Opini

Dampak Multipartai dalam Demokrasi, Kuatkan Polarisasi Kuatkan Legitimasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I (Pemerhati Sosial dan Media)

wacana.edukasi.com,– Suasana jelang Pemilu 2024 sudah mulai terasa. Berbagai persiapan dilakukan oleh para parpol calon peserta untuk menghadapi pemilihan legislatif dan presiden yang akan dilakukan serentak. Tak hanya parpol persiapan jelang pemilu pun dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, salah satunya Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dilansir dari BBC Indonesia, KPU telah menetapkan sebanyak 17 partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu 2024, Rabu (14/12) di Jakarta. Empat di antaranya merupakan partai baru. Selain itu KPU juga telah melakukan pengundian dan penetapan nomor urut 17 parpol yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024, pada Rabu (14/12) malam. Sementara itu, tudingan “KPU tidak transparan dalam menjalankan proses seleksi,” datang dari beberapa partai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Konsep multi partai yang digunakan di Indonesia bertujuan untuk memperkuat jalannya roda pemerintahan mengingat satu partai saja tidak cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai lain. Oleh karenanya diperlukan tahapan seleksi parpol untuk memilih parpol mana yang layak menjadi peserta di hajatan nasional nanti.

Verifikasi parpol menghasilkan banyak partai yang lolos. Makin banyak partai dinilai makin demokratis, dan makin bermanfaat untuk rakyat karena dianggap sebagai jalan alternatif untuk warga negara berperan aktif dalam Pemilu, hal ini memberikan kesempatan bagi setiap individu untuk bisa memimpin parpol. Parpol juga diharapkan sebagai kontrol sosial. Namun faktanya beban biaya yang ditanggung Negara untuk pelaksanaan Pemilu pada akhirnya semakin besar, yang berarti pemborosan negara.

*Rentan Terjadi Polarisasi*

Direktur Eksekutif Yayasan Tifa, Shita Laksmi, khawatir jika Pemilu 2024 akan kembali diisi dengan berbagai praktik buruk politik yang menciptakan polarisasi di masyarakat. Salah satu faktor utama yang menyebabkan polarisasi adalah politik identitas. Hal ini karena banyak elite politik yang menggunakannya sebagai cara untuk meraih dukungan politik. Oleh karena itu masyarakat dihimbau untuk bisa bersama-sama meminimalisir polarisasi, dengan cara merawat keberagaman dan menjadikan keragaman adalah sebuah aset perubahan. (Katadata.co.id)

Tak bisa dipungkiri dalam sistem demokrasi yang menganut sistem multipartai tak jarang menimbulkan banyak persaingan, bahkan terkadang berbagai cara digunakan parpol untuk mendulang suara rakyat. Bahkan menurut beberapa sumber konsep semacam ini tidak mampu merangkul keberagaman yang terdapat di Indonesia dan pada akhirnya mengkambinghitamkan “politik identitas” sebagai penyebabnya.

Konsep demokrasi semacam ini menguatkan polarisasi di tengah masyarakat khususnya setiap jelang pemilu, hal ini menjadi bukti bahwa sistem demokrasi adalah sistem rawan konflik, dan menjadi ancaman perpecahan di tengah umat. Sementara itu banyaknya partai memungkinkan adanya tahapan pemilu, yang akan berujung pada koalisi antar partai. Koalisi jelas akan meleburkan partai sehingga menghilangkan jati diri partai. Partai tak lagi berjalan berdasarkan visi-misinya untuk membangun rakyat, melainkan berjalan untuk kepentingannya masing-masing.

Tak heran jika muncul sosok pemimpin yang krisis identitas dan lemah secara legitimasi, hal tersebut diakibatkan motivasi yang dimilikinya jauh dari hakikat kekuasaan itu sendiri. Hakikat kekuasaan seharusnya adalah riayah suunil ummah atau mengatur urusan rakyat, bukan kepentingan partai atau bahkan kepentingan para oligarki yang berkuasa. Begitulah potret buram dari sistem demokrasi yang menjadikan akal manusia sebagai pembuat hukum, yang tak bisa dipisahkan dari keterlibatan hawa nafsu di dalamnya.

*Jangan Berharap Lagi Pada Demokrasi*

Sedangkan kondisi parpol Islam pun tak jauh berbeda nasibnya dari parpol sekuler, bahkan bisa dikatakan kondisinya jauh lebih memprihatinkan karena mereka seolah memperjuangkan Islam namun nyatanya justru terjebak pada ilusi sistem demokrasi yang kufur. Oleh karenanya umat Islam tak memiliki tempat bernaung, selama masih berharap pada sistem demokrasi yang batil.

Adapun tudingan terhadap politik identitas sebagai penyebab perpecahan (terlebih jika dikaitkan dengan Islam) merupakan kampanye hitam yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak menjaga keragaman itu sendiri. Bahkan tak jarang kata politik identitas dituduhkan untuk mengkriminalisasi dakwah Syariah kaffah. Jika benar mereka mengakui kedaulatan rakyat dalam demokrasi, mestinya apa saja aspirasi rakyat termasuk jika berdasar Islam, haruslah diterima. Namun faktanya tidak demikian, justru semakin ke sini semakin santer sebutan-sebutan untuk mendiskreditkan orang-orang yang memperjuangkan aspirasi Islam semisal: fundamentalis, garis keras, kadrun, radikal, dll termasuk sebutan politik identitas. Sehingga politik Islam makin tersisih.

Oleh karenanya tak layak bagi seorang muslim masih berharap pada sistem dan tokoh demokrasi yang tak akan mampu memberikan solusi. Sudah saatnya umat sadar bahwa kita memiliki agenda tersendiri, yaitu memperjuangkan kebangkitan yang hakiki, yaitu menjadikan Islam sebagai solusi dari setiap masalah kehidupan manusia. Wallahu’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Loading

Visits: 18

Comment here