Surat Pembaca

Kontroversi UU KUHP, Sampai Kapan?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Tok! RKUHP pun disahkan oleh DPR pada Selasa, 6 Desember 2022. Ajaibnya, prosesi pengesahan itu hanya dihadiri secara fisik oleh 18 orang anggota dewan dari semua fraksi. Sisanya, 108 orang hadir secara virtual dan 164 orang izin (cnnindonesia.com, 06/12/2022).

Aksi protes dan demonstrasi menolak pengesahan RKUHP terjadi di mana-mana. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menduga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR RI cacat formil (kompas.com, 07/12/2022). Dikatakan cacat formil karena konsep partisipasi dalam prosedur pembuatan UU tidak dipenuhi.

Anggota aliansi dari LBH Jakarta, Citra Referandum mengatakan, terdapat pasal-pasal antidemokrasi di RKUHP. Pasal-pasal ini berpotensi mengekang kebebasan publik dalam berekspresi dan berkumpul. Di samping itu, negara melalui aparat keamanan akan memiliki kewenangan besar dalam menekan masyarakat (bbc.com, 28/11/2022).

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mencatat beberapa pasal bermasalah dan berbahaya dalam RKUHP. Yaitu pasal yang terkait living law (hukum adat), penghinaan presiden, pengadilan dan lembaga negara dan pemerintah, unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Dan pasal karet yang berpotensi sangat lentur lainnya adalah pasal tentang larangan penyebaran marxisme dan leninisme, dan bertentangan dengan Pancasila. Sebab Pancasila selama ini sering jadi alat gebuk rezim untuk memukul lawan politiknya.

Kontroversi Sebuah Keniscayaan

Polemik dan kontroversi akan selalu mengiringi proses pembuatan UU di sistem demokrasi. Keniscayaan itu tersebab didaulatnya manusia dalam membuat aturan yang berlaku bagi sistem kehidupannya.

Fakta bahwa akal manusia yang lemah dan terbatas akan berujung pada keputusan yang takkan mampu menyenangkan semua pihak. Selain itu, produk hukum yang dibuat pun takkan mampu menyelesaikan persoalan hidup manusia, justru menambah persoalan baru. Satu lagi akibat mendaulat manusia membuat UU, produk UU takkan jauh-jauh dari kepentingan penguasa dan kroninya.

Coba lihat UU Omnibus Law, meskipun semua elemen masyarakat menolaknya, tetap disahkan, persis seperti RKUHP. Sistem politik demokrasi menjadikan legalitas kekuasaan pada suara terbanyak. Dan untuk meraih suara mayoritas, diperlukan modal yang sangat besar. Modal besar itu berasal dari pemilik modal. Penguasa akan membuat UU dan kebijakan yang memuluskan kepentingan para pemilik modal. Itulah yang tercermin pada UU Omnibus Law. Adapun di RKHUP, kepentingan untuk melanggengkan kekuasaan diduga kuat menjadi faktor dominan dari pengesahannya.

Demikian tabiat sistem demokrasi. Asas sekuler yang mendaulat manusia membuat aturan, itulah yang menjadi keniscayaan polemik dan kontroversi tak bertepi di setiap produk hukumnya.

Kedaulatan Hanya di Tangan Allah SWT

Berbeda dengan sistem Islam kaffah. Islam meletakkan hak pembuatan hukum kepada Allah SWT Al-Khalik sekaligus Al-Mudabbir. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an surah Yunus ayat 40: “Keputusan itu hanyalah kepunyaan allah,dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia.itulah agama yang lurus.”

Aturan Allah SWT. pasti baik untuk manusia, sebab Allah SWT yang menciptakan manusia dan alam semesta. Sudah pasti Allah SWT. mengetahui segala hakikat yang zahir dan tersirat. Selain itu, Allah SWT. tak memiliki kepentingan apapun selain memfasilitasi manusia menjadi hamba-Nya, sebenar-benar abid. Ini yang akan menihilkan polemik dan kontroversi pada proses pembuatan hukum di sistem Islam.

Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam setiap sistem kehidupan. Khalifah, kepala negara Khilafah, hanya berwenang melegislasi hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Sedangkan majelis umat yang diserupakan dengan dewan perwakilan rakyat di sistem demokrasi, tak memiliki wewenang membuat hukum sebagaimana sistem demokrasi. Majelis umat adalah wadah Khalifah bermusyawarah dan meminta pendapat tentang urusan umat. Majelis umat berhak memberikan aspirasi dan pendapat serta koreksi. Jadi, tak ada hak majelis umat untuk melegislasi bahkan membuat hukum.

Penerapan syariat Islam secara kaffah akan menjamin keadilan, ketentraman dan keberkahan. Wallahu a’lam []

Mahrita Julia Hapsari, M.Pd.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 4

Comment here