Oleh: Ayu Hamzah
Wacana-edukasi.com, OPINI–Pidato menteri keuangan Sri Mulyani perihal pajak dan zakat dinilai sebagai perumpamaan yang keliru, beliau beranggapan bahwa zakat dan pajak merupakan dua subjek yang memiliki hukum kewajiban sama untuk ditunaikan. Dampak dari pernyataan tersebut dikhawatirkan akan menjadi framing positif betapa mulianya membayar pajak yang sejajar dengan kewajiban membayar zakat bagi muslim yang mampu.
Padahal situasi saat ini, rakyat benar-benar sulit bertahan hidup akibat tekanan perekonomian dalam negeri dan global yang terus memburuk. Lantas, bagaimana sejatinya Islam sebagai agama sekaligus ideologi politik dalam menilai masalah ini?
Dikutip dari situs cnbcindonesia.com (14/08/2025), menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan pidatonya pada acara Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI. Dalam sesi pidatonya beliau menyinggung terkait kewajiban pajak yang hasilnya sama dengan diadakannya zakat. “caranya hak orang lain itu diberikan ada yang melalui zakat, ada yang melalui wakaf, ada yang melalui pajak. Dan pajak itu kembali kepada yang membutuhkan. Kami sampaikan 10 juta keluarga tidak mampu diberikan program keluarga harapan. Bahkan diberikan tambahan sembako untuk 18 juta keluarganya” Ujar Sri Mulyani saat memberikan pidatonya pada 13 Agustus 2025 lalu.
Dalam hal ini, tidak dapat dibenarkan bahwa mengaitkan persoalan pajak dengan zakat sebagai sebuah kesamaan hukum. Sebab makna yang terkandung antara keduanya menyiratkan makna yang berbeda terlebih lagi pada sistem pemerintahan saat ini yang tidak berlandaskan aturan Islam. Islam sebagai agama sekaligus ideologi telah menjabarkan fungsi dari keberadaan pajak dengan seimbang. Keduanya memang pernah digunakan pada masa pemerintahan Islam sekitar 100 tahun yang lalu, namun sama sekali tidak mendatangkan aksi protes dari masyarakat atas kebijakan yang ada. Hal diatas terjadi karena kesalahan defenisi masing-masing kebijakan, berikut penjabaran lebih lanjut.
Pajak dalam Pandangan Kapitalisme
Pajak dalam kubungan sistem ini, berasaskan pada pemikiran sekuler dimana Negara tidak menjadikan agama sebagai aturan berpolitik. Pada sistem kapitalis ini pajak dijadikan alat untuk meningkatkan perekonomian Negara sebagai pemasukan tetap. Pajak juga diatur sebagai sumber utama pendapatan Negara sehingga. Menurut situs GoodStats.com (12/08/2024), sebanyak 82,4% sumber pendapatan Negara berasal dari pajak, hal ini sebagaimana diungkapkan berdasarkan informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Pajak menurut fikih Islam dikenal dengan nama dharibah. Al-Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan defenisi apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang diluar kewajiban syara. [Mu’jam Lughat al Fuqaha’, hal.256]. Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefenisikan pajak yakni harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Muslim untuk membiayainya [al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal.129].
Negara Khilafah menetapkan beberapa sumber keuangan negara yang akan menjadi hak kaum muslim, (1) Fa’i [Anfal, Ghanimah. Khums], (2) Jizyah, (3) Kharaj, (4) Usyur, (5) Harta milik umum yang dilindungi negara, (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) Khumus Rikaz dan tambang, (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) Harta orang murtad.
Keberadaan pajak di atas merupakan pendapatan Negara yang bersifat pasti dan tetap, sedangkan yang boleh diadakan karena situasi tertentu juga diatur dalam Islam atau disebut pendapatan tidak tetap. Pendapatan tidak tetap bersifat instrumental dan insidental. Dikatakan instrumental karena akan diadakan pada setiap kaum muslim untuk memikul kewajiban pembiayaan baitul mal jika terjadi kekosongan pemasukan, dalam hal ini bersifat fardhu kifayah. Pada kasus ini, pajak juga disebut insidental karena tidak dipungut permanen tergantung pada kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’.
Syara’ menetapkan semata sebagai bentuk dari penanganan kekosongan kas Negara atau baitul mal yang jika tidak ditangani seperti di atas maka akan menimbulkan dharar bagi seluruh kaum muslim. Disaat situasi inilah, Islam membolehkan instrumen pajak yang dikelola Negara Khilafah kepada seluruh pundak kaum muslim namun dengan catatan sampai pemenuhan kebutuhan publik teratasi.
Kewajiban wajib pajak dalam Islam hanya berlaku pada orang yang mampu saja, perhitungannya dikenai membayar pajak jika setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder dirinya masih ada kelebihan, maka dikurangi biaya kehidupan pokok dan sekunder istri juga anaknya, jika masih ada kelebihan lagi, maka dikurangi kebutuhan pokok dan sekunder orang tua, saudara atau mahram yang menjadi tanggungan nya. Jika semua kalkulasi tadi masih menyisakan kelebihan, maka akan ditarik pajak dari orang tersebut. Namun jika tidak memenuhi dari perhitungan awal, maka pajak sepersen pun tidak akan ditarik darinya.
Zakat dan Wakaf
Sebagaimana tercantum dalam rukun iman, selain hukumnya wajib, zakat mengatur bagaimana pengelolaan zakat hingga sampai di tangan penerimanya. Tata cara zakat telah ditetapkan langsung oleh Allah SWT. kriteria bagi pengeluar zakat telah disebutkan Rasulullah SAW. Dalam hadis dari Ibnu Umar r.a, “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebesar satu sha’ kurma atau satu sha’ syair atas seorang hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, baik besar (dewasa) maupun kecil dari kaum muslim, dan beliau (Rasulullah SAW.) memerintahkan agar dikeluarkan sebelum orang-orang keluar menunaikan shalat (idul fitri)”. (Mutaffaqah ‘Alaihi).
Wakaf berasal dari kata waqafa-yaqifu-waqf[an] bentuk jamaknya awqaf. Menurut bahasa berarti habbasa (menahan/menghalangi), seluruhnya bermakna menahan atau menghalangi. Para fukaha mendefenisikan wakaf (al-waqf) sebagai tahbis al –ashl wa tasbil ats-tsamrah ‘ala birr[in] aw qurbat[in] atau menahan asal (pokok harta) dan mengalirkan (mendermakan) buah (hasil, manfaat atau kegunaannya) untuk kebaikan atau kerabat. Maksud dari menahan atau menghalangi adalah menahan harta dari kepemilikan oleh seseorang atau suatu pihak, baik yang mewakafkan atau yang lain.
Wakaf harus memenuhi beberapa aturan yaitu dari pihak yang mewakafkan harus meniatkannya sebagai bentuk taqarrub kepada Allah sehingga ia wajib muslim, tidak bisa menerimanya dari non muslim, selain itu harta wakaf haruslah zat nya halal, bertahan lama jika diambil manfaatnya.
Demikian bagaimana Islam sangat mengatur baik pajak, zakat dan wakaf sesuai apa yang diterangkan syariat. Negara Islam menentang pemungutan pajak yang dikelola untuk kepentingan publik secara permanen semisal yang disebutkan Sri Mulyani di atas, terlebih yang ditujukan untuk ditarik pajak tidak memenuhi kriteria, yang sekarang ini banyak dari kalangan tidak mampu justru sebaliknya para oligarki kaya mudah lepas dari pengawasan penarikan pajak.
Pentingnya memahami Islam dengan segala aturan yang telah dijabarkan pada kitab suci Al-Qur’an dan hadist, tentunya kita tidak akan kehilangan arah dan hidup sesuai fitrah manusia itu sendiri dengan rahmat dan karunia Allah SWT karena patuh pada perintah juga larangan-Nya. Wallahu a’lam bishowab.
Views: 6
Comment here