Oleh: Mahrita Julia Hapsari
Wacana-edukasi.com — Orang bilang menjadi indigo itu istimewa. Masa iya istimewa, pikirku. Tiap hari melihat bayangan berkelebat. Terkadang melihat kondisi teman dalam keadaan tak menyenangkan, padahal si teman sedang berada di sampingku. Atau merasa ditindihi setiap bermalam di tempat baru. Atau disembunyikan barang-barang yang aku sudah tahu pasti di mana meletakkannya.
Melelahkan memang. Paling sedih kalau sedang jalan sama teman, bayangan peristiwa itu hadir, tapi aku tak mampu menyampaikan padanya, lidahku kelu. Rasa bersalah selalu hadir, aku tahu, tapi tak bisa mencegah. Maafkan aku, ya, teman.
Kalau ditanya serunya, bukan seru, tapi bikin gregetan. Gimana tidak gregetan, benda udah kusimpan baik-baik, eh, tetap saja hilang dari pandangan mata. Putar-putar ke seluruh penjuru kamar dan rumah buat nyari tu benda. Setelah lelah, baru baca ta’awuz dan sholawat. Coba cari lagi di tempat semula, eh tu benda udah ada. Sebel kan.
Parahnya, selalu berulang. Mangkelnya, kalau yang “dia” sembunyikan adalah tugas kuliahku, padahal 15 menit lagi udah jadwal kuliah. Dan perlu waktu 10 menit untuk aku berjalan dari kos ke kampusku. Mau main-main “dia”.
Keanehan ini ada sejak aku menjelang balig. Dan terasa semakin ada ketika kuliah. Sebagai mahasiswa perantauan, tak kurang-kurang amalanku agar terjaga dari segala marabahaya. Antara magrib dan isya tak pernah aku beranjak dari sajadah kecuali setelah menyelesaikan bacaan yasin, waqiah, al mulk, dan ar-rahman. Salat Tahajud pun tak pernah absen, ditambah dengan salat Taubat, dan Hajat.
Aku tak punya rasa takut. Meskipun jelas-jelas ada yang “menemani”. Aku punya kakakkos yang juga indigo. Suatu siang dia lewat di depan kamarku yang sedang terbuka. Dia berseru: “Duh cantik banget, Ta. Putih kulitnya, rambutnya.” Aku hanya tersenyum mendengarnya. Jujur, aku justru tak pernah melihatnya.
Tujuanku ambil kuliah di kota Banjarmasin, jauh dari orang tua yang di Samarinda, tak hanya ingin kuliah. Aku ingin hijrah, memperbaiki diri. Punya banyak amalan, kok, rasanya tetap ada yang kosong, batinku. Kuikuti kegiatan keagamaan yang ada di kampus. Ikut juga duduk melingkar, diskusi keislaman. Rajin ikut seminar atau pun dauroh tiap hari minggu.
Terjawab sudah pertanyaan besar dalam hidupku sehingga hidup pun serasa lebih bermakna. Semakin memahami tujuan hidup dan amalan pun terasa lebih menyejukkan. Ternyata islam tak sebatas ibadah nafilah seperti yang aku lakukan selama ini. Islam punya jawaban setiap solusi hidup manusia. Islam punya aturan yang lengkap dan sempurna, mulai dari bangun tidur hingga bangu negara. Aku merasa berislam kembali, menjadi pribadi yang baru.
Diskusi demi diskusi kuikuti. Terkadang kepala juga ikut pening saat memikirkan kondisi keterpurukan umat Islam saat ini. Aku ingin berjuang untuk agamaku agar gelar umat terbaik kembali diraih. Aku asyik dengan kegiatan baru, kampus, dan kajian islam.
Si “dia” juga ikut menemani di setiap kegiatanku. Akan tetapi sekarang, sudah jarang banget main-mainnya. Karena setiap aku kehilangan tugas, aku langsung ingat dan baca ta’awuz serta selawat. Dan kembalilah tugasku di hadapanku.
Hingga suatu malam, sekitar jam setengah tiga tengah malam. Aku terbangun karena aku merasa ada yang memutar ranjangku. Kulihat letak ranjang yang semula di sisi kanan telah berpindah ke sisi kiri kamar kos. Kelambuku masih tergantung di sisi kanan kamar kos.
Tiba-tiba suasana kamar kosku berubah menjadi hamparan kebun bunga yang sangat indah. Aku tak tau nama bunganya, tapi harumnya semerbak mewangi. Di depanku telah berdiri seorang perempuan membelakangiku. Aku hanya melihat rambut hitamnya yang panjang hingga sepinggang. Dan baju putihnya yang melambai disapa angin.
Tangannya menyentuh jemariku seraya mengajakku untuk mengeksplore taman bunga yang ada di hadapan kami. Aku menolaknya. “Aku lelah, tadi ada ujian terus lanjut kajian Islam.” tolakku. Dia pun berkata: “Ok-lah, Ta. Kupikir kita berpisah saja. Kita sudahi saja pertemanan ini. Aku lelah mengikutimu. Apalagi semenjak kamu rajin ikut diskusi Islam ideologis. Aku ikut pusing.”
“Siapa yang merasa berteman dengan kamu?” jawabku dalam hati. Hihihi, tertawanya terpaksa di dalam hati, khawatir si “dia” tersinggung.
“Ya, lebih baik kita berpisah. Bukankah kita berbeda dunia.” sahutku padanya.
“Ya sudah, aku pulang ya Ta,” pamitnya.
“Eh bentar, balikin dulu ranjangku,” pintaku.
Seiring dengan menghilangnya dia dan hamparan taman bunga di mataku, seiring itu pula ranjangku telah kembali ke sisi kanan, dan tertutup kelambu. Alhamdulillah. Cepat-cepat aku bangun mengambil air wudu untuk salat Tahajud.
Delapan tahun pasca kejadian tengah malam itu,saat aku sudah bekerja menjadi guru, Seorang rekan kerja menghampiriku dan berbisik: “Ibu Mahrita, dulu pernah punya teman, ya?” Beliau mengucapkan kata “teman” sambil memberi isyarat gerakan jari tanda kutip. Aku hanya tersenyum mendengar pertanyaan beliau.
Views: 7
Comment here