Opini

Kekerasan Oleh Remaja, Tanggung Jawab Siapa?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Kemala (Relawan Opini)

wacana-edukasi.com, OPINI– Maraknya kasus kekerasan oleh remaja yang terjadi saat ini menjadi tambahan PR berkepanjangan bagi berbagai pihak yang mestinya terlibat dalam kondisi tersebut. Tidak hanya dari pribadi anak itu sendiri, melainkan orang tua, keluarga hingga negara juga patutnya mengambil peran dalam mengatasi kondisi ini.

Melalui UU No.23 Tahun 2002 telah diamanatkan agar setiap anak mendapatkan pengasuhan yang layak dari orangtuanya. Secara faktual, masih begitu banyak anak Indonesia mendapatkan pola pengasuhan yang tidak layak. Hal ini akan berdampak pada psikis anak yang rentan tersinggung dan putus asa hingga membentuk daya juang yang lemah. Data yang diperoleh melalui laman kemenpppa.go.id (02/04/2022), pada tahun 2020 melalui hasil laporan Susenas oleh BPS, tercatat terdapat 15 povinsi dengan pola pengasuhan yang berada di bawah rata-rata. Sebanyak 3,73 persen balita yang pernah mendapatkan pola pengasuhan tidak layak di Indonesia.

Kabar terbaru, dalam krjogja.com (24/02/2023) kasus penganiayaan yang di alami putra salah satu pengurus pusat GP Anshor David (17) hingga koma oleh anak seorang pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu Rafael Alun Trisambodo, Mario Dandy Satrio (20) berbuntut pada pencopotan jabatan sang ayah. Selain sanksi administrasi (pencopotan jabatan), hukum pidana juga tetap harus dijalankan.

Ketum PBNU mengatakan berangkat dari kasus baru kekerasan oleh anak, maka perlunya ada perhatian orang tua terhadap pola sikap, cara bergaul anak. Khususnya pada anak usia remaja yang perlu mendapatkan bimbingan lebih untuk meminimalisir terulangnya kasus-kasus serupa (20.detik.com, 26/02/2023).

Orang tua sebagai titik tolak terdekat dengan anak merupakan pintu gerbang pembentukan karakter yang dapat menentukan kemana arah perjalanan anak nantinya. Dikatakan bahwasanya orang tua adalah madrasatul ‘ula, sekolah pertama bagi anak, yang mengambil peran utama dalam mengasuh dan mendidik baik dalam persiapannya menjalani kehidupan.

Anak adalah amanah. Mereka adalah kewajiban serta tanggungjawab yang diembankan kepada setiap orang tua. Maka, ketika orang tua berada dalam kondisi lalai dalam memberikan pengasuhan, maka sudah pasti akan berdampak pada pembentukan sikap dan perilaku anak kedepannya. Karena ketika anak di dapati berkelakuan buruk, maka target utama yang dikaitkan sebagai sebab adalah kesalahan didik oleh keluarga. Allah Subhanahu Wa Ta ‘ala telah mewanti-wanti dalam kitabullah mengenai pentingnya memupuk ketakwaan individu dan penjagaan tutur kata yang benar dalam perkara keturunan yang nantinya tidak berada dalam kondisi lemah dan menimbulkan kegelisahan ketika ditinggalkan kelak (QS An-Nisa: 9), karena adanya kesadaran bahwa semua urusan ada dalam gengamanNya. Maka, hanya dariNya lah Penjagaan terbaik berasal.

Telah dikatakan bahwa anak adalah peniru yang ulung. Secara tidak langsung ini menjadi tuntutan bagi orang tua agar dapat menjadi contoh dan panutan yang baik bagi mereka. Berupaya dengan sebaik-baiknya menjadi figur yang bisa dijadikan suri tauladan dalam bertindak dan mengambil keputusan. Termasuk dalam memenuhi hak anak dalam mendapatkan pendidikan formal maupun non formal. Bekal yang diberikan bukan sekedar ilmu dunia semata. Sebagai seorang muslim maka adalah pasti untuk menyiapkan bekal kehidupan akhirat kelak. Pengabaian terhadap tiap tahap tumbuh kembang anak akan berakibat pada lahirnya seseorang yang buruk akhlak, pemikiran dan perilakunya.

Itulah mengapa bekal menjadi orang tua adalah sesuatu yang amat penting dipersiapkan sedini mungkin. Karena tugas sebagai orang tua bukanlah hal remeh-temeh yang hanya dilaksanakan sehari semalam saja. Melainkan pelajaran panjang yang penuh dengan suka dan duka. Kondisi masyarakat juga berpengaruh dalam mewujudkan lingkungan kondusif yang mampu menyokong terbentuknya pola pikir dan atmosfer sehat bagi pendidikan, yaitu masyarakat dengan karakter amar ma’ruf nahi munkar, tolong menolong dalam kebaikan serta ketakwaan. Negara juga semestinya tidak terlepas dari tanggungjawab ini. Negara merupakan pihak yang bertanggung jawab penuh atas persoalan masyarakat, hingga individu per individunya.

Anak adalah aset penentu masa depan bangsa. Untuk membagun sebuat bangsa yang tangguh, maka sudah pasti dibutuhkan individu-individu yang kokoh dalam berbagai aspek. Untuk menghasilkan anak bangsa yang tangguh, maka negara sudah sepatutnya membuat prioritas pendidikan terintegritas bagi setiap individu masyarakat dalam tujuan persiapan mengambil peran sebagai orang tua dan mempersiapkan anak sebagai calon pemimpin bangsa. Sehingga tidak akan terus bermunculan kasus-kasus yang menggambarkan kebobrokan generasi baik dari segi moral maupun iman.

Potret yang terjadi saat ini bukan hanya sekedar menyoal seputar pola asuh saja, pada akhirnya persoalan ekonomi, moral, pendidikan, sistem pergaulan saling memiliki keterkaitan satu sama lainnya, berakar hingga menjadi cikal bakal lahirnya berbagai problematika, salah satunya tindak kekerasan yang tak kunjung teratasi seperti yang tengah dialami negara dalam sistem kapitalis saat ini. Pelaksanaan kehidupan sehari-hari, dalam lingkup keluarga, masyarakat, pemerintahan hingga pengaturan negara tanpa melibatkan islam di dalamnya pada akhirnya menjadi bumerang bagi individu, masyarakat dan negara itu sendiri. Permasalahan yang timbul akan berulang secara terus menerus baik dalam kasus yang sama maupun dalam wujud lain yang serupa. Sebab solusi yang diambil hanya mengatasi apa yang kasat mata saja, tidak mencapai akar permasalahannya.

Sementara huru-hara persoalan dari berbagai sisi pemerintahan terus unjuk diri, khazanah keilmuan dan tsaqafah yang tak lekang oleh waktu ditawarkan islam melalui paket lengkap sistem pemerintahan islam dengan cakupan semua aspek kehidupan sampai hal yang tak terindra sekalipun. Untuk kasus kekerasan anak sebagai buah kesalahan polah asuh tersedia lengkap solusi penanganannya, mulai dari pernikahan, hukum seputar keluarga, peran penting menjadi orang tua, serta sistem pola asuh anak sejak masih dalam kandungan, bayi, balita, anak-anak, prabalig, balig. Semua itu merujuk pada standar kehidupan yang benar dan salah yang berlandaskan kalamullah, standar kehidupan yang berasal dari Sang Khalik. Pada akhirnya kita perlu kembali, menyadarkan diri yang begitu angkuh mengklaim dapat membuat dan memilih hukum yang lebih baik dibanding apa yang datangNya dari sebaik-baik Pembuat Hukum, Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Wallahu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 69

Comment here