Tabligul Islam

Mahkota Untuk Bunda

blank
Bagikan di media sosialmu

By: Messy Ikhsan

“Ayah, pokoknya bunda tetap kekeh mau mengugurkan kandungan ini,” isak seorang wanita sembari memukul perutnya.

Lelaki berjenggot itu mengenggam jemari istrinya. “Bunda sayang, duduk dulu. Tenangkan pikiranmu.”

Lalu wanita itu duduk di samping suaminya. “Ayah ngga bisa lagi menahan keinginanku.”

“Bunda tahu, kalau menggugur bayi secara sengaja adalah dosa besar. Allah akan menempatkan pelakunya kekal dalam neraka,” jelas lelaki itu.

“Ayah ngga pernah paham bagaimana perasaan bunda sebagai seorang perempuan. Ayah jahat!” teriak wanita itu seraya makin kencang memukul perut.

Seketika datang seorang wanita berseragam serba putih menghampiri pasangan tersebut.

“Demi kenyamanan pasien di rumah sakit ini. Saya sebagai suster mohon maaf kepada bapak dan ibu untuk mengakhiri pertengkaran ini. Jika ada masalah keluarga, silakan diselesaikan di luar rumah sakit,” pinta suster.

“Iya, Sus. Maafkan saya dan istri yang menganggu kenyamanan rumah sakit. Saya permisi dulu, assalamu’alaikum.” Lelaki itu bersama dengan istrinya berlalu meninggalkan rumah sakit.

*

Ketika matahari bersenandung dengan hangat. Mengintip di balik jendela setiap rumah. Memberi penerangan untuk kehidupan. Langit membiarkan hamparan biru melebar lepas. Mencoba memberi kabar bahagia bagi hati yang tengah berduka. Ketika gunung-gunung terjaga. Berbaris rapi menyambut kedatangan cahayanya. Lembutnya angin mulai menyapa. Merasuki setiap lapisan kulit yang tak berdosa.

Pagi nan indah. Bila hati manusia mampu melihat dengan cermat. Betapa hari dimulai tanpa syarat dan tak dipaksa, tanpa pinta dan tak pernah berkeluh kesah. Bila bentuk kedamaian mampu terlukis, hingga siang datang menyapa. Bila langit mampu menghilangkan kesombongan. Tanpa warna gelap yang menganggu pandangan.

“Bunda, makan dulu bubur dan nasinya,” pinta lelaki itu.

“Aku ngga mau makan sebelum ayah mengabulkan permohonanku,” tolak wanita itu sembari memalingkan wajahnya

“Ayah akan mengabulkan semua permohonan bunda kecuali satu hal yang terkait rencana bodoh itu. Maaf, perkara itu sampai kapan pun tidak bisa aku kabulkan,” jelas lelaki itu.

“Ayah jahat! Kalau seperti itu yang kamu inginkan. Baik, aku sampai kapan pun ngga akan makan-makan. Sebelum kamu mengabulkan permohonanku. Itu kan yang kamu mau, ingin melihat aku meninggal bersama anak dalam kandungan ini.” Wanita itu melangkah meninggalkan suaminya.

“Bunda … ingat Allah, perbanyak istigfar!”

*

“Alif Sayang, nanti mainnya sama Bi Mina. Ayah mau ke kantor dulu, kerja cari uang untuk Alif dan bunda. Satu lagi jangan ganggu bunda sedang istirahat ya. Assalamu’alaikum,” ucap lelaki itu seraya berlalu meninggalkan rumah.

“Walaikumsalam. Ayah hati-hati dijalan. I love you,” jawab Alif.

“Bi, tolong antarkan Alif ke kamar bunda. Alif bawa lihat kondisi Bunda.”

“Jangan ya, Nak. Ibuk sedang sakit, butuh istirahat,” tolak Bi Mina.

“Bi Mina ngga sayang Alif. Ngga masalah, Alif bisa pergi sendiri ke kamar bunda,” pinta Alif sembari mendesak Bi Mina.

“Aduhhh … Bi Mina takut nanti Alif jatuh atau kesandung benda. Baik, bibi antar tapi Alif tidak boleh nakal. Janji?” Bi Mina melingkarkan kelingkingnya dengan Alif.

“Janji.” Alif melingkarkan jari kelingkingnya dengan Bi Mina.

Ada banyak imajinasi di tiap sisi ruang ini. Lebarnya begitu meruang penuh hati. Dari percik air yang mengalir tiada henti. Sejuta kenangan tertinggal di balik kokohnya dinding. Ada luka dan suka, ada bahagia dan ada sengsara. Semua menyatu pada di pesegi empat ini.

“Bunda, bangun. Di sini ada Alif yang akan menjaga bunda sampai sehat,” ucap Alif.

Perlahan wanita itu membuka matanya. “Kamu siapa? Jangan mendekat, saya tidak kenal denganmu.”

“Bunda kok bicara gitu sama Alif? Alif kan anak bunda satu-satunya.” Alif memegang tangan wanita itu.

“Saya ngga punya anak, saya jijik melihat kamu. Pergi sana!” Wanita itu mendorong Alif hingga terjatuh.

“Aduhhhh ….” Alif menjerit, tak kuat menahan sakit.

“Nak Alif ngga apa-apa, kan?” ucap Bi Mina sembari membantu Alif berdiri.

“Kenapa bunda ngga mau mengakui Alif sebagai anak?” isak tangis Alif pun pecah.

“Saya malu punya anak sepertimu. Buta, ngga ada berguna sama sekali. Hidupmu hanya menyusahkan hidup saya. Saat saya hamil dan mengetahui bahwa kamu cacat. Semenjak saat itu saya ngga pernah mengharapkan kehadiranmu di rumah ini,” jelas wanita itu dengan meradang.

“Tapi kenapa selama 9 tahun ini Bunda masih mengizinkan Alif untuk hidup dan tinggal disini?” tanya Alif penasaran.

“Tanya sana sama ayah kamu. Mina, bawa dia keluar dari kamar saya dan pastikan bahwa dia ngga akan masuk lagi ke sini.”

“Ayo, kita keluar.” Bi Mina menggenggam tangan Alif lalu membawanya keluar dari kamar.

“Bi, maafkan Alif. Gara-gara Alif, Bi Mina jadi ikut dimarahin Bunda.”

“Tidak apa-apa. Seharusnya Bi Mina yang minta maaf sudah bawa Alif ke kamar Ibuk.” Bi Mina mendekap Alif dengan erat.

*

Terik mentari begitu membara. Menghisap semua yang menjadi target cahayanya. Membuat bumi menjadi kaku. Debu-debu melayang dengan bebas. Tak terjaring oleh langit yang tengah menjerit kesakitan.

“Pak Ustaz, terima kasih sudah senantiasa datang ke rumah Alif. Sudi mengajarkan Alif ilmu agama. Selalu sabar menuntun Alif membaca dan menghapalkan al-Qur’an. Padahal Pak Ustaz tahu bahwa Alif cacat dan ngga berguna bagi siapa pun,” jelas Alif.

“Memang siapa yang bilang kalau Alif tidak berguna? Malah Alif sangat berguna bagi Pak Ustaz. Di tengah keterbatasan, Alif mampu belajar dan menghapal al-Qur’an dengan lancar dan cepat. Alhamdulillah, sekarang Alif sudah hafal 30 Juz,” puji Pak Ustadz seraya tersenyum semringah.

“Ngga ada yang bilang seperti itu Pak Ustaz. Alif sadar diri saja dengan keterbatasan yang Alif punya. Alif bahagia Allah kenalkan dengan Pak Ustaz yang baik hati.”

“Oh ya Alif, Jumat besok ada lomba Tahfiz Quran 30 Juz di Bogor. Pak Ustaz saran agar Alif ikut dan beri info ini sama orangtua Alif, atau biar Pak Ustaz yang bicara langsung sama orang tua Alif?” jelas Pak Ustadz.

“InsyaAllah, Alif usahakan ikut. Pak Ustaz tolong daftarkan Alif untuk ikut serta dalam lomba tersebut. Perkara ayah dan bunda, biar Alif yang beritahu sendiri infonya. Terima kasih Pak Ustaz.”

Pak Ustaz melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah sore, Pak Ustaz pulang dulu. Alif jaga diri baik-baik dan rajin mengulang hapalannya. Assalamu’alaikum,”.

“Walaikumsalam.”

*

“Bi, besok Alif mau ikut lomba Tahfiz Qur’an 30 Juz di Bogor. Temani Alif ke sana ya, Bi?” tanya Alif.

“Bi Mina sih mau-mau aja. Tapi, apakah Nak Alif sudah beritahu bapak dan ibuk?” Bi Mina balik bertanya.

“Bi Mina ngga perlu beritahu ayah dan bunda, Alif mau buat kejutan untuk mereka.”

“Tapi, menurut Bi Mina alangkah baiknya Nak Alif beritahu Bapak dan Ibuk. Bi Mina takut nanti terjadi sesuatu yang buruk dengan Nak Alif di sana.”

“Ngga apa-apa, Bi Mina. InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Kan ada Allah, Bi Mina, dan Pak Agung yang menjaga Alif.

“MasyaAllah … Alif anak saleh.”

*

“Selanjutnya peserta dengan nomor dada 13 untuk maju dan naik ke atas panggung,” ucap pembaca acara.

Alif berdiri menghadap dewan juri dengan dituntun oleh Pak Agung.
“Alif, silakan baca dengan benar QS An-Naba,” ujar salah satu dewan juri. “Bismillahirrahmanirrahim … ‘ammayatasaaaa ‘alun ….” Alif membaca ayat tersebut hingga selesai.

“Terima kasih, dan silakan kembali ke tempat,” pinta pembawa acara.

Alif segera turun dari pentas didampingi oleh Pak Agung, lalu memeluk Bi Mina.

“Alhamdulillah Bi, Pak Agung, dan Pak Ustad, Alif lega sudah bisa tampil. Semoga menang dan memberikan mahkota cahaya untuk ayah dan bunda. Ini sebagai karya terbaik yang Alif persembahkan buat mereka.”

“InsyaAllah, Alif pasti menang. Paling terpenting, nilai-nilai dalam Al-Qur’an wajib diterapkan.”

“Saya harus beritahu ibuk dan bapak bahwa Alif sedang ada di sini. Saya takut mereka khawatir,” ujar Bi Mina lirih.

“Bi Mina kok diam saja?” tanya Alif penasaran.

“Tidak apa-apa, Bi Mina bangga sama Alif. Alif anak hebat. Lihat, sebentar lagi mau pengumuman pemenang lomba,” ucap Bi Mina.

“Baik, saat ditunggu pun telah tiba. Kita akan mengumumkan siapa yang akan menjadi pemenang lomba tahfid 30 Juz tahun 2020. Kita mulai dari juara 3 diraih oleh Anisa Fajria, silakan berdiri dan bawa orangtuanya. Selanjutnya juara 2 diraih oleh Muhammad Iqbal silahkan berdiri dan bawa orangtuanya. Dan juara 1 diraih oleh ….” kata pembawa acara yang membuat seluruh orang tegang.

Jantung Alif berdetak dengan kencang seraya berkata dalam hati. “Alif harus menang, ayah dan bunda tunggu Alif bawa karya terbaik untuk kalian.”

“Alif Sanjaya, silakan bawa orangtuanya ke atas panggung.”
Semua sujud syukur. “Alhamdulillah,” ucap Alif sembari berjalan didampingi Pak Agung.

“Inilah pemenangnya. Untuk Alif silakan memberi kesan dan pesannya sebagai pemenang utama. Sebelum itu, orang tua Alif dimana?” tanya pembaca acara.

“Ayah Alif sedang bekerja mencari uang untuk Alif. Dan Bunda Alif sedang sakit. Sejatinya, ayah dan bunda selalu ada didalam hati Alif.”

Ternyata orang tua Alif datang yang berdiri di sudut belakang. Mereka mendengar semua perkataan anaknya.

“Ayah, maafkan bunda selama ini selalu jahat kepada ayah dan Alif. Sekarang bunda sadar bahwa Alif bukanlah anak yang tidak berguna. Malah Alif sangat berarti bagi hidup bunda,” isak wanita itu pecah.

“Ayah dan Alif sudah memaafkan bunda,” jelas lelaki itu.

“Alif … ayah dan bunda datang,” teriak Bi Mina seraya melambaikan tangan.

“Alhamdulillah ayah dan bunda datang,” ucap Alif dengan bahagia.

“Untuk ayah dan bunda Alif silakan naik ke atas panggung, Alif silakan sampaikan kesan dan pesannya,” pinta pembawa acara.

“Alasan Alif untuk melakukan ini semua selain mengharap rida Alah adalah agar ayah dan bunda bisa mndapatkan mahkota cahaya di surga nanti jika Alif bisa menghapalkan al-Qur’an. Hanya ini persembahan terbaik buat ayah dan bunda. Alif sayang ayah dan bunda,” jelas Alif.

“Ayah dan bunda juga sayang Alif,” ucap wanita itu memeluk Alif.

“Alif anak hebat,” puji lelaki itu sembari memeluk Alif.

Semua yang berada diruangan tersebut tak kuasa menahan tangis. Alif bahagia bersama berada dalam pelukan ibunya.

“Bunda, ngga malu lagi punya anak buta seperti Alif. I love you.”

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 40

Comment here