Opini

Radikalisme, Benarkah Mengancam Gen Alpha?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kiki Zaskia, S. Pd
(Pemerhati Pendidikan)

wacana-edukasi.com, OPINI– Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Sulawesi Tenggara (Sultra) bekerja sama dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Baubau merangkul siswa SD dalam mencegah perilaku radikalisme dan terorisme. Hal itu dilakukan melalui lomba menulis surat di kegiatan Seminar Anak Indonesia dengan tema “Bangga Menjadi Anak Indonesia”.

Ketua FKPT Sultra, Andi Intang Dulung menyampaikan, melalui kegiatan seminar ini, anak-anak akan diajak untuk menulis surat yang isinya dapat mengaktualisasikan diri sebagai anak bangsa yang cinta kedamaian dan menghargai sesama.“Sebagai anak bangsa kita harus bangga menjadi anak Indonesia dan kita patut menjaga ideologi bangsa yakni Pancasila,” katanya.

Di tempat yang sama Wali Kota Baubau melalui Kepala Badan Kesbangpol Kota Baubau, Muhammad Amir Afie menuturkan, sejak usia TK anak-anak kita harus waspada dengan isu-isu yang bekembang di masyarakat, khususnya pandangan intoleran tidak boleh dibiarkan.“Lewat pendidikan, guru-guru harus mentransformasikan dirinya menjadi pendidikan yang benar-benar mendidik,” ungkapnya (Dilansir Detiksultra.com, 14/03/23).

Kegiatan tersebut kian menggambarkan bahwa upaya penghapusan dosa besar pendidikan semakin massif sebagaimana yang pernah disebutkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim bahwa ada 3 dosa besar pendidikan yakni, intoleransi, kekerasan seksual, dan perundungan (bullying).

Akan tetapi yang massif diributkan adalah bahaya radikalisme pada anak pada rentang gen alpha (anak dengan tahun kelahiran 2011-2025). Seolah-olah radikalisme yang menciptakan intoleransi, kekerasan seksual, bahkan bullying. Adapun konsep, batasan hingga makna bahaya radikalisme yang dimaksud pemerintah masih buram sehingga masyarakat mempertanyakan apakah memang radikalisme mengancam anak?

Di sisi lain, tentu kita semua bersepakat bahwa anak-anak adalah aset peradaban. Generasi yang harus kita jaga dan lindungi dari hal-hal yang merusak. Ini merupakan kewajiban semua pihak, apatah lagi kedua orang tua, ayah dan ibu.

Namun, apakah benar ancaman ini? Radikal seperti apa yang dimaksud? Apabila yang dimaksud “radikal” adalah melakukan ancaman bom bunuh diri atau tindakan kekerasan dan sebagainya, tentu itu sangatlah berbahaya. Akan tetapi, apabila maksud dari “radikal” adalah semangat anak-anak muslim belajar Islam dan mengamalkan agamanya dalam kesehariannya ataupun mengajarkan pemahaman Islam yang benar kepada anak sekolah dasar bahkan usia dini, tentu ini pendapat yang salah.

Sebagaimana tuduhan sebelumnya bahwa mengajarkan tepuk anak salih adalah radikal dan intoleran. Padahal didalamnya diajarkan kecintaan pada Islam, Allah SWT dan RasulNya. Apabila kita cermati, makna radikal yang berkembang saat ini dan dituduhkan oleh sebagian kalangan muslim negeri ini, tidaklah mendasar. Terlebih yang diarahkan kepada anak-anak muslim. Di sinilah seharusnya umat Islam jeli dan tidak mudah terpengaruh berbagai informasi yang menyudutkan umat Islam sendiri dan justru makin menjauhkan umat dari ajaran Islam.

Sepintas, pernyataan Ketua FKPT Sultra, Andi Intang Dulung bahwa (anak-anak akan diajak dapat mengaktualisasikan diri sebagai anak bangsa yang cinta kedamaian dan menghargai sesama) tampak penuh dengan kebaikan karena menghormati orang lain. Padahal, hal ini bisa menjebak dalam toleransi yang kebablasan (Pluralisme).
Cinta kedamaian dan menghargai sesama memang tidak salah jika seluruhnya berada dalam koridor syari’at Islam. Akan tetapi, jika maksudnya seperti yang terjadi saat ini; semisal menyatakan haram mengucapkan selamat Natal kepada non-muslim dinilai intoleran, atau mengganti kata “non-muslim” dengan kata “kafir” itu dinilai eksklusif serta dianggap tidak menghargai orang lain; tentu ini pendapat yang keliru.

Dengan demikian, hal ini jika dibiarkan akan menjadi pintu masuk yang terbuka sangat lebar bagi penderasan arus moderasi keluarga muslim dengan alat radikalisme. Keluarga muslim akan tercekoki berbagai ide menyimpang, seperti pluralisme, toleransi kebablasan, sehingga menjadi individualistik karena keengganan untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap lingkungan sekitarnya.

Kapitalisme-Sekularisme Menghancurkan Generasi

Berbicara soal anak, sejatinya rumah adalah tempat anak beroleh kehangatan, pendidikan terbaik, penjagaan fitrah, termasuk penanaman nilai-nilai moral yang bersumber dari agama, serta tempat anak berlindung dari semua hal yang membahayakan. Namun pada kenyataannya saat ini tak sedikit keluarga yang sudah kehilangan fungsinya.

Selain itu, ekonomi yang sulit, serta gaya hidup yang kian sekular membuat profil keluarga jauh dari kata ideal. Stres sosial membuat peran dan fungsi orang tua menjadi berantakan. Tak heran, jika anak-anak makin kehilangan kesempatan mengasah naluri dan akal mereka dengan nilai-nilai kebaikan. Wajar pula jika sedikit paparan negatif saja dengan mudah mempengarhi cara pandang anak-anak tentang kehidupan, termasuk berpengaruh terhadap standar perbuatannya.

Kondisi ini menjadi semakin parah, ketika corak masyarakat yang tidak ramah bagi tumbuh kembang anak-anak. Berkembangnya budaya permisif, individualistik, dan liberal, serta hilangnya fungsi kontrol sosial di tengah masyarakat membuat lingkungan bak hutan belantara yang terisi dengan hewan-hewan yang sangat buas. Berbagai bahaya siap mengintai, dan keburukan pun begitu merajalela.

Kemudia menjadi sangat kompleks ketika beban kurikulum penid yang makin berat serta metode pembelajaran yang jauh dari ideal juga alih-alih bisa meng-upgrade kepribadian mereka, malah menjadi tekanan tersendiri yang membuat kehidupan anak kian tidak tentu arah, bahkan tidak sedikit yang terkena penyakit mental bahkan sebagian menjadi generasi strawberry atau generasi yang lembek.

Kondisi negara yang kian karut marut menambah buram potret kehidupan anak. Kebijakan-kebijakannya yang destruktif di berbagai bidang kehidupan membuat fungsi-fungsi perlindungan anak dari keluarga dan masyarakat, termasuk sekolah, benar-benar tidak jalan.

Negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang memproduksi kemiskinan dan jurang sosial yang makin lebar. Negara pula yang menerapkan sistem pergaulan ala sekular-liberal yang minus nilai moral. Negara sibuk ribut tentang radikalisme namun abai dengan berbagai kerusakan yang makin liar di media sosial.

Tidak dimungkiri, sistem yang diterapkan negara hari ini bukan habitat ideal bagi anak-anak umat ini. Paradigma sekularisme yang mendasarinya begitu mengagungkan kebebasan atas nama HAM. Peran agama benar-benar disingkirkan. Nilai-nilai moral dipandang sebagai urusan personal yang terlarang bagi negara untuk mencampurinya.

Negara bahkan tidak memandang masalah ini sebagai perkara yang harus segera diberi solusi pasti. Terbukti agama yang menjadi kunci kemuliaan justru diotak-atik dengan narasi moderasi dan deradikalisasi. Padahal Islam yang seharusnya dimoderasi dan dideradikalisasi, sejatinya adalah Islam yang toleran terhadap nilai-nilai Barat yang sekuler dan mengagungkan hak asasi(baca: Islam Liberal). Termasuk hak asasi untuk berbuat semaunya dan berdampak menyebarluaskan kerusakan. Bukan ajaran Islam Kafah.

Perlindungan Anak dalam Islam

Islam telah menjamin perlindungan dan kesejahteraan bagi setiap anak dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Secara komprehensif, ada tiga pihak yang bertanggung jawab terhadap perlindungan anak, yaitu individu (baca: keluarga), masyarakat, dan negara.

Pertama, Keluarga. Pada dasarnya, beban perlindungan dan pemenuhan kesejahteraan asalnya berada di pundak masing-masing individu. Akan tetapi, dalam konteks keluarga, Islam telah membebankan tanggung jawab ini kepada setiap kepala keluarga, yakni para ayah atau suami dengan memerintahkan mereka bekerja mencari nafkah dan juga menjaga keluarganya dari keburukan.

Allah Swt. Berfirman:
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS An-Nisa’: 34)

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS At-Tahrim: 6)

Seorang ayah adalah pemimpin dalam rumahtangga. Ia diperintahkan untuk menjaga keluarganya dari jilatan api neraka. Oleh karenanya, telah sangat jelas dan tegas bahwa orang tua, terlebih ayah, berkewajiban menjaga dan melindungi keluarga dari segala macam kemaksiatan maupun mara bahaya.

Kedua, masyarakat. Islam telah mengajarkan bahwa seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Ajaran ini akan menjadi tenaga penggerak munculnya kepekaan dan solidaritas atas dasar iman. Seorang muslim tentu tidak akan berdiam diri ketika melihat saudaranya lalai dalam melindungi anak-anaknya atau membiarkan anak-anaknya telantar, dan semisalnya.

Dalam Islam, kepedulian terhadap sesama, juga kebiasaan untuk saling menasihati dan tolong-menolong, merupakan bagian dari sifat-sifat seorang muslim yang baik. Bahkan, amar makruf nahi mungkar dan berdakwah merupakan kewajiban bagi setiap muslim.

Allah SWT, berfirman:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS At-Taubah: 71)

Ketiga, negara. Dalam hal ini, negara berkewajiban menerapkan hukum Islam secara sempurna—kafah—di tengah masyarakat. Negara akan menjaga agar segala pemikiran yang bertentangan dengan Islam tidak berkembang di tengah umat dan mengganggu proses tumbuh kembang dan berpikir anak. Dengan demikian, umat Islam (termasuk anak-anak) akan terjaga dari pemikiran yang rusak dan merusak, termasuk ide kapitalisme sekuler maupun moderasi Islam.

Di samping itu, negara akan menjamin terselenggaranya sekolah atau lembaga pendidikan yang menjadikan akidah Islam sebagai asasnya. Kebersihan dan kemurnian pemikiran umat akan terjaga dan tidak terkotori oleh pemikiran rusak.
Negara juga akan mengontrol rakyatnya sehingga tidak akan ada ayah atau ibu yang melalaikan kewajiban melindungi anak-anak dan keluarganya. Selain itu, negara akan memberikan sanksi terhadap orang tua yang lalai melindungi anaknya, juga memaksa ayah yang tidak menafkahi istri dan anak-anaknya untuk menafkahi orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya itu.

Dalam Islam, negara bertindak sebagai pemelihara dan pengatur urusan umat dan bertanggung jawab mewujudkan kemaslahatan bagi mereka melalui penerapan hukum Islam kafah.

Rasulullah saw. bersabda, “Dan imam yang memimpin manusia adalah laksana seorang penggembala, dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR Muslim)

Tak dimungkiri bahwa kita wajib melindungi anak-anak kita dan anak-anak muslim lainnya dari berbagai keburukan, entah itu pemikiran maupun tingkah laku yang menyimpang. Kita pun harus waspada terhadap berbagai seruan atau pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam yang mengatasnamakan perlindungan anak. Kita semua bertanggung jawab terhadap anak-anak kita (generasi muda muslim). Sebab, ditangan merekalah tergenggam masa depan umat yang akan mengantarkan kepada kebangkitan. Wallahu a’lam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 22

Comment here