Opini

Ironi, Jilbab Dianggap Perundungan

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Lely Novitasari

(Aktivis Generasi Peduli Islam)

wacana-edukasi.com– Ramai berita isu pemaksaan yang sampai ke Ombudsman RI perwakilan DI Yogyakarta. Dilansir dari Kumparan. com, oleh Kepala ORI DIY Budhi Masturi menilai pemaksaan penggunaan jilbab di sekolah negeri yang tidak berbasis agama diduga bisa masuk kategori perundungan.

Bahkan ibu dari siswi tersebut mengaku prihatin dan membela anaknya dengan mengatakan, “Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri,” lanjut dia.

Namun setelah Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY melakukan klarifikasi ke pihak SMAN 1 Banguntapan terkait aduan memaksa siswi pakai hijab. Hasilnya, Disdikpora mengungkap tak ada pemaksaan siswi untuk mengenakan jilbab atau hijab.
“Tidak ada pemaksaan dalam memakai jilbab itu,” kata Wakil Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, usai klarifikasi terhadap SMAN 1 Banguntapan di Kantor Disdikpora DIY, Senin (1/8/2022), detik.com

Kejadian mirip di sekolah negeri lainnya, seorang siswi dari SMPN 46 Jakarta Selatan (Jaksel) ditegur kedua gurunya karena tidak memakai jilbab. Endin Haenudin selaku Kepala Sekolah SMPN 46 Jaksel, memaparkan alasan kedua guru tersebut mengingatkan R untuk memakai jilbab karena itu adalah kewajiban bagi sesama muslim. “Ya karena mengingatkan sesama muslim, ‘Kamu muslim? Kok belum pakai kerudung?’. Kenapa guru mempertanyakan itu karena ada tanggung jawab moril,” jelas Endin.
Dia mengatakan tak ada tujuan perundungan terhadap siswi yang tak berjilbab. “Proses menanya itulah yang tidak siap oleh yang bersangkutan. Tidak ada bully atau mempermalukan atau mempermainkan, karena sedang proses pembelajaran,” katanya.

Terlepas apakah ada atau tidak ada persetujuan sang ibu dan anak perihal mengenakan jilbab, hukum syara’ secara tegas menyatakan perkara kewajiban bagi muslimah untuk menutup auratnya. Perbedaan pendapat yang terjadi hanya dalam konteks furu’/cabang saja, yaitu apakah seluruh badan atau terkecuali muka dan telapak tangan. Sedang perkara kewajiban jilbab tidak pernah menjadi objek khilafiyah para ‘ulama sejak dahulu.

Jadi, sungguh aneh bin luar biasa di era saat ini, ada muslim yang mengaku ‘ulama atau cendekiawan berani berpendapat sebaliknya seakan lebih paham hukum syara’ dibanding generasi para shahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ‘ulama mu’tabar.

Sistem Sekuler dalam Pendidikan

Dalam penerapan sistem pendidikan sekular, aturan agama tidak boleh mencampuri urusan pendidikan. Maka, tak heran bila hari ini aturan-aturan Islam dianggap mengekang dan membatasi individu untuk berekspresi sesuai keinginan. Jika mau pakai aturan agama, terapkan di rumah dan di masjid saja. Jangan bawa-bawa agama di ranah kehidupan termasuk pendidikan khususnya di sekolah negeri karena dianggap sekolah umum.

Sepantasnya jika ingin mengukur sebuah kebenaran atau keburukan parameternya haruslah disamakan. Apple to apple, agar penilaiannya objektif dan dapat menemukan jawaban yang benar. Ibarat ingin mengukur sebuah kayu, bila meterannya berbeda tentu tak kan menemukan hasil yang sama dan terus akan menimbulkan perdebatan yang sengit menilai mana kayu yang sesuai.

Hari ini aturan wajib berjilbab bagi siswi di sekolah dianggap sebagai perundungan. Jika menilai dengan pandangan sekular, hal ini masuk kategori perundungan karena tindakan pemaksaan disebut melanggar HAM.

Kata perundungan hari ini tak hanya bermakna perbuatan amoral yang melecehkan, tapi memaksakan agar siswi muslimah terbiasa berjilbab juga bisa termasuk kategorinya.

Belajar dari masa kekhilafahan, ketika islam diterapkan sebagai acuan utama kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kisah heroik yang dilakukan seorang pemimpin negeri Islam ketika mendengar aduan oleh seorang muslimah yang ditarik jilbabnya.

Dikutip dari kitab al-Kamil fi al-Tarikh karya Ibn Al-Athir, Al Mu’tashim Billah, seorang pemimpin dari masa kekhilafahan Bani Abbasiyyah di tahun 837 Masehi (223 H) menyahut seruan seorang budak muslimah dari Bani Hasyim yang sedang berbelanja di pasar yang meminta pertolongan karena diganggu dan dilecehkan oleh orang Romawi.

Dengan teriakan legendaris sang muslimah
“wa Mu’tashimaah” yang jika diartikan: “dimana kau Mu’tashim…tolonglah aku”. Dalam waktu singkat, ratusan ribu barisan tentara muslim yang panjangnya tidak putus dari gerbang istana Khalifah di kota Baghdad hingga kota Ammuriah (Turki), bergerak untuk menyerbu kota tersebut. Dikepung oleh tentara Muslim selama kurang lebih lima bulan hingga akhirnya takluk di tangan Khalifah al-Mu’tasim pada tanggal 13 Agustus 833 Masehi. Hanya satu perempuan muslimah saja yang ditarik jilbabnya, seorang pemimpin menggerakkan ratusan ribu tentara. Inilah satu bukti betapa Islam sangat menghormati dan menjaga kehormatan kaum wanita. Dan dalam sistem Islam, tugas utama seorang pemimpin adalah melaksanakan seluruh hukum syara’ secara sempurna. Maka jangan heran sangat banyak catatan sejarah yang menggambarkan keindahan dan kemajuan peradaban dunia dibawah pemerintahan Islam, baik secara ekonomi, politik, sosial, dan ilmu pengetahuan.

Lalu mengapa di era yang sering dibanggakan sebagai era modern, canggih, tapi keadaannya justru seakan berbanding terbalik dengan kondisi lebih dari 1000 tahun lalu? Bahkan perihal jilbab diributkan dan dapat masuk kategori perundungan jika dipaksakan pada seorang muslimah. Sungguh ironi sebuah negeri demokrasi sekular.

Modernisasi menciptakan berbagai perubahan dalam aspek kehidupan. Sains dan teknologi yang kian berkembang namun kenapa pemikiran umat Islam semakin jauh dari ketaatan dan kembali ke belakang semakin mendekati kaum jahiliyah. Bukankah Islam yang mengangkat derajat seorang perempuan yang dulu dianggap manusia kelas dua? Bukankah Islam yang memuliakan perempuan disaat dulu dijadikan budak nafsu lelaki hidung belang dan dapat diwariskan?

Maka patutlah kita bertanya, kemana sesungguhnya arah sistem pendidikan negeri ini? Generasi seperti apa yang diharapkan dari hasil sistem pendidikan yang mereka jalani?

Wallahu a’lam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 74

Comment here