Oleh: Devita Deandra (Aktivis Muslimah)
Wacana-edukasi.com — Beberapa waktu lalu, kembali negeri ini dikejutkan oleh kabar viral yang beredar di dunia maya terkait pasar muamalah yang menggunakan dinar dirham sebagai alat transaksinya. Menjadi viral lantaran pencetusnya dijerat pasal. Seperti dilansir nasional.okezone.com (3/2/2021), Mabes Polri menginformasikan bahwa pendiri Pasar Muamalah Depok Zaim Saidi, disangkakan dua pasal sekaligus. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 9 UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan Pasal 33 UU No 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Adanya kasus ini tentu saja mengundang tanda tanya, ada apa dengan rezim hari ini? yang terlalu berlebihan dalam menyikapi setiap hal yang berbau syariat, bahkan dari kasus ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah saat ini terkesan phobia terhadap syariat Islam. Bukan sekedar ingin menertibkan pelanggaran terkait alat transaksi perdagangan, tetapi nampaknya ada hal lain.
Sebab, jika hanya ingin menertibkan terkait alat transaksi keuangan, kenapa transaksi menggunakan dolar di Bali terkesan dibiarkan? Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi, KH Anwar Abbas pun mempertanyakan dan membandingkan kasus ini dengan transaksi dolar di Bali oleh wisatawan asing.
Beliau menyatakan bahwa transaksi mata uang asing memang tidak bisa dibiarkan karena akan mengganggu kestabilan rupiah. Tetapi untuk dinar dirham bukan mata uang resmi negara asing, melainkan koin dari emas dan perak yang dibeli dari PT Aneka Tambang (Persero) Tbk (Antam) atau dari pihak lainnya (kumparan.com, 4/2/2021).
Inilah bukti diskriminasi ajaran Islam. Dinar dirham dikriminalisasi, tetapi dolar dijunjung tinggi. Padahal dari aktifitas pasar muamalah tersebut, pemerintah tak dirugikan sama sekali. Namun kebencian terhadap syariat kian terang-terangan ditunjukkan. Hal ini disebabkan sistem kapitalisme dengan asas sekuler masih merajai negeri ini. Paham sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat pemerintah enggan menengok syariat. Bahkan, menganggap jika syariat hanya masalah ritual semata, bukan untuk mengatur negara, termasuk keuangannya. Padahal, jika dinar dirham diterapkan secara menyeluruh, justru kestabilan ekonomi akan terjamin. Yang paling penting, bukankah Rasulullah salallahu’alaihi wasalam telah mencontohkan?
Di zaman Rasulullah SAW, dinar dan dirham digunakan sebagai alat transaksi. Perekonomian dalam daulah Islam adalah aspek yang ditangani secara serius melalui lembaga pengelola keuangan baitul mal. Koin emas dan perak menjadi mata uang resmi hingga jatuhnya kekhilafahan Utsmaniyah 1924 masehi.
Maka tidak ada yang salah dengan Zaim Saidi pelopor dinar dan dirham sebagai alat barter di pasar muamalah Depok.
Apalagi jika mengingat nilai emas dan perak memiliki nilai yang stabil. Seharusnya ini justru menjadi bahan pertimbangan pemerintah dalam menghadapi perekonomian negeri yang semakin terpuruk. Maka adanya kekhawatiran pemerintah terhadap dinar dirham akan terjadinya kerusakan ekonomi tidaklah beralasan. Sejatinya kerusakan ekonomi Indonesia terjadi karena kelemahan bawaan dari penerapan fiat money yang membuat mata uang rupiah terus mengalami inflasi.
Tindakan Zaim Saidi seharusnya menjadi renungan untuk melakukan terobosan baru menekan inflasi dan kembali bangkit. Selain itu, Indonesia memiliki potensi alam luar biasa dengan tambang emas dan perak yang tidak dimiliki negara lain. Dengan mengelola tambang secara mandiri oleh negara, seharusnya Indonesia menjadi semakin berdaulat dan memiliki keuangan yang stabil.
Karena itu, Indonesia bahkan dunia harusnya kembali kepada sistem moneter yang berbasis emas dan perak. Itulah, mata uang dinar dan dirham yang merupakan ajaran Rasulullah Saw. Satu sistem mata uang yang kokoh, anti inflasi. Ketika negara mengambil kebijakan dengan memberlakukan dinar dan dirham, Indonesia negeri kaya ini juga akan terbebas dari hutang luar negeri. Namun perlu diingat bahwa kebijakan ini hanya dapat dilakukan oleh kepemimpinan Islam atau negara yang berbasis Islam, Yang mana kepemimpinannya terbentuk karena adanya daulah khilafah yang menerapkan Islam secara kaffah. Wallahu A’lam
Views: 19
Comment here