Opini

Penghapusan Tenaga Honorer, Harapan atau Ancaman?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Yosi E. Purwanti (Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com– Status Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih menjadi mimpi sebagian Tenaga Honorer. Dari Juni 2021, terdapat sebanyak 410.010 orang tenaga honorer yang bekerja di instansi pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) akan menghapus status tenaga honorer di pemerintahan mulai 2023.

Penghapusan pegawai honorer sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang manajemen PPPK.
Melalui kebijakan ini pemerintah mencanangkan hanya akan ada 2 pegawai pemerintahan yakni Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).

Namun masih ada status lain di luar PNS dan PPPK, yaitu tenaga alih daya yang direkrut melalui pihak ketiga (swasta) atau pekerja outsourcing dengan beban biaya umum, bukan lagi biaya gaji. Status ini diperuntukkan bagi pekerjaan-pekerjaan yang sangat dasar di instansi pemerintahan, seperti petugas keamanan dan kebersihan.

Lantas apakah kebijakan tersebut akan menjadi harapan baru bagi para tenaga honorer ataukah sebaliknya, menjadi ancaman baru?

Menilik Kebijakan  Penghapusan Tenaga Honorer

pemerintah menghentikan rekrutmen tenaga honorer mulai 2023 adalah karena rekrutmen tenaga honorer mengacaukan kebutuhan formasi ASN di instansi pemerintah. Rekrutmen yang terus-menerus dilakukan, membuat permasalahan akan tenaga honorer menjadi tak berkesudahan.

Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo, Para eks tenaga honorer itu pun tetap diberi kesempatan masuk ke dalam pemerintahan, tapi harus mengikuti seleksi dalam bentuk PPPK maupun CPNS.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 48 tahun 2005 tenaga honorer bisa di angkat menjadi PNS dengan syarat lamanya masa pengabdian. Jika belum memenuhi syarat tersebut, tenaga honorer dapat mengikuti seleksi CPNS dengan syarat

Minimal pendidikan S-1 (untuk perawat/bidan minimal D-3), Maksimal berusia 35 tahun, Usia paling rendah 20 tahun, Tidak pernah dipidana penjara, Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat, Bukan anggota atau pengurus partai politik maupun terlibat dalam politik praktis, Memiliki kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikasi, Sehat jasmani dan rohani.

Namun tidak ada jaminan pasti seluruh tenaga honorer yang ikut seleksi CPNS atau PPPK akan diangkat menjadi ASN. Bahkan meski pemerintah telah mengupayakan sebagian tenaga honorer menjadi PPPK lewat seleksi, namun tetap saja hal itu masih menyisakan keresahan.

Pasalnya pergantian dari tenaga honorer menjadi PPPK melalui seleksi bukan tidak mungkin malah menciptakan pengangguran baru. Hal ini karena banyak tenaga honorer yang kehilangan mata pencarian mereka pun tidak ada lagi alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk gaji honorer.

Rakyat khususnya para honorer akan kembali menelan pil pahit hasil dari kebijakan pemerintah. Kebijakan yang di dapatkan dari perkawinan dengan ideologi kapitalisme. Hubungan antara penguasa dan rakyat mendasarkan pada asas untung dan rugi. Hitung-hitungan secara ekonomi berlaku, rakyat hanya menjadi beban negara jika masih harus didanai atau disubsidi oleh kas negara.

Islam Menjamin para Tenaga Kerja

Di dalam setiap laki-laki baligh memiliki kewajiban untuk bekerja. Dari Jabir, Rasulullah SAW bersabda ketika haji wada’:

“Bertakwalah kepada Allah pada penunaian hak-hak para wanita, karena kalian sesungguhnya telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah…Kewajiban kalian bagi istri kalian adalah memberi mereka nafkah dan pakaian dengan cara yang baik”(HR Muslim no. 1218)

Sehingga dalam Islam, negara wajib menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya, terkhusus bagi setiap rakyat yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya, dalam hal ini laki-laki.
ASN dalam negara Khilafah adalah pegawai negara yang akan mendapat upah dengan akad ijarah (kontrak kerja) dengan gaji layak sesuai jenis pekerjaannya.

Sebagaimana gambaran kehidupan guru di masa pemerintahan Umar bin Khaththab. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari Al-Wadhiah bin Atha, bahwasanya pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab, ada tiga guru di Madinah yang mengajar anak-anak. Setiap guru mendapat gaji 15 dinar (1 dinar=4,25 gram emas; 15 dinar=63,75 gram emas).

Bila saat ini 1 gram emas Rp500 ribu, berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp31.875.000. Tentunya tidak memandang status guru tersebut PNS ataupun honorer, bersertifikasi atau tidak. Yang jelas, mereka adalah tenaga kerja.

Demikianlah Islam sangat mensejahterakan rakyatnya melalui kebijakan-kebijakan yang sesuai syariat. Sistem tersebut dinamakan Khilafah Rasyidah Islamiyah.

Wallahu a’lam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 9

Comment here