Tabligul Islam

Visi Pendidikan di Dikte Korporasi

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Arcintya Dwi Novia Pratiwi Agustinus

(Mahasiswi Aktivis Dakwah)

wacana-edukasi.com,  Sekolah sebagai salah satu wadah untuk mencetak para Intelektual, tujuannya kini mulai bergeser. Pada awalnya mereka dididik menjadi poros berkembangnya pengetahuan untuk kemajuan bangsa dan menjadi pemimpin peradaban bangsa, kini tujuan dari pendidikan tersebut tak kunjung dalam genggaman. Karena motivasi untuk meraih cita-cita ditentukan oleh visi pendidikan suatu bangsa. Jika tujuannya di landaskan pada lensa sekuler kapitalisme seperti sekarang, maka tidak heran orientasi visi pendidikan adalah untuk melahirkan pribadi yang akan mengabdi pada para korporatokrasi.

Hal ini mendorong seluruh perumusan kebijakan yang mengikuti pola pikir kapitalis. Sehingga hasil dari pendidikan di negeri-negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme kian jauh dari esensi ilmu. Para pengambil kebijakan berupaya merumuskan peraturan untuk dunia pendidikan yang berbasis pada kepentingan bisnis, inilah yang dilakukan Indonesia. Dibukanya fakultas maupun prodi vokasi pada perguruan tinggi adalah implementasi kebijakan yang diterapkan secara bertahap.

Sementara itu, konsep knowledge based economi (KBE) yang telah lama diperdengarkan di kalangan perguruan tinggi telah memosisikan kaum intelektual untuk untuk berada di dunia bisnis dan pemerintah (Triple Helix -Academic, Bussines and Government-). Inilah yang menjadi alasan mengapa PT saat ini terus didorong untuk bekerjasama dengan dunia industri. Sekaligus mendorong Mendikbud memulai gerakan “Pernikahan Massal” (Link and Match) atau penyelarasan antara pendidikan vokasi dengan dunia industri dan dunia kerja.

Dilansir dari antaranews.com “Tujuan utama dari gerakan ini agar studi vokasi di perguruan tinggi vokasi menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, mohon bersiap menyambut kami”. Ujar Direktur Jendral Pendidikan Vokasi (Dirjen Diksi) Kemendikbud, Wikan Sakaritno.

Pendidikan vokasi menjadi program unggulan yang telah dipaparkan Menteri Nadiem dalam kebijakan kampus Merdeka. Selain melakukan kerja sama, berbagai perusahaan bahkan organisasi dunia seperti PBB bisa ikut menyusun kurikulum untuk prodi tersebut. Target dari program ini sekitar 100 prodi vokasi di PTN dan perguruan Tinggi Swasta (PTS) agar melakukan pernikahan massal pada tahun 2020 dengan puluhan bahkan ratusan industri.

Menurut Nadiem, strategi ini dinilai penting agar perguruan tinggi dan industri bisa terkoneksi untuk saling memperkuat keduanya. Kampus bisa menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia usaha. Pemerintah memiliki sejumlah peran baru sebagai pendukung, regulator dan katalis. Namun demikian, pemerintah tidak bisa memaksa pihak kampus dan industri untuk saling bermitra lewat regulasi. Keduanya bisa saling bekerja sama dengan berbagai macam insentif untuk berinvestasi di bidang pendidikan, misalnya lewat penelitian. (LensaIndonesia.com 4/7/2020)

Mendengar program yang interpretasikan, terlihat sebagai terobosan dalam dunia pendidikan yang out of the box. Pendidikan di Indonesia pun dalam sistem pembelajaran yang dirasa monoton dan terkesan teoritis, membuat masyarakat terutama peserta didik seolah mendapat angin segar.

Program pendidikan vokasi yang ditawarkan memang terkesan menjanjikan. Karena setelah lulus SMK atau perguruan tinggi, peserta didik bisa langsung bekerja. Menjamurnya sekolah vokasi atau sekolah kejuruan yang menjanjikan lulusannya bisa langsung disalurkan ke perusahaan bonafit dan meyakinkan orang tua dan peserta didik lebih tertarik memilih SMK darioada SMA. Hal ini terjadi karena rakyat terutama orang tua tidak punya pilihan lain daripada terus hidup dalam himpitan ekonomi yang melarat.

Sekolah umum mengharuskan siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Universitas atau pergutuan tinggi. Sayangnya mengenyam pendidikan perkuliahan, orang tua harus mengeluarkan biaya yang fantastis. Mengapa? Pendidikan dalam sistem kapitalis adalah sasaran empuk untuk dijadikan sebagai komoditi yang layak diperjualbelikan.

Omongan yang menjadi legitimasi di masyarkat adalah adanya anggapan bahwa menyandang gelar sarjana tidak menjamin seseorang meraih masa depan yang lebih cerah dengan mendapat penghidupan yang mapan secara materi. Banyaknya lulusan perguruan tinggi atau universitas yang justru menambah jumlah angka pengangguran di usia produktif. Inilah yang terjadi akibat sistem pembelajaran yang hanya mengejar nilai tinggi tanpa ada karya nyata.

Pemikiran pragmatis juga memiliki andil besar mencetak masyarakat yang jumud (statis) dan utopis. Pendidikan hanya dipandang sebagai jalan mendapatkan masa depan yang lebih baik secara finansial dengan cara yang instan. Berangkat dari sinilah program vokasi dianggap sebagai langkah tepat dan diharapkan membentuk SDM lulusan sekolah menengah atau perguruan tinggi yang lebih memiliki kompetensi dalam mendapatkan lapangan pekerjaan.

Fakta ini sejatinya merupaka pemikiran kapitalis liberal. Mahasiswa dan sebagai aset bangsa ditempatkan hanya sebagai kaum pekerja. Harusnya dengan disiplin ilmu yang dikuasai, para siswa dibimbing untuk menjadi para inventor yang bisa menciptakan lapangan kerja. Keahlian dan keterampilan tentunya bisa digunakan untuk melihat potensi sumber daya negeri. Sehingga pemerintah tidak perlu mengimpor tenaga ahli dan tenaga kerja asing.

Jika saja pemerintah dan masyarakat menyadari bahwa sejatinya program tersebut tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap kebangkitan berpikir kaum intelektual apalagi untuk kemajuan bangsa. Kebijakan yang memberi kemudahan kampus negeri menjadi Badan Hukum justru akan menyempurnakan liberalisasi terhadap perguruan tinggi. Pendidikan yang menjadi asset vital milik bangsa ini justru pengelolaannya dijadikan lahan bisnis.

Kerjasama dalam merancang kurikulum pada berbagai program studi dengan pihak perusahaan hanya akan mengalihkan pemikiran kaum intelektual untuk berbisnis. Sedangkan bisnis dalam pandangan sistem kapitalis liberal tidak mnegenal halal dan haram. Namun, untung rugilah yang menjadi acuan mereka. Oleh karena itu, paham sekuler akan menjangkiti mahasiswa dan produk pendidikan yang dihasilkan adalah kaum intelektual yang tidak peka terhadap problematik umat.

Fenomena diatas menegaskan bahwa orientasi pendidikan tinggi vokasi bukanlah untuk menghasilkan intelektual yang menjadi tonggak perubahan menuju bersinergi dengan keinginan kaum kapitalis guna memperbesar gurita bisnis.

Sistem pendidikan Islam Mencetak Generasi Cerdas dan Bertakwa
Pendidikan yang semestinya bervisi membangun kepribadian utuh manusia sebagai hamba Allah telah dikerdilkan dengan hanya mencetak manusia bermental buruh. Butanya penguasa negeri muslim terhadap tuntunan Al-Quran dan Hadis menyebabkan arah kebijakannya melenceng. Pastinya ini merupakan kenyataan pahit yang tidak akan terjadi dalam sistem islam.

Dalam aturan islam, pendidikan merupakan sarana untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah sehingga dengannya manusia memiliki adab dan perilaku yang mulia. Dengan akidah, ilmu yang merupakan karunia sekaligus amanah akan dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat.

Negara bertanggung jawab menyediakan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Sejarah mencatat, pada tahun 1250 M negara sangat perhatian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Dibangunlah pusat-pusat pendidikan, perpustakaan dan observatorium dengan fasilitas yang lengkap bagi para pelajar.

Dengan ilmu dan keterampilan yang dimiliki, ilmuwan Muslim sangat berkontribusi pada perkembangan banyak ilmu pengetahuan modern seperti fisika, kimia, kedokteran, matematika dan juga astronomi. Seperti Al-Khawarizmi, penemuan matematikanya yang pertama kali memperkenalkan konsep “nol”, penyederhanaan perkalian dan pembagian. Ia juga yang menemukan sebuah perhitungan sistematis dari aljabar dan geometri untuk memecahkan masalah astronomi dan navigasi praktis.

Keberhasilan pendidikan islam tidak berdiri sendiri tetapi didukung oleh sistem lain seperti sistem ekonomi islam dan sistem pergaulan yang menjunjung tinggi akhlakul karimah.

Dari sini terlihat sangat nyata bahwa islam mencetak generasi inventor. Karya mereka dijadikan sebagai peletak dasar ilmu penegtahuan dan teknologi saat ini. Namun, kecerdasannya tidak membuat ia lupa pada Sang Pencipta.

Wallahu a’alam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 116

Comment here