Oleh : Riena Enjang (Pegiat Dakwah)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Pengentasan kemiskinan adalah suatu keharusan. Hal ini untuk mengangkat manusia dari kesengsaraan. Pun, menjaga rakyat dari kewarasan. Akankah kekuatan global mampu merealisasikan? Atau justru akan menajamkan jurang kesenjangan?
Dilansir dari mediaindonesia.com (17/10/24), hari Pengentasan Kemiskinan Internasional diperingati setiap 17 Oktober. Momen ini merupakan panggilan bagi setiap individu atau kolektif untuk berperan aktif dalam mengentaskan kemiskinan. Setidaknya ada tujuh program yang akan dijalankan Global dalam mengentaskan kemiskinan dunia.
Pertama, mengadakan aksi solidaritas yang bertujuan untuk menggalang dana, dan meningkatkan kesadaran tentang kondisi kemiskinan yang terus merosot saat ini. Kedua, melakukan kolaborasi antara lintas negara, pemerintah, dan swasta untuk melakukan proyek pembangunan berkelanjutan. Langkah ini untuk meningkatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak.
Ketiga, melakukan inovasi teknologi digital. Seperti program inklusi finansial berbasis teknologi yang akan membantu daerah terpencil mengakses perbankan, untuk pinjaman mikro. Keempat, meningkatkan pendidikan. Dalam hal ini, beberapa organisasi internasional seperti UNESCO, dan UNICEF akan memimpin menyediakan akses pendidikan dasar gratis, terutama bagi perempuan yang sering menjadi korban ketidakadilan gender.
Kelima, kebijakan mendukung kelompok rentan. Program jaminan sosial ini meliputi tunjangan pengangguran, asuransi kesehatan, bantuan perumahan bagi orang miskin, juga subsidi pangan, air bersih, dan bantuan langsung tunai(BLT). Keenam, tidak hanya seremonial, tetapi melakukan tindakan nyata.
Pengentasan Kemiskinan Indonesia
Sebagai negara yang menerapkan ideologi kapitalisme, tentu Indonesia harus tunduk pada setiap kebijakan global (Barat). Untuk program pengentasan kemiskinan, melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), pemerintah berencana menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) yang akan digunakan khusus untuk mendanai proyek-proyek terkait Sustainable Development Goals (SDGs). Dalam upaya mencapai 17 tujuan SDGs, pemerintah juga akan menerbitkan berbagai jenis Surat Berharga Negara (SBN) pada tahun 2024, termasuk ORI, Sukuk Ritel, Sukuk Tabungan, Savings Bond Ritel, dan Sukuk Wakaf Ritel.
Walaupun target dana belum ditentukan, diperkirakan nilai penerbitan ORI akan mencapai Rp15 triliun. Kebijakan ini adalah dampak kapitalisme global di Indonesia, di mana penerbitan surat utang bertujuan menarik investasi. Selain itu, pemerintah menargetkan pengumpulan dana sebesar Rp666,4 triliun melalui 24 penerbitan SBN pada tahun 2024. Dana ini juga bertujuan mendorong partisipasi masyarakat, terutama generasi muda, dalam investasi berbasis utang.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah agenda global untuk mengatasi masalah sosial, ekonomi, dan lingkungan, termasuk pengentasan kemiskinan dan perlindungan lingkungan. Untuk itu, pemerintah Indonesia menggunakan SBN sebagai alat pembiayaan, seperti ORI dan Sukuk, untuk menarik investasi dari masyarakat.
Dana yang terkumpul untuk mendukung proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, seperti infrastruktur, dan ekonomi biru. Namun, strategi ini mendapat kritik karena meningkatkan ketergantungan pada utang, dan berpotensi mendorong masyarakat pada investasi berbasis riba.
Kebobrokan Model Ekonomi Kapitalisme
Penerbitan SBN sebagai sarana pembiayaan APBN, dan mendukung pencapaian tujuan SDGs menyebabkan utang negara melonjak mencapai Rp8.319,22 triliun pada Maret 2024. Meski SBN dimaksudkan untuk menarik investasi, hal ini dianggap sebagai cara untuk menutupi penumpukan utang. Sementara itu, kekayaan alam Indonesia terus dikuasai oleh segelintir kelompok saja.
Meskipun pemerintah berkomitmen mencapai 17 tujuan SDGs, masalah mendasar seperti kemiskinan, kelaparan, dan tingginya biaya pendidikan tetap banyak. Data menunjukkan 25,22 juta orang hidup dalam kemiskinan dan Indonesia memiliki tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara. Hampir sepuluh tahun, hasilnya jauh dari harapan. Hal ini karena kebijakan yang diterapkan bersifat jangka pendek.
Semua itu menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang diadopsi dari Barat ini justru memperburuk kemiskinan dan kesenjangan sosial. Untuk itu, solusi yang ditawarkan harus menyeluruh dan sistemis, bukan sekadar menambah utang, atau memakai pendekatan tambal sulam seperti penerbitan utang untuk membiayai anggaran.
Kapitalisme memiliki kelemahan mendasar sehingga pengentasan kemiskinan sering gagal. Hal ini karena cenderung memperkaya segelintir pihak, menciptakan ketergantungan pada utang, serta memprioritaskan keuntungan dari pada kesejahteraan masyarakat. Akibatnya, SDA dieksploitasi demi kepentingan korporasi, akses pendidikan dan peluang kerja terbatas bagi mereka yang mampu, dan jaminan sosial bagi masyarakat miskin lemah.
Kapitalisme juga memperburuk siklus kemiskinan antar generasi karena tidak memberikan dukungan yang cukup dalam pendidikan, kesehatan, atau modal usaha. Solusinya pun hanya jangka pendek, tidak menyentuh akar akar masalah, sehingga tidak efektif. Kebijakan seperti Penerbitan SBN, sejatinya langkah bahaya yang diambil pemerintah. Hal ini karena SBN merupakan bentuk utang dalam negeri, di mana pemerintah meminjam dana dari individu atau perusahaan untuk membiayai APBN. Dalam Islam, Allah Swt. berfirman,
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّ ۗ ذٰلِكَ بِاَ نَّهُمْ قَا لُوْۤا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰوا ۘ وَاَ حَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰوا ۗ فَمَنْ جَآءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَا نْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَ ۗ وَاَ مْرُهٗۤ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَا دَ فَاُ ولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّا رِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri, melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (TQS. Al-Baqarah : 275)
Menciptakan Ekonomi Berkelanjutan Tanpa Utang
Islam memiliki mekanisme APBN yang berbeda dengan sistem kapitalisme. Sistem Islam memiliki 11 sumber pendapatan negara yang tidak bergantung pada pajak atau utang. Akan tetapi berasal dari mekanisme distribusi kekayaan yang lebih adil. Sumber-sumber tersebut meliputi zakat, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, harta milik umum (SDA), harta milik negara. Selain itu, juga dari warisan tanpa ahli waris, denda atas pelanggaran syariah, pendapatan dari usaha milik negara, dan sedekah atau hibah.
Dalam sistem ini, negara mengelola kekayaan untuk kepentingan masyarakat, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. SDA misalnya, merupakan harta milik rakyat, dan digunakan hanya untuk kesejahteraan rakyat. Sistem Islam juga menghindari utang berbasis riba, sehingga tidak membebani masyarakat dengan bunga atau investasi asing. Dengan distribusi yang langsung menyasar masyarakat miskin, sistem Islam menawarkan solusi mengentaskan kemiskinan tanpa ketergantungan pada utang atau pajak.
Dengan demikian, pengentasan kemiskinan ala kapitalisme hanya ilusi. Bahkan, hanya akan menjerat negeri-negeri jajahannya dengan utang berbunga. Oleh karena itu, umat harusnya menyadari bahwa watak Barat adalah penjajah, maka sampai kapan pun akan menjajah. Global yang dikomandoi Barat, seolah memberi solusi kemiskinan, tetapi sejatinya mereka berusaha menguasai perekonomian.
Views: 9
Comment here