Bahasa dan SastraCerbung

Jangan Hina Jilbabku! #3

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Ninda Mardiyanti YH

Wacana-edukasi.com Hidup memang penuh dengan ujian, tidak ada satu pun yang tidak pernah diuji dengan berbagai masalah. Banyak orang yang mengatakan bahwa ketika berhijrah maka siapkanlah mental, sebab setelahnya akan ada duri tajam menggoreskan luka dalam jiwa. Hal itu pun dirasakan oleh Yanti betapa sakit dan sedih hatinya, tetapi Yanti selalu menguatkan dirinya dengan motivasi yang diberikan Kak Nur salah satunya kalimat ‘sulit tapi bisa’. Sebuah penegasan bahwa kita harus optimis walaupun sangat sulit, tetapi dengan kekuatan doa bahwa Allah yang akan memudahkan segala urusan hamba-Nya.

Rasa sedih yang menyelimuti memang hal yang wajar, sebab itulah naluri manusia yang tidak bisa dihindari. Adanya naluri baqa (mempertahankan diri) ini membuat dalam diri manusia ada rasa bahagia, marah, kesal, benci, termasuk sedih. Dalam hal ini yang paling penting adalah penyalurannya yang tidak boleh keluar dari standar Islam.

Walaupun hati teriris tetapi Yanti masih semangat menjalani aktivitas seperti biasa. Sekolah, belajar kelompok, dan yang terpenting selalu mengikuti kajian rutin satu pekan sekali. Namun, untuk kali ini mentor kajian tidak lagi bersama Kak Nur tetapi diganti oleh Kak Billa. Bersama Tika, Yanti sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan Kak Billa, sebab ia sudah dianggap seperti ibunya mereka. Setiap ada masalah selalu cerita dan meminta solusi kepada Kak Billa, karena memang Yanti dan Tika dihadapkan pada ujian yang nyaris sama.

“Dik, jadikanlah Kakak ini sebagai ibu, kakak, juga sahabat yang di mana ketika ada masalah bisa langsung cerita. Kakak tidak ingin ketika kalian ada masalah Kakak tahu dari orang lain. Makanya Kakak berharap menjadi orang yang paling thau dulu sebelum orang lain tau, kenapa? Karena sekarang kita adalah keluarga,” ujar Kak Billa dengan penuh kelembutan.

Begitulah Kak Billa, dia memiliki hati yang lembut juga memiliki cara tersendiri untuk mengambil hati adik yang akan dibinanya sehingga mereka sangat mudah akrab.

Di penghujung pertemuan saat kajian Yanti mulai cerita tentang masalah yang dihadapinya.

“Kak, kenapa ya kok keluarga saya selalu mencibir, menghina, menertawakan saya,” tanya Yanti penuh kegalauan.

“Kenapa, Dik? Ada masalah apa?” jawab Kak Billa.

“Gini Kak, setelah saya tahu tentang kewajiban menutup aurat, saya berusaha untuk mengenakan hijab syar’i baik ketika main, kajian, kondangan, bahkan liburan ke pantai. Tapi mereka justru malah menghina dengan sebutan kayak ibu-ibu pengajian.” Yanti semakin galau.

“Sabar, Dik. Itulah ujiannya,” jawab Kak Billa.

“Apa yang harus saya lakukan, Kak?” tanya Yanti.

Hmmmm … Kak Billa menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Yanti.
“Begini, Dik dakwah kepada keluarga itu adalah dakwah yang abadi, kenapa? Coba kalau kita mengingatkan teman, mendakwahi teman tapi mereka menolak it’s ok no problem kita bisa mencari teman yang lain untuk diajak pada kebaikan. Tapi beda dengan keluarga, sejatinya keluarga utamanya seorang ibu dia tidak ingin ketika anaknya bicara seolah anaknya sedang menggurui. Padahal niat anak itu hanya mengingatkan tapi pandangan orang tua itu beda, mereka selalu berasumsi bahwa mereka sudah menjalani kehidupan yang cukup lama dibandingkan anaknya. Kemudian kalaupun terjadi sesuatu pada kita pasti akan kembali ke keluarga, ‘kan?”

Yanti begitu meresapi apa yang disampaikan oleh Kak Billa.

Lanjut Kak Billa. “Jadi kalau kita ingin bicara sama keluarga, kalau kita ingin mengingatkan keluarga, kita harus bermain strategi. Strateginya apa? Kita harus bermain bahasa, kita harus menyiapkan bahasa-bahasa yang di mana ketika kita bicara tidak akan menggores luka di hati mereka.”

“Tapi bagaimana kalau belum juga luluh, Kak?” tanya Yanti masih dengan galaunya.

“Sabar, terus berikhtiar karena itu bisa menjadi ladang pahala untukmu, Dik. Jangan lupa juga untuk selalu mendoakan, karena selemah-lemahnya kita adalah mendoakan. Kita harus yakin dengan kekuatan doa, insyaAllah suatu saat nanti Allah akan membukakan juga melembutkan hati keluargamu, Dik, ” jawab Kak Billa dengan penuh kelembutan.

Galaunya Yanti seketika hilang dan merasa tenang setelah mendengar penjelasan dari Kak Billa. Semangat Yanti pun kembali bangkit siap untuk menghadapi terjangan ombak bilamana kembali menghadang. Dia pun tidak lagi memedulikan apa kata orang bahkan cacian dari keluarga. Dia akan fokus pada tujuannya menjadi pribadi yang taat, berakhlak yang baik supaya keluarga tidak berasumsi yang salah.

Di penghujung perjalanan menimba ilmu di sekolah tibalah masanya Yanti dan teman-temannya melanjutkan kehidupan yang baru, mereka mulai sibuk menyiapkan dirinya untuk mencari kampus yang diminati sesuai jurusan yang mereka ambil. Sekolah Yanti bermuatan lokal bidang kesehatan maka kebanyakan dari teman-teman Yanti mengambil program kesehatan, ada yang masuk analisis, perawat, bidan, bahkan dokter. Adapun Yanti sendiri dia punya mimpi ingin melanjutkan di program gizi dengan motivasi ingin membuka warung gizi sesuai saran dari guru yang nyambi sebagai dokter. Namun, sayang keinginan Yanti ditolak oleh keluarga yang menginginkan Yanti jadi perawat atau bidan. Oleh sebab itu sambil memikirkan dia memutuskan untuk bekerja terlebih dahulu di salah satu rumah sakit swasta di Kabupaten Bandung yang kebetulan dekat dengan rumah tantenya. Paman dan tantenya pun menjadi sumber informasi yang berkaitan dengan rumah sakit.

Hari terus berganti bulan terus berlalu, selesailah sudah tugas Yanti menimba ilmu di sekolah SMA, kesedihan yang menyelimuti Yanti harus berpisah dengan sekolah, guru, dan teman-temannya. Bagi Yanti sekolah sudah menjadi rumah kedua, guru dan temannya sudah dianggap menjadi keluarganya sebab kedekatan, keakraban, kasih sayang yang sudah terjalin selama tiga tahun. Berharap masih ada kesempatan waktu untuk bisa bertemu walaupun pasti akan ada kesibukan masing-masing.

Setelah kesedihan itu berakhir, Yanti sangat bahagia dia begitu antusias menyiapkan persyaratan lamaran kerja karena dia akan bekerja di rumah sakit walaupun tidak melanjutkan seperti teman-temannya tetapi dia berharap bisa mencari pengalaman dahulu sebelum masuk melanjutkan kuliahnya. Lamaran pekerjaan Yanti belum masuk ke pihak rumah sakit karena harus ada ijazah. Sambil menunggu ijazah keluar tiba-tiba ada informasi dari tantenya.

[Kak, masuk rumah sakit harus pakai celana emang Yanti mau kalau pakai celana?] Pesan dari Tante yang datang ke WhatsApp ibunya.

“Yan, ini ada informasi dari Tante katanya suruh pakai celana, gimana?” tanya ibunya.

“Mmmmm, gimana ya Bu? Kayaknya nggak bisa,” jawab Yanti dengan nada sedikit pelan.

“Emang nggak bisa ya sekali aja pakai celana? Pas kerja doang habis itu pakai gamis lagi,” tanya ibunyavdengan nada sedikit kesal.

“Maaf nggak bisa, Bu … karena itu perintah Allah dan kewajiban perempuan harus menutup aurat.” Masih dengan keyakinan Yanti.

“Ya udah pakai celana juga tinggal niatkan menutup aurat yang penting niat dalam hati,” ibunya membujuk supaya bisa pakai celana.

“Maaf, nggak bisa, Bu.” Suara Yanti semakin pelan.

“Ibu kecewa!” Dengan nada tinggi.

“Bu, maafkan Yanti,” ucap Yanti dengan tangis.

(Bersambung)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 6

Comment here