Oleh : Umul Istiqomah
wacana-edukasi.com, OPINI-– Bukan sesuatu yang asing lagi, jika para artis yang biasanya sibuk menerima tawaran manggung atau beradu akting, di musim Pilkada seperti ini berganti menjadi tawaran untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin masyarakat. Dadang Supriatna dan Ali Syakieb misalnya, mereka resmi diusung oleh koalisi Bandung Bedas yakni PKB, Nasdem, Demokrat, Gerindra, dan PAN untuk maju di Pilkada 2024 sebagai pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kabupaten Bandung. Hal tersebut turut memastikan sang petahana Dadang Supriatna kembali didampingi oleh sosok artis.
Pengesahan secara resmi ini dilampirkan melalui form yang digunakan bakal pasangan calon (bapaslon) untuk mendaftar di KPU yakni form B1-KWK. Ketua DPW PKB Jawa Barat Syaiful Huda mengatakan, form tersebut merupakan mandat secara langsung dari ketua umum PKB, Muhaimin Iskandar. Yang secara otomatis menandakan, Dadang Supriatna dan Ali Syakieb telah resmi berpasangan. Huda menambahkan, harapannya dengan di gaetnya sosok Ali Syakieb bisa menjadi sosok anak muda yang dikenal masyarakat. Apalagi elektabilitas keduanya masih tinggi. (detik.com, 18/07/2024)
Bukan Untuk Kepentingan Rakyat
Pesta demokrasi seperti Pemilu legislatif dan Pilkada, untuk kesekian kalinya menghadirkan para pesohor negeri sebagai bakal calon pemimpin masyarakat yang mengemban amanat berat karena modalnya bukan hanya sebatas di kenal khalayak namun juga harus mampu mengayomi, dan juga memiliki kredibilitas dalam memimpin masyarakat itu sendiri. Namun faktanya, di gaetnya para artis dalam Pilkada semata-mata hanya untuk menarik perhatian masyarakat guna menyemarakkan panggung politik daerah, tanpa melihat kualifikasi yang lebih penting dari sekedar ‘terkenal’ dalam mencari sosok pemimpin. Alhasil, cara instan seperti ini akan mengaburkan makna politik yang sebenarnya yakni mengurusi hajat hidup orang banyak menjadi ajang pencitraan demi mendulang suara untuk merebut kursi kekuasaan.
Mirisnya lagi, di gaetnya para artis hanyalah azas manfaat belaka demi kepentingan individu atau kelompok partai pengusung yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan rakyat. Sehingga tidak memberikan perubahan yang signifikan kepada rakyat yang di pimpinnya dan tentu ini melenceng dari arti demokrasi yakni dari, untuk, dan oleh rakyat yang kini hanyalah slogan tanpa pembuktian. Jika politik semacam ini terus dibiarkan, maka yang terjadi adalah lahirnya para pemimpin yang hanya berani tampil di depan publik, namun tidak kompeten. Berbicara mengenai kompetensi, hal ini penting adanya untuk di miliki oleh seorang pemimpin karena ia diibaratkan sebagai nahkoda kapal. Semakin tinggi kecakapan atau kompetensi yang ia miliki sebagai seorang nahkoda, maka semakin kecil pula resiko kegagalan dalam pelayaran dan akan mencapai tujuan dengan cepat dan selamat. Begitu pula pemimpin yang memiliki kompetensi dalam kepemimpinannya, maka akan mudah dalam memahami hingga mengatasi setiap permasalahan yang muncul. Maka, jangan jadikan suara rakyat hanya berfungsi saat pemilihan pejabat, namun juga dengarkan suaranya ketika memberi kritik atau nasihat kepada seorang pemimpin.
Pemimpin Dalam Sistem Sekuler Kapitalis
Kondisi seperti ini tak lepas dari akibat diterapkannya sistem sekuler kapitalis yang memiliki tujuan utama yakni mendapatkan materi sebanyak-banyaknya dengan menghalalkan segala cara, sehingga orang-orang yang terjun dalam dunia politik pada sistem ini, tidak melewati proses seleksi yang ketat ketika mulai menjadi kader sebuah parpol atau bahkan maju mencalonkan diri sebagai pemimpin rakyat. Bahkan menjadi hal yang lumrah, ketika dalam proses kampanye menggunakan cara yang licik , seperti memberikan uang suap, bansos dan lain-lain, yang akhirnya ‘memaksa’ para calon peserta kontestasi diutamakan yang memiliki banyak modal di bandingkan memiliki banyak kompetensi di bidang politik.
Seperti para artis misalnya, yang ramai-ramai terjun ke dunia perpolitikan dengan tidak sedikit dari mereka yang belum memiliki ilmu menjadi negarawan yang baik seperti apa. Yang penting adalah memiliki modal berupa materi, itu sudah cukup. Karena mahalnya biaya kampanye saat ini, tak ayal membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya harus merogoh kocek lebih dalam, maka ketika berhasil meraih kursi kekuasaan, modal yang tidak sedikit itu harus kembali lagi dan fokus utama yang seharusnya adalah mencari cara agar amanah tersebut bisa ditunaikan, malah berubah haluan mencari cara agar modal kembali.
Hal ini menjadi sebab pula, tindakan amoral seperti korupsi bisa jadi semakin marak karena tujuan-tujuan para pejabatnya yang tidak lagi murni untuk mengurusi rakyat. Selain itu, sistem ini pun menganggap jabatan seorang pemimpin adalah kursi yang harus di perebutkan, tanpa memikirkan tanggungjawab yang berat di akhirat kelak akan kepemimpinannya.
Berpolitik dalam Islam
Islam bukanlah sekadar agama ritual. Tetapi, Islam adalah sebuah ideologi yang memiliki sistem kehidupan secara menyeluruh. Islam memandang politik bukan hanya masalah kekuasaan, atau jalan memperkaya diri semata, melainkan soal mengurusi urusan umat. Sehingga partai politik tidak boleh sekadar fokus pada suara.
Parpol yang sahih dalam Islam harus dibangun atas pemikiran Islam sebagai ideologi, juga memiliki metode yang jelas dalam perjuangannya, kemudian di dalamnya berisi anggota yang paham akan pemikiran dan metode tersebut, serta diikat dengan ikatan akidah, yaitu Islam. Sehingga, parpol Islam tidak akan menggaet figur hanya demi meraih suara. Parpol Islam akan betul-betul menyeleksi anggotanya untuk memiliki pemahaman yang utuh tentang pemikiran dan metode yang di tempuh.
Parpol Islam memiliki tujuan yang lurus dalam berpolitik yakni untuk mengurusi urusan umat. Ia akan selalu mengingatkan penguasa jika ada kebijakan yang tidak sesuai syariat. Karenanya, calon pemimpin yang diusung oleh parpol Islam bukan sekadar memiliki kualifikasi duniawi seperti popularitas semata namun yang terpenting adalah keahlian atau kompetensi dalam mengurusi rakyatnya dengan berlandaskan pada syariat Islam serta ketakwaanNya kepada Allah Swt. Sehingga ia akan betul-betul menjalankan amanahnya karena takut akan pertanggungjawabannya kelak di akhirat.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw. : “Imam itu laksana penggembala, dan dialah penanggungjawab rakyat yang digembalakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kepemimpinan, menurut sabda Rasulullah Saw. diatas adalah konsep pemeliharaan urusan rakyat yang tidak hanya berorientasi dunia, tetapi juga akhirat. Karena amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hari pembalasan, jika tidak dilaksanakan dengan baik, sesuai Alquran dan Sunnah, maka akan menjadi kehinaan dan penyesalan. Islam memandang pemimpin bukanlah orang yang sibuk menikmati berbagai fasilitas yang diterima dari uang rakyat lantaran kedudukannya. Bukan pula orang yang menjadikan jabatan sebagai sarana memperkaya diri, keluarga atau kelompoknya. Sosok pemimpin dalam Islam akan berjuang untuk melanjutkan kehidupan Islam, menjalankan amanah untuk pertanggungjawabannya kelak di akhirat, dan menyadarkan umat terhadap kebangkitan yang sahih. Hingga akhirnya, umat dapat merasakan kesejahteraan Islam ketika sudah kembali tegak dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu’alam bishawwab
Views: 18
Comment here