Oleh: Meila Natasya (Mahasiswa)
Wacana-edukasi.com, OPINI--Ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali didapati belum mampu membaca dengan lancar. Ini diungkapkan oleh I Made Sedana, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng. Ratusan murid tersebut berasal dari 60 sekolah menengah pertama di Kabupaten Buleleng. Menurut Sedana, faktor utama masalah ini berasal dari kebijakan naik kelas otomatis atau program tuntas tanpa mengevaluasi penguasaan kompetensi dasar siswa (Detik.com, 09/04/2025).
la mengatakan ada pemahaman yang salah tentang konsep pembelajaran tuntas, yang menyebabkan siswa tetap naik kelas meskipun mereka belum menguasai keterampilan dasar seperti membaca. Hal ini justru menyebabkan beban pendidikan dasar berpindah ke jenjang SMP. Kemudian, terdapat faktor lain seperti faktor disleksia, pembelajaran berdiferensiasi yang belum dimaknai dan diimplementasikan dengan baik, hingga kurangnya keterlibatan tripusat pendidikan.
Tidak hanya itu, Sedana menyebutkan peran serta orang tua juga sangatlah penting dalam hal ini. Pasalnya, pendidikan utama anak ada pada orang tuanya. Sehingga, mampu atau tidaknya anak dalam membaca menjadi problem di tengah orang tua untuk mengajarkannya agar anak mampu dalam membaca secara fasih.
Minimnya Literasi Pelajar
Istilah “kemampuan literasi” mengacu pada kemampuan seseorang dalam berkomunikasi, termasuk kemampuan membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah. Ini berarti bahwa orang yang tidak memiliki literasi akan kesulitan berbicara dan berinteraksi dengan orang lain. Meskipun demikian, literasi sangat penting untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.
Minat baca pelajar tentu tidak akan terwujud jika mereka tidak mampu atau tidak fasih dalam membaca. Walaupun, minat baca pelajar yang telah mampu membaca saja juga masih sangat minim. Tentu hal ini menjadi perhatian negeri ini. Pasalnya negeri ini menganut sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan standar pendidikan atau kurikulum pendidikan berasaskan akidah sekuler.
Sehingga sistem atau kebijakan yang diterapkan lahir dari akidah tersebut. Begitu pula dengan adanya kebijakan naik kelas otomatis tanpa mempertimbangkan kemampuan pelajar muncul dari sistem ini. Alhasil, terbentuklah para pelajar yang tidak kompeten dalam dunia pendidikan khususnya membaca. Belum lagi dalam masalah berhitung dan memecahkan masalah, tentu pelajar kini masih jauh dari standar mampu dan mahir.
Rendahnya Kualitas Guru
Sistem kapitalis sekuler tidak hanya merusak pelajar, namun kualitas guru juga menurun. Kompetensi dan kemampuan mengajar guru di Indonesia masih terkategori rendah. Kurangnya program pelatihan dan pengembangan serta gaji yang rendah merupakan penyebabnya. Terutama di daerah pedesaan dan masyarakat kalangan bawah, banyak guru honorer masih menerima gaji yang sangat rendah.
Karena mereka harus mencari uang sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidup, para pendidik sering kehilangan fokus dalam mengajar. Inilah yang menyebabkan guru tidak lagi termotivasi untuk melakukan inovasi dalam pembelajaran. Adapun guru yang gagap teknologi tidak difasilitasi program pengembangan dan pelatihan guru, terutama bagi guru di pelosok.
Belum lagi, guru berkualitas hanya mengajar seadanya kepada anak didik. Alhasil, peran orang tua dalam mendidik dan mengajarkan anaknya pun sangat penting. Agar peserta didik tidak hanya mendapatkan pendidikan di sekolah, tetapi juga di rumah bersama orang tuanya. Namun, hal ini akan sulit terwujud dalam sistem kapitalisme. Pasalnya, orang tua tidak memahami perannya dan hanya berfokus untuk mengejar materi dan mencari nafkah untuk anak-anaknya.
Kurikulum Sekuler
Sistem pendidikan seperti mesin yang memproduksi barang muncul dari sekularisme yang mengasingkan agama dari kehidupan termasuk kurikulum pendidikan. Para pendidiknya hanya mengajar karena tuntutan profesi. Begitu pun anak didiknya hanya belajar untuk kebutuhan materi. Oleh karena itu, kualitas pendidikan hanya dapat ditentukan oleh seberapa besar pendidikan dapat meraup materi.
Motif ekonomi pun menjadi alasan untuk guru mengajar. Jika sudah begitu, sesuailah dengan logika ekonomi kapitalisme yaitu mengeluarkan sedikit demi mendapatkan sebanyak-banyaknya manfaat. Guru akan perhitungan terhadap tenaga dan pikiran yang dikeluarkan untuk membentuk kualitas generasi. Hal ini terjadi karena menyesuaikan dengan manfaat yang didapat. Bukankah ini pangkal merosotnya kualitas pendidikan?
Begitu pun anak didik, ia akan menjadi murid yang malas-malasan untuk belajar membaca dan menulis karena tidak ada motivasi diri. Kondisi ini sungguh sangat menyedihkan, sebab pada usia SMP seharusnya mereka sudah mampu memahami bacaan. Namun, bagaimana bisa memahami, jika membaca saja masih sulit?
Islam Menyolusi
Islam memiliki pijakan yang baku sebagai agama dan ideologi, sehingga dasar-dasar pembinaan anak memuat konsep pembinaan pola pikir dan pola sikap pada anak. Mengarahkan dan membentuk pola pikir anak dilakukan dengan cara menempatkan Islam sebagai pemimpin dalam berpikir dan menentukan standar baik dan buruk dalam suatu perbuatan. Adapun membentuk pola sikap anak dengan pendidikan Islam dimaksudkan agar rasa cinta dan benci terhadap sesuatu disandarkan pada syariat Islam.
Tujuan pendidikan dalam sistem Islam adalah membentuk generasi menjadi orang-orang yang berkepribadian Islam, menguasai IPTEK, dan menguasai ilmu dasar. Sistem pendidikan Islam memiliki standar yang terukur sesuai dengan kecerdasan siswa yang akan menentukan pilihan jenjang pendidikan selanjutnya. Hanya sistem Islam inilah yang mampu mencetak generasi mulia. Disinilah dibutuhkan pendidikan Islam yang akan mengkolaborasikan pemikiran dan perasaan manusia.
Negara sebagai pengurus umat berperan besar dalam menyediakan sarana dan prasarana pendidikan. Dalam daulah khilafah pendidikan akan diselenggarakan dengan landasan akidah Islam yang tercermin pada penetapan arah pendidikan, penyusunan kurikulum dan silabi, serta menjadi dasar dalam kegiatan belajar-mengajar. Pendidikan harus ditujukan untuk membentuk kepribadian Islam pada anak didik dan membina mereka untuk menguasai tsaqofah Islam, serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suasana takwa senantiasa menyelimuti proses pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun lembaga pendidikan non-formal. Sikap berlomba-lomba melakukan kebaikan dan beramar makruf nahi mungkar akan menghilangkan jiwa pelit dan rakus dalam mengejar materi dan kehidupan duniawi. Maka yang terbentuk adalah semangat berkorban dan mendukung sepenuhnya proses terbentuknya insan kamil. Dengan sistem ini, maka hampir tidak akan ada orang yang bermalas-malasan dalam belajar, sebaliknya akan terdorong untuk meningkatkan kualitas diri.
Selain itu, dengan sistem ini pendidikan akan menjadi media utama dalam dakwah dan menyiapkan anak didik menjadi kader umat yang akan memajukan masyarakat Islam. Kebijakan pendidikan seperti ini berlaku umum pada sekolah negeri maupun swasta. Dalam kondisi ini, akan mudah bagi negara untuk merangsang individu masyarakat menyediakan pendidikan non-formal, seperti membangun perpustakaan pribadi, menyelenggarakan kursus-kursus tambahan yang mengarah pada tujuan pendidikan Islam. Berbagai kemudahan ini tentu akan diberikan oleh negara. Dengan demikian, betapa indahnya jika semua komponen bisa berjalan saling mendukung mewujudkan tujuan pendidikan Islam. [WE/IK].
Views: 0
Comment here