Opini

RUU Kesehatan, Sarat Akan Liberalisasi Kesehatan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Khaziyah Naflah (Freelance Writer)

wacana-edukasi.com, OPINI–RUU Kesehatan saat ini sedang tahap pembahasan antara DPR RI dengan pemerintah. Melalui RUU ini, pemerintah mengusulkan tambahan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya ketika memberikan pelayanan kepada masyarakat. Undang-undang yang berlaku saat ini diklaim belum maksimal dalam melindungi para nakes tersebut, sehingga dalam RUU ini akan diusulkan untuk ditambah (kemkes.co.id, 24/04/2023).

Disisi lain, RUU kesehatan ini juga akan mempermudah dokter asing ataupun diaspora untuk masuk ke Indonesia. Aturan ini tertuang dalam Draf Revisi Undang-Undang No. 36-2009 tentang Kesehatan.

Draf tersebut mengatur tenaga medis dan tenaga kesehatan asing harus dapat beroperasi dalam syarat yang diatur pada Pasal 233 dan Pasal 234. Syarat pertama dalam Pasal 233 adalah dokter lulusan luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi.

Dalam Pasal 234, dokter asing maupun dokter diaspora juga harus beradaptasi di pelayanan kesehatan, memiliki STR sementara, dan SIP. Namun semua syarat tersebut dapat diterobos khusus dokter asing spesialis maupun dokter diaspora spesialis (kompas.id, 11/04/2023).

Sungguh impor dokter asing nyatanya bukan kali ini saja terjadi, namun di tahun 2020 lalu pemerintah juga pernah melakukan impor dokter asing dengan dalih agar rakyat tidak berobat keluar negeri dan dapat menghemat devisa negara. Namun nyatanya hal tersebut juga tidak memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kesehatan yang kian membelit rakyat. Oleh karena itu, RUU tersebut seakan hanya dalih atas liberalisasi kesehatan.

Mengurai Akar Masalah
Patut dipahami bahwa problem kesehatan di negeri ini seyogianya bukan hanya masalah minimnya dokter spesialis ataupun umum semata, ataukah minimnya perlindungan bagi para nakes, namun tidak dapat dipungkiri jika problem kesehatan di negeri ini adalah tidak meratanya akses kesehatan ke seluruh negeri yang membuat sebagian besar warga (terkhusus warga di desa) tidak dapat merasakan hak sehat.

Kita bisa melihat bagaimana nakes dan fakes hanya bertumpu di daerah kota saja, sedangkan di daerah pedesaan apalagi pelosok sangat minim. Di daerah kota pun demikian, pelayanan kesehatan yang berkualitas hanya dapat dirasakan oleh si kaya saja, sedangkan si miskin sulit untuk mendapatkannya, bahkan terdengar slogan “rakyat miskin dilarang sakit”. Kesenjangan si kaya dan si miskin pun kian nampak. BPJS yang digadang-gadang mampu menjadi solusi, justru hanya sekedar ilusi dan penuh dengan polemik.

Fakta di atas nampak membuktikan bahwa negara saat ini gagal menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan bagi warganya. Alih-alih berfokus untuk menyelesaikan masalah dan berusaha untuk memenuhi amanahnya sebagai pelayan rakyat, yang ada negara justru menyerahkan urusan pengurusan kesehatan kepada swasta.

Alhasil, jika kendali sektor kesehatan sudah di tangan swasta, penyediaan faskes dan nakes bukan lagi berdasarkan pada kebutuhan dan kemaslahatan warga, melainkan pada keuntungan bisnis semata. Tak dipungkiri jika bisnis kesehatan nyata terasa makin menjanjikan di negeri ini. Hal ini pun kian nyata, di mana berbagai rumah sakit milik swasta bertengger memenuhi kota-kota besar.

Disisi lain, SDM di negeri ini seyogianya tak kalah cerdas dibanding dengan negeri seberang. Namun, lagi-lagi sektor pendidikan juga telah nyata dikapitalisasi yang membuat pendidikan kesehatan sangat sulit untuk dijangkau oleh seluruh rakyat. Lihat saja, biaya pendidikan hari ini sangat mahal, tanpa terkecuali biaya pendidikan kedokteran.

Seyogianya, inilah akar persoalan kesehatan yang wajib diurai di dalam draf RUU kesehatan saat ini. Hanya saja hal tersebut mustahil terjadi di dalam sistem kapitalis sekuler yang diemban oleh negeri ini. Sistem kapitalis mustahil untuk berfokus pada kemaslahatan rakyat, yang ada mereka justru menjadikan kebutuhan rakyat sebagai komoditas perdagangan ataupun ajang bisnis.

Negara kapitalis meniscayakan negara untuk berlepas tanggung jawab dalam tugasnya meriayah urusan umat. Dia juga meniscayakan untuk mengandeng swasta ataupun asing untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bahkan menyerahkan urusan tersebut kepada mereka dengan dalih kemaslahatan rakyat itu sendiri. Dalam sistem kapitalis hubungan yang terjalin antara rakyat dan penguasa adalah hubungan bisnis. Inilah persoalan kesehatan yang tidak kunjung usai dalam sistem saat ini.

Jaminan Kesehatan dalam Islam

Jika dalam kapitalisme kesehatan dijadikan sebagai ajang bisnis dan negara berlepas tangung jawab dalam menjamin terpenuhinya hak sehat rakyat, pun hubungan khalifah dengan rakyat hanya sekedar pedagang dan pembeli, hal
itu berbeda ketika di dalam sistem Islam.

Dalam sistem Islam kesehatan dipandang sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang wajib dipenuhi oleh negara, sehingga negara dalam hal ini seorang khalifah/pemimpin wajib menjamin terpenuhinya hak sehat rakyat tersebut dengan kualitas terbaik dan merata ke seluruh pelosok negeri, baik si kaya dan miskin, ataupun kaum muslim dan non muslim. Hal ini sebagai bentuk tanggung jawab khalifah sebagai pengurus urusan rakyat.

Rasullulah bersabda “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Pengelolaan pelayanan kesehatan pun akan langsung ditangani oleh negara, tidak diserahkan kepada swasta apalagi asing. Sehingga pelayanan kesehatan benar-benar akan dapat dirasakan oleh seluruh warga. Rumah sakit akan tersebar ke seluruh negeri, tidak bertumpuk hanya di daerah perkotaan saja, sebagaimana sistem kapitalis saat ini. Begitu pun dengan nakes dan fakes akan seimbang antara di kota dan di pedesaan. Bahkan, negara menyediakan rumah sakit keliling dengan nakes yang mumpuni, serta fakes canggih pula. Hal ini untuk mengantisipasi jika ada rakyat yang tiba-tiba sakit di perumahan.

Kehebatan sistem kesehatan Islam pun tergambar disepanjang masa kejayaan Islam, perawatan medis diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Rumah sakit dibangun dan tersebar di kota-kota Islam di seluruh dunia, salah satunya di Cairo rumah sakitnya dapat menampung hingga 8000 pasien.

Disisi lain, negara juga akan mengoptimalkan sistem pendidikan kesehatan terbaik untuk mencetak para dokter, perawat, dan ahli nakes lainnya yang berkualitas dan mumpuni dalam bidangnya. Pendidikan tersebut juga diberikan murah, bahkan gratis kepada setiap individu rakyat yang ingin menjadi nakes. Bahkan, negara juga memberikan biaya kepada siapa saja yang ingin melakukan penelitian untuk kemajuan dan kemaslahatan umat di dalam bidang kesehatan.

Namun, keberhasilan sistem kesehatan tersebut harus dibarengi dengan sistem yang lainnya, mai dari sistem ekonomi hingga politik. Dalam mewujudkan sistem kesehatan yang berkualitas dengan para nakes mumpuni dan fakes yang canggih dibutuhkan sistem ekonomi yang kuat, dan semua itu ada di dalam baitumal. Pemasukan baitumal dari SDA yang melimpah, sebagaimana Indonesia akan mampu menyediakan layanan kesehatan yang bagus.

Begitupun dengan sistem politik Islam yang mencetak para pemimpin yang hanya fokus untuk menggapai ridho Allah dengan menjalankan amanah kepemimpinan baik-baiknya. Oleh karena itu, jaminan kesehatan hanya mampu didapat dalam sistem Islam. Wallahu A’alam Bissawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 17

Comment here