Opini

Jual Beli Ijazah, Bukti Nyata Pendidikan Dikapitalisasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Cahya M. Azdarany, S.Si
(Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com, OPINI– Per tanggal 25 Mei 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mencabut izin operasional dari 23 perguruan tinggi swasta yang tersebar di berbagai daerah. Pencabutan izin operasional ini dilakukan berdasarkan pengaduan masyarakat dan pemeriksaan tim evaluasi kinerja. Sanksi berupa pencabutan izin operasional dijatuhkan pada perguruan tinggi yang sudah tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi. Bukan hanya itu, kampus-kampus tersebut juga melaksanakan praktik terlarang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP Kuliah, juga adanya perselisihan badan penyelenggara sehingga pembelajaran tidak kondusif. Dalam kasus ini, semua kampus yang diberhentikan adalah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) (kompas.com).

Pencabutan izin operasional perguruan tinggi terjadi karena praktik-praktik yang tidak memenuhi standar perguruan tinggi sesungguhnya telah mencederai tujuan pendidikan itu sendiri. Dimana, pendidikan tinggi yang harusnya membentuk lulusan-lulusan dengan kompetensi dan karakter yang shalih, nyatanya malah melakukan praktik-praktik curang. Namun hal ini memang sesuatu yang wajar terjadi di tengah paradigma kapitalis-sekuler yang melandasi sistem pendidikan kita saat ini, yaitu sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada materi.

Pendidikan Dikapitalisasi

Kasus pencabutan izin operasional perguruan tinggi ini menunjukkan bahwa praktik-praktik curang seperti jual beli ijazah telah biasa dilakukan, bahkan bisa saja ada banyak perguruan tinggi lain yang melakukannya namun belum ketahuan. Seperti inilah wajah pendidikan kita hari ini yang ditunggangi kapitalisme. Pendidikanpun dikapitalisasi. Ijazah yang seharusnya menjadi bukti tertulis bahwa seseorang telah menyelesaikan pendidikan tertentu, malah diperjualbelikan. Ada konsep bisnis di dalamnya, yaitu adanya permintaan dan penawaran. Ada permintaan dari mahasiswa yang hanya ingin mendapatkan ijazah tanpa proses perkuliahan yang sesungguhnya. Di sisi lain, ada pula penawaran dari perguruan tinggi yang ingin mendapatkan keuntungan tanpa peduli apakah mahasiswa tersebut menjalani proses perkuliahan atau tidak. Hal ini menyebabkan jual beli ijazah menjadi sesuatu yang biasa terjadi di tengah masyarakat saat ini.

Pendidikan kapitalis-sekuler memang diarahkan untuk kepentingan ekonomi, bukan semata-mata untuk menanamkan ilmu, apalagi untuk pembentukan kepribadian (karakter). Maka wajar, tujuan pendidikan yang harusnya untuk mewujudkan pemahaman atas ilmu menjadi hilang. Tidak heran, praktik-praktik curang menjadi fenomena yang di legalisasi secara tidak langsung oleh perguruan tinggi. Dengan konsep ini, maka sudah jelas bahwa yang diberi keuntungan adalah para pengusaha atau para pemilik modal yang menanamkan modalnya di sektor pendidikan. Keputusan pemerintah mencabut izin perguruan tinggi yang bermasalah adalah suatu keharusaan. Namun, pencabutan tersebut sesungguhnya tidak akan menuntaskan persoalan pendidikan selama sistem hari ini masih berada dalam cengkraman kapitalisme-sekuler.

Tujuan Pendidikan Kian Sesat Arah

Praktik-praktik curang yang terjadi di perguruan tinggi harusnya menjadi bahan intropeksi bagi semua pihak bahwa ada yang salah dengan sistem pendidikan kita hari ini. Efek dari kapitalisasi pendidikan tidak hanya menyebabkan terjadinya praktik jual beli ijazah, tetapi juga berdampak pada mahalnya biaya pendidikan. Selain itu, hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi juga senantiasa diarahkan untuk kepentingan industri para kapitalis, bukan untuk kemaslahatan umat. Negara memang dengan sadar, menyerahkan urusan pendidikan kepada mekanisme pasar, maka tidak heran jika pendidikan menjadi barang yang diperjual belikan.

Tujuan pendidikan kini kian sesat arah. Kuliah hanya digunakan sebagai jalan untuk mendapatkan pekerjaan dan sukses secara finansial. Sementara tujuan pendidikan bangsa ini yang katanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan insan yang bertakwa, pada akhirnya hanyalah sebuah jargon belaka. Karena pada kenyataannya arah pendidikan dalam sistem yang diterapkan hari ini, tidak lebih dari mesin pensuplai kebutuhan pasar tenaga kerja bagi para kapitalis atau pemilik modal.

Dalam kasus pencabutan izin operasional perguruan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah, semuanya adalah perguruan tinggi swasta. Artinya, perguran tinggi negeri yang masih dalam pengawasan negara, bisa terhindar dari praktik-praktik curang seperti jual beli ijazah, kuliah fiktif, dan lain-lain. Namun sayangnya, kebutuhan akan perguruan tinggi semakin banyak, sementara negara hanya menyediakan sedikit. Sehingga tugas untuk mencukupi kebutuhan perguruan tinggi dilakukan oleh pihak swasta yang orientasinya adalah materi dalam pengelolaan perguruan tinggi tersebut. Negara seharusnya mampu menyediakan institusi pendidikan yang memadai dan berkualitas bagi rakyatnya, bukan menyerahkan pengurusan tersebut kepada swasta.

Pendidikan Tinggi dalam Sistem Islam

Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam islam pendidikan dijadikan sebagai kebutuhan primer seluruh rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Semua individu harus dapat mengakses layanan pendidikan dasar dan menengah dengan cuma-cuma. Oleh karena itu, negara menjamin setiap rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan untuk menikmati proses pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Negara wajib menyediakan dengan fasilitas sebaik mungkin. Semua ini terwujud karena islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer rakyatnya. Kebutuhan primer menurut pandangan islam terbagi dua, pertama bagi tiap individu, ke dua bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan primer bagi tiap individu yaitu sandang, pangan dan papan. Adapun kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan yaitu sandang, pangan, keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Dengan politik ekonomi islam, pendidikan berkualitas dan bebas biaya bisa terlaksana secara menyeluruh. Sebab, islam mempunyai politik ekonomi yang akan menjamin terpenuhnya semua kebutuhan primer bagi setiap individu termasuk layanan pendidikan. Negara akan mencegah semua upaya yang menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis atau komoditas ekonomi sebagaimana yang terjadi pada sistem kita hari ini. Pendidikan tinggi dalam sistem islam akan terhindar dari praktik curang seperti jual beli ijazah ataupun kuliah fiktif, karena negara menyediakannya secara gratis. Islam menetapkan seluruh pembiayaan pendidikan berasal dari baitulmal, yakni dari pos fai dan kharaj, serta pos kepemilikan umum (milkiyyah ‘aammah). Jika sumber pembiayaan dari baitulmal tidak mampu menutupi kebutuhan biaya pendidikan, negara akan memotivasi kaum muslimin untuk memberikan sumbangan secara sukarela. Jika belum mencukupi juga, kewajiban pembiayaan pendidikan dialihkan kepada seluruh kaum muslim yang mampu.

Sistem pendidikan islam memiliki kurikulum unggul yang mampu melahirkan generasi muda yang kokoh iman, punya integritas, pola pikir dan kepribadiannya sesuai islam, punya ilmu dan keterampilan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Kurikulum yang berlaku dalam sistem pendidikan islam hanya satu, yaitu kurikulum yang ditetapkan oleh negara. Akan tetapi sekolah dan perguruan tinggi swasta tidak dilarang selama mengikuti kebijakan negara. Dengan sistem pendidikan islam, tata kelola pendidikan akan mencapai puncak kegemilangannya hingga mampu menyelesaikan berbagai problematika umat di tengah masyarakat. Wallâhu a’alam bish-shawâb

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 33

Comment here