Surat Pembaca

Regulasi Pinjol Bukan Solusi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Lugita Sandri (Aktivis Muslimah dan Pegiat Literasi)

wacana-edukasi.com– Adanya kemajuan teknologi dan kemudahan dalam mengaksesnya, menjadi salah satu sebab menjamurnya pinjol. Hal ini berbanding lurus dengan banyaknya masyarakat yang ternyata berminat pada pinjaman online. Bagaimana tidak, di tengah kesulitan pandemi covid-19, kemudahan dalam mendapatkan pinjaman online dinilai sangat membantu. Terlebih lagi pencairan dananya sangat cepat dengan minim syarat.

Dengan segala kemudahannya, beberapa kelompok masyarakat dengan literasi keuangan rendah akan mudah tergiur. Para pelaku bisnis pinjol sudah tentu akan merugikan masyarakat, mereka menetapkan suku bunga yang tinggi dan fee yang terhitung besar. Belum lagi denda yang tidak masuk akal serta intimidasi ketika menagih. Tidak sedikit yang memilih jalan pintas dengan bunuh diri karena tidak sanggup menanggung berbagai bentuk intimidasi yang menyudutkan dan melukai harga diri sebagai seorang manusia.

Seperti yang dikutip detiknews.com kasus bunuh diri seorang ibu di Wonogiri, Jawa Tengah. Di balik kasusnya, karyawan pinjol ilegal yang bekerja sebagai operator SMS blasting dan penagih hutang dengan ancaman juga teror, ternyata diberi gaji yang cukup fantastis mencapai Rp 20jt per bulan.

“Di antara Rp 15 sampai Rp 20 juta per bulan,” kata Dirtipideksus Bareskrim Polri Brigjen Pol Helmy Santika di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (15/10/2021).

Banyaknya kasus pinjol menjadi bukti betapa buruknya dampak transaksi ribawi. Negara sebagai pengambil kebijakan seharusnya tidak hanya meregulasi fintech berbasis pinjaman online ini. Lebih jauh dari itu, pemerintah seharusnya mampu mensejahterakan rakyatnya, mencabut akar penyebab rakyatnya terjerat hutang. Karena kemiskinan dan gaya hidup konsumtif memberi pengaruh besar terhadap minat masyarakat pada pinjaman online. Selain itu, lembaga keuangan ribawi ikut serta menyuburkannya.

Regulasi yang dilakukan oleh negara pun hanya akan menjadi jalan bagi fintech asing untuk masuk ke pasar Indonesia. Akibatnya, berbagai transaksi ribawi bisa saja semakin mengepung kehidupan umat di negeri ini. Hal ini akan terus berlangsung selama pemerintah mengadopsi sistem Kapitalisme. Dimana solusi bagi umat tidak akan pernah tercapai karna kapitalisme tidak berpihak pada umat melainkan pada para pebisnis bermodal besar. Dengan demikian, sudah semestinya kita berpaling dari sistem kapitalisme yang jelas merusak.

Berbanding terbalik, sistem Islam mampu mensejahterakan rakyatnya, melahirkan pribadi yang tidak mudah tergiur tawaran pinjaman berasas ribawi, serta mampu menghapus segala transaksi dan lembaga keuangan yang bertentangan dengan hukum syara.

Maka tidak cukup pemerintah hanya melakukan regulasi atau moratorium pinjaman online. Seharusnya negara juga menutup semua pintu lembaga keuangan ribawi dan menggantinya sesuai dengan aturan hukum syariat. Menjadikan baitul mal sebagai kas utama negara, dan menganti pajak dengan zakat mal sesuai nisabnya, serta mengelola sumber daya alam (SDA) sebagai kekayaan negara yang dikelola mandiri dan digunakan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.

Dengan begitu pemerintah mampu mengurus rakyatnya, sehingga tidak ada lagi yang tergiur hutang pinjol karena disebabkan kemiskinan. Gaya hidup pun tidak akan menjadi sesuatu yang mendasari seseorang berhutang, karena sistem Islam akan membentuk manusia berkepribadian Islam yang jauh dari sifat hedonisme.

Wallahu a’lam bish shawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 9

Comment here