Opini

Di Balik Kurikulum Cinta

Bagikan di media sosialmu

Oleh : Wiwik Ummu Mutia (Aktivis Muslimah Peduli Generasi)

Wacana-edukasi.com, OPINI–Banyaknya persoalan sosial khususnya di kalangan pelajar kian memprihatinkan. Mulai dari kasus perundungan di lingkungan sekolah, intoleransi, hingga degradasi kesadaran akan lingkungan dan kepedulian sosial bukan sekedar isu kecil, tapi telah menjadi akar masalah yang menggurita. Krisis moral ini menjadi alarm yang tak bisa diabaikan dan membutuhkan solusi mendesak.

Kementerian Agama Republik Indonesia baru-baru ini meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta, sebagai solusi krisis karakter. Dikutip dari laman Kemenag, Kementerian Agama Republik Indonesia menggagas penerapan Kurikulum Cinta menjadi inisiatif dalam pengembangan pendidikan agama dan keagamaan yang bertujuan menanamkan nilai cinta kepada Tuhan, sesama manusia, lingkungan, dan bangsa sejak usia dini. (Kemenag.go.id)

Disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno. Menurutnya, pendidikan karakter di Indonesia membutuhkan inovasi yang lebih mendalam, salah satunya melalui pendekatan yang lebih integratif dan sistematis dalam kurikulum. Amien Suyitno menilai, saat ini masih terdapat fenomena sejumlah pelajar yang menunjukkan sikap intoleran, saling menyalahkan, bahkan membenci satu sama lain karena perbedaan keyakinan. Hal ini, kata Amien, sering kali terjadi tanpa disadari sejak dini. Oleh karena itu, Kurikulum Cinta dibuat sebagai solusi melalui insersi nilai-nilai keberagaman dalam berbagai mata pelajaran, khususnya dalam pendidikan Islam di bawah naungan Kementerian Agama. (Kemenag.go.id)

Namun, benarkah ini jawaban yang dibutuhkan atau justru batu sandungan baru bagi akidah umat Islam?

Kurikulum Cinta Sekuler

Di balik narasi toleransi dan inklusivitas Kurikulum Cinta menyimpan bahaya tersembunyi. Sekalipun dibalut dengan istilah cinta bila kita cermati, gagasan ini menerapkan cinta yang universal. Ia mempunyai narasi yang bertentangan dengan Islam yakni mendidik anak-anak muslim menjadi generasi yang toleran dan inklusif, artinya generasi yang bersikap terbuka dan mau menerima pemikiran apa pun, sekalipun itu bertentangan dengan aqidah Islam, seperti sekularisme, feminisme, demokrasi, HAM, pluranisme, dan sebagainya.

Narasi yang diajarkan bahwa semua agama benar dimata Tuhan, tidak ada yang lebih tinggi antara agama yang satu dengan yang lainnya, mendorong umat Islam toleransi dengan mengikuti Hari Raya perayaan agama lain, menjaga tempat ibadah agama lain, bersikap lunak pada pemeluk agama lain, tetepi keras terhadap saudara sesama muslim.

Bahkan umat Islam yang ingin menjalankan agamanya secara kaffah dicap radikal, dianggap intoleran, tidak menjaga kerukunan beragama, dan menindas minoritas serta dianggap pemicu konflik dan permusuhan antara muslim dan nonmuslim. Penerapan Islam cukup diterapkan sebatas nilai-nilainya, serta sebatas ibadah ritual.

Proyek Moderasi

Dari narasi-narasi yang disampaikan, mengindikasikan Kurikulum Cinta lanjutan dari proyek moderasi beragama yang mengaburkan batasan akidah Islam. Nampak syariat Islam direduksi menjadi sekadar nilai-nilai universal, sementara penerapan hukumnya diabaikan. Semakin jelas bahwa kurikulum ini berasaskan sekulerisme, sebuah pemahaman yang menjauhkan diri dari aturan agama dan menjadikan akal menjadi sumber hukum. Membentuk generasi ramah pada perbedaan agama lain tapi asing pada syariat agamanya (red: Islam) sendiri.

Kembali ke Aqidah Islam

Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya muslim, sudah saatnya Islam tidak lagi sekadar menjadi keyakinan individu, tetapi menjadi landasan sistem kehidupan, termasuk dalam ranah pendidikan. Islam memiliki mekanisme pendidikan berbasis akidah yang jelas merujuk Al qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama membentuk karakter umatnya.

Sistem pendidikan Islam yang berdiri tegak di atas prinsip-prinsip ajaran Islam, dengan tujuan utama membentuk kepribadian Islam yang utuh pada setiap individu muslim tidak hanya mengejar kecerdasan intelektual tetapi membentuk kepribadian yang terpancar melalui dua pilar utama yakni pola pikir Islam dan pola sikap Islam yang menyeluruh.

Pola pikir Islam dibentuk dengan mengkaitkan pemahaman akidah Islam menyeluruh dengan realitas hidup hingga individu muslim memiliki kerangka berfikir yang mendalam tentang hukum-hukum Islam. Ia mampu membedakan dengan tegas antara yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram dalam setiap aspek hidupnya. Pemahaman ini bukan sekadar pengetahuan tapi menjadi panduan hidup yang mengakar dan memandu setiap keputusan.

Sedangkan pola sikap Islam mencakup perilaku yang sesuai dengan hukum Islam di semua aspek kehidupan. Dalam pandangan Islam, pendidikan bukan hanya media untuk men-transfer ilmu pengetahuan, tetapi menjadi alat pembentuk kepribadian Islam. Pola pikir dan pola sikap Islam inilah yang mampu menjaga moral generasi tidak melampaui batas.

Sinergi Tiga Pilar

Dalam pembentukan kepribadian Islam, peran serta orang tua juga sangat penting, karena merekalah role model pertama yang diteladani. Namun, pendidikan Islam yang paripurna tidak bisa berdiri sendiri, diperlukan sinergi kuat antara keluarga, guru dan masyarakat dengan dukungan penuh dari negara melalui sistem pendidikan Islam yang terstruktur.

Negara tidak hanya bertugas menyediakan kurikulum berbasis akidah Islam yang menyeluruh, tetapi juga menegakkan sanksi yang adil dan tegas berdasarkan syariat Allah SWT. Sistem inilah yang telah terbukti mampu melahirkan generasi emas sepanjang sejarah yang tidak hanya cerdas tapi juga beriman & bertakwa.

Bukti historis, sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw. sebagai kepala negara di Madinah, dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin hingga era Keemasan Kekhilafahan, pendidikan Islam mampu menjadi jantung peradaban yang menyinari dunia. Tentunya sistem pendidikan Islam hanya bisa hidup dalam Daulah Islam, bukan negara demokrasi. Sebab, apapun kebijakan yang lahir dari hanya mengandalkan akal & prinsip manfaat niscaya hasilnya hanyalah kerusakan berjamaah sebagaimana bisa disaksikan hari ini.

Meski kurikulum cinta dikemas dengan narasi toleransi dan perdamaian, justru punya celah lebar bisa menggerus akidah generasi Muslim. Maka, solusi hakiki bagi krisis moral bukanlah sekularisasi nilai-nilai agama (Islam), melainkan hanya kembali pada sistem pendidikan Islam yang paripurna di bawah naungan Daulah Khilafah sebagaimana Rasulullah saw. contohkan untuk umatnya hingga akhir zaman.

Wallahu’alam bishowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 0

Comment here