di kota atau desa, semua berhak mendapatkan akses yang sama terhadap ilmu. Negara tidak hanya membangun gedung, tetapi juga memastikan kurikulum berbasis akidah Islam, guru yang kompeten, dan fasilitas memadai. Tujuannya bukan sekadar mencetak pekerja, tetapi utamanya membangun generasi berkarakter (syakhshiyah Islamiyah) yang visioner, menguasai sains, teknologi, dan siap memimpin peradaban. Generasi yang dihasilkan tersuasanakan untuk membangun kehidupan masyarakat yang tidak berorientasi pada materi tapi harmonisasi hidup.
Pendidikan dalam Islam juga tidak terpisah dari sistem ekonomi. Dengan pengelolaan harta publik yang transparan (seperti zakat, kepemilikan umum, dan pajak yang adil), negara mampu memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal karena kemiskinan. Contoh nyata bisa dilihat dari sejarah Daulah Utsmaniyah, di mana pendidikan gratis dan berkualitas menjadi hak seluruh rakyat, bahkan non-Muslim selama berabad-abad.
Islam Membangun Kembali Mercusuar yang Padam
Gagasan Sekolah Rakyat ala kapitalisme hanya akan menjadi solusi tambal sulam yang rapuh. Solusi hakiki terletak pada perubahan sistemik. Indonesia perlu mencontoh ketegasan Islam dalam menjadikan pendidikan sebagai prioritas negara, bukan komoditas pasar.
Pertama, negara harus mengambil alih peran sebagai penyelenggara utama pendidikan, memberikan dan memastikan anggaran yang memadai dan distribusi merata bahkan sampai ke individunya. Kedua, kurikulum harus diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam yang tangguh, menguasai ilmu terapan, dan siap menghadapi tantangan global. Ketiga, sistem ekonomi Islam harus diadopsi untuk menjamin keberlanjutan pendanaan tanpa membebani rakyat. Adilnya sistem Islam memperhatikan distribusi ekonomi dan pendidikan sampai ke individu bukan golongan.
Jika hari ini “Sekolah Garuda” dianggap sebagai simbol keunggulan, maka jauh lebih kongkrit solusi dalam sistem Islam, yakni setiap sekolah adalah mercusuar, tempat anak-anak petani, nelayan, dan buruh bisa bermimpi setinggi langit tanpa takut terhambat biaya. Pendidikan bukan lagi tentang bertahan hidup, tetapi tentang menyalakan obor peradaban.
Ketika anak-anak di pelosok NTT harus menyeberangi sungai deras hanya untuk sampai ke sekolah rusak, sementara anak-anak di Jakarta diajari coding dengan robot canggih, sadari inilah tragedi ketimpangan yang diabadikan sistem. Kapitalisme telah gagal menjawab persoalan dunia pendidikan. Saatnya negeri ini berani berkaca pada sejarah emas Islam, bahwa pendidikan adalah hak dasar semua manusia, dan negara wajib hadir untuk menjaminnya.
Jika tidak, kondisinya hanya akan terus berputar dalam lingkaran kegagalan, tanpa kejelasan dan kemajuan peradaban bisa jadi hanya mimpi. Padahal, seperti dikatakan Ali bin Abi Thalib,”Ilmu adalah kehidupan bagi jiwa.” Tanpa keadilan dalam pendidikan, jiwa sebuah bangsa akan mati perlahan tersesat di balik gemerlap kapitalisme yang
Views: 3
Comment here