Oleh: Listia K. (Penggiat medsos)
“Seperti menegakkan benang basah”
Wacana-edukasi.com — Mungkin inilah peribahasa yang tepat untuk mewakili keadaan saat ini. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pekan ini memperlihatkan bagaimana hukum diterapkan di negeri ini. Sulit untuk menemukan keadilan.
Kasus penangkapan HRS, seorang ulama pimpinan organisasi massa yang dilakukan oleh pihak kepolisian dinilai berbagai pihak sebagai penyalahgunaan hukum dan wewenang. Diketahui, Penyidik Kepolisian Polda Metro Jaya menetapkannya sebagai tersangka kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat. Polisi menjeratnya dengan dengan Pasal 160 KUHP tentang hasutan melakukan perbuatan pidana dan pasal 216 KUHP tentang melawan petugas. Dengan dua pasal tersebut, beliau terjerat hukuman lebih dari 6 tahun penjara.
Pakar Hukum Tata Negara (Refly Harun) menilai, pasal tentang penghasutan yang tujukan kepada ulama tersebut mengada-ngada.
“Jadi Pasal 160 yang ancamannya 6 tahun itu juga rasanya dari perspektif saya juga mengada-ngada. Proses yang terjadi ini seolah-olah dipaksakan agar yang bersangkutan ditahan,” ujar Refly dalam sebuah video yang diunggah pada saluran Youtube pribadinya. (Minggu, 13 Desember 2020)
Ditempat lain, seorang Anggota Komisi II DPR (Nasir Djamil), kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (12/12/2020) mengatakan harapannya kepada aparat kepolisian agar dapat berlaku adil dalam proses hukum HRS, karena beliau pun punya hak untuk diperlakukan setara di depan hukum.
“Dan tidak dikriminalisasikan,” tegasnya.
Bukan tanpa alasan beberapa pengamat dan sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa kasus ini dipaksakan. Karena faktanya, sebelum kasus ini dibawa ke meja hijau, sudah banyak terjadi pelanggaran kekarantinaan dan adanya kerumunan yang hanya diberi sanksi peringatan tanpa adanya penahanan bagi para pelaku. Yang terbaru, adanya agenda Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang dilaksanakan di setiap wilayah luput dari sanksi, meskipun tidak sedikit petugas KPUD dinyatakan positif Covid-19. Tidak ada satu pun yang dikategorikan sebagai tindak pelanggaran hukum.
Sungguh ironi, inilah potret hukum yang sedang berlaku di negeri yang mengaku sebagai Negara Hukum. Kasus di atas merupakan sebagian kecil yang memperjelas bagaimana hukum tebang pilih dan sesuai pesanan orang yang berkepentingan. Para petinggi pemerintah beserta aparat penegak hukum dengan mudah mengubah hukum sesuai dengan kepentingan dan kemauan penguasa.
Allah berfirman:
“Wahai Daud, sesungguhnya engkau Kami jadikan sebagai Khalifah (penguasa) di bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia secara adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapatkan azab yang berat disebabkan karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S Shad: 26).
Sebagaimana yang dinyatakan dalam firman Allah di atas bahwa kita diperintahkan berlaku adil dan tidak mengikuti hawa nafsu, tentunya akan sulit ketika yang menjadi sumber aturan yang digunakan berasal dari sistem demokrasi sekuler yang menjadikan akal manusia yang berhak membuat hukum atau aturan termasuk merubah undang-undang sesuai dengan kehendaknya. Menurut para pengusungnya, demokrasi merupakan pemerintahan rakyat (dari, oleh, dan untuk rakyat). Rakyat dijadikan pemegang kekuasaan.
Namun kenyataannya, para elite kekuasaan tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal). Berlomba-lomba dalam mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan cara apapun. Prinsip inilah yang akhirnya menjadikan individu menolak diatur dengan aturan agama. Memisahkan agama dari lini kehidupan. Perilaku ini berpengaruh pada peraturan dan penerapan hukum. Kekuasaan pemerintah tanpa didasari agama inilah tidak akanmampu membentuk masyarakat yang adil, beradab, dan berahlak. Bahkan seringkali menimbulkan banyak kejahatan, pelanggaran, dan masalah-masalah baru lainnya.
Kerusakaan inilah yang akhirnya mengikis kepercayaan rakyat kepada pemerintah dan para aparat penegak hukum. Sehingga tidak menutup kemungkinan rakyat menuntut perubahan tidak lagi menginginkan berada dalam sistem demokrasi yang rusak ini.
Allah Swt. berfirman:
\“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu para penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Q.S Al-Maidah: 8)
Belajar dari kepemimpinan Rasulullah, pada masa itu kaum muslim dan nonmuslim, laki-laki atau perempuan, kaya ataupun miskin semua sama di mata hukum dan tidak pandang bulu. Bahkan keluarga para pemangku kekuasaan sekalipun diperlakukan dan mendapat hukuman yang sama jika melakukan pelanggaran.
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, beliau menceritakan:
“Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) diantara mereka yang mencuri,maka mereka biarkan (tidak dihukum), namun jika yang mencuri adalah orang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR. Bukhari no. 6788 dan Muslim no.1688)
Islam mengambil hukum hanya dari Al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum sempurna. Para pemimpin negara dalam sistem Islam (khalifah) merupakan pemimpin terbaik yang menjaga hukum-hukum Allah agar senantiasa diterapkan dalam semua lini kehidupan. Serta memastikan tidak ada aturan selainnya. Sistem Islam pula yang melahirkan para pemimpin yang taat dan bertakwa. Menjadi pelindung dan pengurus rakyatnya, serta menjamin keadilan bagi seluruh rakyatnya. Semua keputusan peradilan didasarkan pada hukum Allah, sehingga tidak ada hukum yang dibuat berdasarkan kepentingan pribadi atau golongan.
“Demikianlah, wajib atas pemimpin (pemerintah) untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum. Mereka tidak boleh memihak seorang pun karena hubungan dekat, kekayannya, kemuliaannya di masyarakat (kabilah/sukunya), atau sebab lainnya.” (Syarh Ruyadhus Shalihin, 1/2119, Maktabah Asy-Syamilah).
Aturan ini dapat diterapkan jika didukung oleh pemerintah yang menerapkan sistem Islam dan para penguasa yang hanya takut dan tunduk pada Allah dan hanya mengharap ridha Allah semata.
Wallahu ‘alam bish shawab.
Views: 37
Comment here